25. Hangout

1811 Words
Park Yiseo berjalan penuh percaya diri keluar dari apartemennya. Ia menoleh ketika mendengar bunyi klakson dan bibirnya menyeringai sewaktu manik hitamnya mendapati seorang pria tengah menunggunya sambil menunggangi sebuah motor sport pabrikan Italia, Ducati Desmosedici. Motor sport legendaris yang pernah membawa seorang pembalap dunia asal Australia memenangkan pertandingan MotoGp. Namun, bukan itu yang membuat Park Yiseo terpukau, ia cukup dibuat terkejut dengan penampilan sang penunggang. Celana ripped jeans merek terkenal, sneakers Nike Air Jordan limited edition, ditambah t-shirt berlogo Gucci yang ditumpuk dengan mantel kulit hitam. Yang lebih mengesankan lagi, dia memakai anting-anting gentle yang menggantung pada salah satu telinganya. Nicholas Hamilton menjelma bak seorang idol K-pop dari negara Yiseo dan gadis itu mengapresiasinya. Baru kali ini ia melihat tampilan keren dari seorang Nicholas Hamilton. Biasanya dia selalu norak dengan outer kulit potongan panjang dan berbulu di bagian leher. Namun, hari ini Nick benar-benar terlihat keren dan Park Yiseo bahkan rela mengakuinya. “You look blast,” ucap Yiseo. “And you look dazzling,” balas Nick. Yiseo terkekeh kecil. Gadis itu meraih helm yang diberikan Nick. Namun, sejurus kemudian ia mengerutkan kening sewaktu melihat tampilan belakang motor sport Nick yang harganya mencapai 45.250 dolar atau setara dengan 669 juta rupiah itu. Nicholas menoleh saat menyadari jika Park Yiseo belum juga naik ke atas motornya. Terdengar desahan napas panjang menggema dari dalam helm full face yang dipakai Nick. Ia pun menurunkan kaki untuk memiringkan motor. Park Yiseo tersenyum samar. Ia menaruh kedua tangan pada pangkal bahu Nick, lantas memanjangkan kaki untuk meraih tempat duduk. Ada senyum di wajah Nick ketika gadis Asia itu naik ke atas motornya. Ia pun menoleh. “Ready?” tanya Nick. “Ya,” ucap Yiseo. Nick kembali menghadapkan wajahnya ke depan, lantas memutar kunci. Seketika ia melesatkan mobil sportnya dari kawasan Claver Rose. Sementara itu ada seorang pria yang mendengkus ketika kakinya melangkah keluar dari dalam apartemen. Sekalipun ia telah memperingatkan dirinya untuk tidak mengkhawatirkan Yiseo, nyatanya otaknya tak bisa berhenti mencemaskan gadis Asia itu. “Fu’ck off!” umpatnya dengan suara berbisik. Ia kembali mendengkus. Menjatuhkan skateboard ke tanah lalu menaruh earphone ke telinga. Lelaki muda Choi itu menyetel lagu favoritnya, lantas meninggalkan apartemen mewah itu untuk menikmati me time dengan hobinya sebagai seorang skater. *** Nick sengaja memelankan kendaraan sewaktu mereka mereka memasuki Collins Street. Nick membelokkan motornya memasuki sebuah bangunan hanya untuk memarkirkan mobilnya di basement. “Nick, memiringkan motornya.” “Oh, sorry.” Nick langsung memiringkan motor, supaya Yiseo bisa turun dengan nyaman. Gadis itu membuka helm-nya lantas memberikannya pada Nick. Kedua remaja itu berjalan keluar tempat parkir dan mulai menyusuri Collins Street. “Daerah ini memang dikhususkan bagi pejalan kaki. Makanya tak ada kendaraan yang lewat di sini,” ujar Nick. Ia meraih tangan Yiseo lantas menggenggamnya. Gadis itu tak keberatan. Ia sedang asyik memandang sekelilingnya. “Di malam hari kau akan melihat banyak seniman jalanan di sini,” tambah Nick. Park Yiseo masih diam. Namun, sejurus kemudian matanya melebar saat melihat sebuah tempat di mana manik hitamnya menangkap brand terkenal di sana. Ia melepas tangan Nick tanpa meminta izin terlebih dahulu. Nick mengerutkan kening. Memandang tangannya sebentar, lantas mengikuti punggung si gadis Park yang tampak begitu antusias memasuki sebuah toko fashion. “Wow ….” Mata Park Yiseo langsung berbinar saat memandang deretan tas dan sepatu branded di sekelilingnya. Seperti gadis remaja sosialita, Park Yiseo terbiasa berburu barang bermerek bersama teman-temannya. Namun, ia sama sekali tak menyangka jika di Australia punya toko yang mengoleksi barang- barang branded dan juga sangat lengkap. Lebih lengkap dari yang ada di COEX Mall, atau bahkan Lotte Department Store sekali pun. “Oh my God!” Park Yiseo memekik pelan sewaktu melihat sebuah tas selempang berwarna maroon. Ia pun tak menunggu lama untuk segera menghampiri tempat booth yang memajang tas Branded tersebut. Manik hitam itu memandang tas di depannya dengan pandangan takjub. Astaga! Bagaimana ini mungkin. Dia sudah menunggu waktu lama untuk mendapatkan koleksi terbaru dari butik milik perancang busana terkenal asal Prancis itu. Dan sekarang dia berada di dalam butik milik Christian Dior di Melbourne. Ya Tuhan, bagaimana dia bisa melewatkan kesempatan ini. Park Yiseo langsung menoleh ke samping. Didapatinya seorang gadis penjaga toko. “Aku mau yang ini,” kata Yiseo. Sang gadis mengeluarkan sarung tangan dan memakainya sebelum mengambil tas yang diinginkan oleh Park Yiseo. Wajah gadis Park itu berubah sumringah. Berbelanja merupakan cara lain untuk menghibur diri dari tekanan demi tekanan yang dia alami di rumah. Itu sudah menjadi kegemarannya sejak kecil. Sehingga Park Yiseo menjadikan berbelanja sebagai perburuan dan sebagai hobinya juga. “Oh … my God!” Park Yiseo memekik sewaktu melihat sepatu boots high dengan gabungan warna hitam dan putih. Beserta leather ankle boots hitam mengkilat di sampingnya. “Hei!” seru Yiseo. Seorang penjaga toko yang berbeda dari sebelumnya menghampiri Park Yiseo. “Aku mau yang ini ukurannya tiga sembilan,” ujar Yiseo. “Baik, Nona. Akan kami siapkan,” ucap si penjaga toko. “Bawa saja di kasir,” kata Yiseo. “Oh ya!” Yiseo kembali berseru. “Tolong dengan belt itu juga,” ucapnya sambil menunjuk ban pinggang yang berada di pajangan. Si penjaga toko mengangguk. Melaksanakan perintah Yiseo. “Kau suka merek Christian Dior?” tanya Nick. Ia menaruh tangannya di atas pangkal pundak Yiseo. “Aku suka semua merek terkenal,” ucap Yiseo. Nick merengut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Park Yiseo berjalan sambil melilit kedua tangannya di depan da’da. Beralih dari booth tas dan sepatu, ia pun menghampiri tempat kacamata. “Hei, bagaimana kalau kita beli ini?” tanya Nick sambil menunjuk sepasang kacamata berbentuk sama. Park Yiseo mengernyit. ‘Kau jangan gila. Memangnya kau pikir kau siapa! Masa aku mau pakai barang yang sama denganmu,’ batin Yiseo. Sebelum ia menjawab dan mengutarakan isi hatinya, Nick terlebih dahulu memutar tubuh. Memanggil seorang penjaga toko lewat gerakan tangan. “Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” “Ya. Tolong bawa ini ke kasir,” ucap Nick. Ia kembali menatap Yiseo. “Ada lagi yang mau kau beli?” “Banyak,” kata Yiseo. Nick tertawa rendah di tenggorokannya. “Kalau begitu pilihlah,” kata Nick. “Ya. Aku memang perlu beberapa tas. Aku tak membawa banyak barang saat kemari,” ujar Yiseo. “Aku suka gadis modis,” kata Nick. ‘Tapi aku tak suka kau, Nick.’ Park Yiseo membatin. Sejauh ini belum ada yang bisa meluluhkan hati seorang Park Yiseo. Dari kalangan artis, anak pengusaha bahkan pemain film pun belum ada yang bisa membuat Yiseo tertarik. Bukannya dia tak menyukai lawan jenis, hanya saja Park Yiseo bukan tipe gadis yang memandang lelaki hanya dari parasnya. Ya … walau penampilan tetap menjadi penilaian utama, tapi Park Yiseo termasuk seseorang yang kritis dalam memilih apa pun. Dia harus memikirkan dari segala aspek dan itu berlaku untuk memilih teman, pegawai rumah, barang dan bahkan masalah pasangan. Untuk itulah selama ini Park Yiseo belum pernah tertarik pada seorang pria. Bahkan dia termasuk gadis langka di mana, ia tak pernah tertarik sama sekali pergi ke konser para idol k-pop seperti yang dilakukan seantero gadis di seluruh jagad raya. Park Yiseo selalu punya perspektif sendiri dalam memandang dunia. Walau sejauh apa pun pengaruh yang diberikan oleh para pesohor dunia dari negaranya, jika Park Yiseo tak mendapat penilaian yang sesuai dengan sudut pandangannya, maka dia tak akan membuang waktu untuk pergi dan menghadiri konser. “Aku juga mau ini dan sneakers itu. Ah, dan ini.” Yiseo mengambil kacamata hitam yang hanya tinggal itu di pajangan. Syukurlah ini tinggal satu, kalau tidak Nick mungkin akan mengikutinya mengambil kaca mata yang sama. “Ada lagi?” tanya si penjaga toko. “Cukup untuk hari ini,” ucap Yiseo. Ia berjalan menuju meja kasir. Di sana sudah ada semua barang yang diinginkan Park Yiseo. “Oh ya, apa ada yang bisa mengantarkan barang-barang ini di apartemenku? Aku akan membayar biaya antar juga tip sebesar 100 dolar bagi mereka yang bersedia mengantar barang-barang ini ke apartemenku,” ujar Yiseo. “Kami memang melayani pesan antar, Nona. Dan Anda tak perlu memberikan tip,” kata si kasir. “Oh tidak, tidak,” ucap Yiseo. “aku tetap akan memberikan. Totalkan saja dan tambahkan seratus dolar,” ucap Yiseo tanpa ragu. “Baik, Nona.” Gadis petugas kasir itu kembali melanjutkan pekerjaannya. Menghitung satu per satu barang belanjaan Yiseo. “Totalnya 52.317 dolar,” ucap si kasir. Dengan gampangnya Park Yiseo merogoh black card dari dalam tasnya, tetap gerakan tangannya terhenti saat Nick menahannya dengan tangannya, lantas pria itu menyerahkan kartu debitnya pada si kasir. “Biar aku yang bayar,” kata Nick. “Aku tidak mau,” ucap Yiseo. Nick memutar menoleh ke samping. “Pria Australia tak bisa membiarkan gadis yang diajaknya hangout untuk membayar belanjaannya,” ujar Nick. Yiseo terkekeh sinis. “Tapi gadis Asia tak suka berhutang budi. Lagi pula nilainya bukan seharga permen. Ini 52 dolar?” Park Yiseo menggeleng. “Oh, tidak. Aku tidak ingin kau membayar belanjaanku. Jika kau ingin membayarnya, bayar saja kacamata yang kau pilih.” Seketika Nicholas tertawa sinis. Ia masih memandang gadis yang berdiri di sampingnya. “Ini,” ucap Yiseo sambil menyerahkan kartu kredit unlimited-nya pada si kasir. Sudut bibir Nick naik membentuk senyum miring. Dalam hati, ia memuji si gadis Park di depannya. Baru kali ini dia bertemu dengan seorang gadis yang punya harga diri tinggi. Sejauh ini para gadis sangat menyukai jika ada yang membayar belanjaan mereka. Apalagi ini barang Branded yang harganya tidak sedikit, tetapi Park Yiseo itu benar-benar gadis yang sangat beda dari kebanyakan kaum Hawa. ‘Tidak salah lagi. Kau memang benar-benar cocok untukku. Hem … tak akan kubiarkan kau dimiliki oleh orang lain,’ batin Nick. “Terima kasih,” ucap si kasir. “oh ya, tolong beritahu alamat apartemen Anda.” “Claver Rose Luxury apartment,” ucap Yiseo. “Baik. Kami akan mengantarkan belanjaan Anda hari ini juga. Terima kasih sudah berbelanja, semoga harimu menyenangkan.” “Have a nice day too,” ucap Yiseo. Setelah menaruh kartu kredit ke dalam tas, ia pun memutar pandangannya pada Nick. “Totalnya 503 dolar, Tuan.” Nick bergeming lantas memutar tubuh menghadap kasir. “Oh!” gumamnya. Pria itu mengambil dompet dari tas selempang yang melingkar di punggungnya. Mengambil black card miliknya kemudian memberikan benda itu pada si kasir. “Terima kasih,” kata si kasir. “apa barang Anda perlu di antar ke rumah?” tanya gadis itu sambil menyerahkan black card milik Nick. “Tidak perlu,” kata Nick. “kami akan langsung memakainya.” Lanjut Nick. Sambil tersenyum, dia menyerahkan salah satu kacamata pada Park Yiseo. Park Yiseo memandangnya dengan kening yang mengerut. Ingin rasanya ia menolak, tapi dia cukup tahu kalau Nick akan tersinggung. Akhirnya Park Yiseo mengambil benda itu lalu memakainya. Nick tersenyum sumringah. “Bisa kita pergi?” tanya Yiseo. “Sure,” ucap Nick. Ia kembali menggenggam tangan Yiseo dan membawa gadis itu pergi dari toko tersebut. ______________
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD