Tampak sebuah helikopter milik kedutaan Korea Selatan berputar-putar di atas langit Melbourne. Mencari tempat mendarat yang tepat dan sang pilot mulai mengarahkannya pada sebuah gedung yang di mana merupakan tempat tujuan pasangan suami istri yang duduk di belakang sang pilot.
Tak butuh waktu lama dan helikopter tersebut kini melandas di atas heliped gedung 101 tingkat di kawasan elit Melbourne bernama Claver Rose Luxury Apartement.
Pria bernama Jangmi telah stand by di sana sepuluh menit sebelum helikopter mendarat. Lelaki itu berlari menghampiri helikopter, lantas membuka pintu helikopter. Dia membungkukkan badan saat seorang lelaki bermantel hitam potongan panjang turun dari sana.
Wajahnya tegas tak berkespresi. Benar-benar menggambarkan bagaimana watak keluarga Park yang angkuh. Datang bersamaan dengannya, seorang wanita berpenampilan modis. Kelas atas. Dress potongan lurus yang ditumpuk dengan over coat panjang hingga ke tungkai kaki. Sepatu hak tinggi berwarna emas dengan hiasan berlian. Aksesoris yang menggantung di leher, telinga dan yang melingkari pergelangan tangannya. Nyonya Kim benar-benar terlihat sangat berkelas. Dua orang terpandang asal Korea itu berjalan tegap. Dikawal dua orang bodyguard yang ikut bersama mereka dari Canberra. Juga Jangmi –pengawal pribadi Park Yiseo.
“Kuharap kau punya kalimat yang bagus untuk menjelaskan semua ini, Hyun Ahn.”
Wanita di sampingnya memasang wajah memelas, “Yeobo ....” Panggilan ‘sayang’ itu tak berarti bagi seorang Park Yibeom yang terlalu menjunjung keangkuhan. Lelaki itu mengentakkan jasnya, sekadar untuk memperingatkan otoritasnya. Kim Hyun Ahn tertunduk takut. Dia mengikuti langkah sang suami dari belakang. Dua orang pasangan suami istri itu berjalan memasuki lift menuju lantai 101.
Sementara di lobi lantai satu, baru saja tiba sebuah mobil limosin hitam metalik. Turun dari sana, seorang pria bersetelan jas bermotif kotak-kotak bersama seorang wanita berpakaian jas formal. Mereka bergegas menaiki lift untuk segera menghampiri sang putra.
Lima belas menit yang lalu, mereka mendapat telepon dari sang putra jika dia sedang dalam masalah. Tak ada yang lebih penting daripada masalah para anak remaja. Maka dari itu, ketika mendengar kabar tersebut, mereka langsung mengosongkan jadwal dan segera menuju ke apartemen Claver Rose.
“Sayang, kita masih harus kembali ke rumah sakit. Jam tujuh nanti kau ada kunjungan ke ruangan, ‘kan?” Sang istri membenarkan kerah kameja suaminya.
“Hem,” gumam sang suami. “Kamu juga piket jaga malam ini, ya?” tanya lelaki Choi itu dan istrinya mengangguk. “Semoga urusannya cepat selesai,” ucap pria itu.
“Ya. Astaga, padahal ini kali pertamanya Yong Do berhasil dibujuk untuk tinggal di apartemen. Baru dua hari dan sekarang dia sudah mengamuk. Entah apa yang terjadi padanya,” ujar nyonya Goo. Pasangan suami istri asal Korea itu sangat menghawatirkan anak bungsu mereka.
Susah payah membujuk sang anak agar bisa bersekolah di sekolah umum. Hampir sepuluh tahun menjalani home schooling, oleh karena putra mereka mengalami gangguan kecemasan sosial. Dia tak bisa menyesuaikan dengan keadaan sekeliling. Selalu merasa cemas dan sangat menyukai dunianya sendiri. Choi Yong Do merasa jika dia lebih nyaman saat sendirian. Saat berada dalam kamarnya sambil bermain computer. Di sana, tak akan ada yang mengolok-olok dia.
Profesi mereka sebagai dokter, nyatanya tak bisa menolong sang anak. Dia tetap saja terlalu tidak ingin bergabung dengan dunia luar. Katanya terlalu menakutkan, oleh karena banyak orang tidak menyukainya. Hanya karena dia seseorang yang berasal dari Asia. Hanya karena kulitnya terlalu putih. Hanya karena rambutnya hitam dan hanya karena matanya sipit. Dia merasa sangat berbeda dari kebanyakan anak seumurannya. Dan itu sudah berlaku sajak Yong Do berumur lima tahun.
Untuk itulah, Choi Hye Min dan Goo Hae Young memilih untuk mengikuti kemauan sang anak dengan menjalankan home schooling. Namun, beberapa waktu lalu, dia akhirnya setuju untuk sekolah di tempat umum asalkan dibelikan sebuah apartemen. Mungkin karena dia sudah dewasa sekarang. Entahlah. Pasangan suami istri Choi itu tidak bertanya lebih tentang alasan Yong Do menerima untuk sekolah di tempat umum. Bagi mereka, semua ini merupakan suatu kemajuan. Dan mereka harus menunjangnya.
Tidak masalah dengan syarat sang anak. Keluarga Choi punya banyak uang. Mereka mengelola rumah sakit milik keluarga dan cukup besar di Melbourne. Mereka membuktikan jika orang Asia tak selalu menjadi hamba di benua lain. Rumah sakit Yayasan Choi termasuk salah satu rumah sakit swasta terbesar di Melbourne.
Membeli sebuah apartemen mewah bukanlah hal yang sulit bagi mereka. Semua dilakukan agar sang anak mau memulai kehidupan baru. Mereka sanggup melakukan apa saja. Namun, mendengar kabar jika ada seseorang yang memaksa mengambil alih apartemen milik sang putra langsung membuat pasangan suami istri itu bertindak. Meninggalkan kesibukan di rumah sakit dan datang ke apartemen.
Bunyi dentingan mengikuti pintu lift terbuka. Pasangan suami istri itu berjalan terburu-buru keluar dari dalam lift. Sengaja memanjangkan langkah sebab mereka sudah sangat khawatir dengan sang putra.
Nyonya Goo mengerutkan kening saat melihat beberapa orang pria bersetelan jas hitam berdiri tepat di depan pintu apartemen milik anaknya. Wanita itu tak bisa menahan kedua kakinya. Dia berlari dan jantunganya langsung bertalu kencang. Nyonya Goo melayangkan tatapan membunuh kepada pria-pria bersetelan jas hitam yang berdiri di depan pintu.
“Minggir!” bentaknya.
“Ibu ….”
Seluruh perhatian nyonya Goo teralihkan saat mendengar suara sang putra. “Yong Do,” gumamnya. Jantungnya makin bertalu dengan kencang. Wanita itu berlari dengan tangannya yang terbuka.
“Ibu!”
“Yong Do.” Panggilan itu terlalu lirih. Membuat siapa pun mampu menangkap getaran khawatir di sana. Nyonya Goo memeluk putranya dengan erat. Choi Yong Do dapat merasakan entakan jantung ibunya yang menggema di depan wajah. “Apa yang terjadi, Nak?”
Nyonya Goo memegang pangkal pundak Choi Yong Do lalu mendorongnya pelan. Ditatapnya sang anak.
“Dia,” kata Choi Yong Do.
Nyonya Goo mengikuti arah telunjuk putranya lalu di detik selanjutnya, bola mata nyonya Goo membesar. Dia segera melepaskan pelukannya dari sang putra.
“Tuan Kedubes.” Suara tuan Choi mewakili apa yang tak terucap di bibir istrinya.
Pasangan suami istri Choi itu langsung membungkukan badan mereka ketika melihat pejabat dari kampung halaman mereka berada di ruangan ini. Sementara pasangan suami istri Park di depan mereka terlihat begitu santai.
Nyonya Kim memasang tampang angkuh, sekalipun dia tahu kalau kesalahpahaman ini disebabkan oleh dirinya. Sementara sang suami, tuan Park, wajahnya lebih terlihat seperti raja hutan. Manik cokelatnya terlihat tenang, tapi tatapannya sangat mengintimidasi. Tajam. Bahkan embusan napasnya terdengar memerintah.
Tangan kanannya yang terangkat melayangkan titah. Membuat dua orang suami istri Choi itu saling melempar tatapan kemudian tertawa formal. Dengan sangat sopan dan segan, mereka mengambil tempat pada sofa di seberang sang Kedubes.
Choi Yong Do yang masih berdiri di tempatnya, tampak mengerutkan kening. Lelaki itu sangat bingung. Mengapa ibu dan ayahnya tunduk begitu saja? Apa hanya karena pria bersetelan mahal itu seorang Kedubes? Lalu mengapa? Kedua orang tuanya berubah bak anak anjing yang tersesat di dalam kendang singa.
Terlihat d^da tuan Park membusung saat dia menghela napas panjang. Dan ketika lelaki itu mengembuskannya, dia pun menatap putrinya yang masih betah duduk di sofa tunggal.
“Hemm …,” gumam Park Yibeom. Dia kembali membawa atensi penuhnya kepada pasangan suami istri di depannya. “Tuan Choi, Nyonya ….”
“Goo,” Goo Hae Young menyahut. “Goo Hae Young,” katanya menyebutkan nama panjang.
Park Yiebom mengangkat dagunya, sedikit lebih tinggi. “Ya, itu. Nyonya Goo,” ucapnya dengan nada datar. Lelaki itu kembali mendesahkan napasnya dengan sedikit panjang dari hidung. “Aku minta maaf atas kesalahpahaman ini,” kata Park Yibeom. Ucapannya kembali terhenti ketika dia menatap sang istri yang duduk di sampingnya.
“Ini karena kesalahan istriku,” kata Park Yibeom.
Sekarang nyonya Kim baru bisa tersenyum. Sekalipun kelihatan sekali kalau senyum itu palsu dan dipaksakan. “Hemm ….” Nyonya Kim memasang wajah memelas. “Aku yang salah, mohon maafkan aku,” katanya dengan bahasa Korea.
Sementara Choi Hye Min dan Goo Hae Young masih tampak bingung dengan situasi ini. Terlihat keduanya saling melempar tatapan dengan tanda tanya besar di dahi.
“Begini,” ucap Park Yibeom kembali dan menarik atensi pasangan suami istri Choi di depannya. “Putriku telah memesan unit ini sebulan sebelum dia pindah ke Melbeurne. Namun, istriku membuat kesalahan. Dia terlambat melakukan p********n dan sepertinya dia juga lupa memberitahu kepada putri kami. Sehingga terjadilah kesalahpahaman ini, di mana putri kami malah memasuki apartemen ini,” ujar Park Yibeom.
Goo Hae Young tertawa rikuh sedang sang suami tersenyum simpul. Nyonya Goo memandang putranya. Tatapan lembut itu memanggil sang putra untuk duduk. Dia juga tersenyum pada seorang pria bersetelan jas formal yang duduk di ujung kursi. Karena terlalu kaget, Goo Hae Min sampai tidak memperhatikan jika ada Michael Huston di sini.
Lelaki itu masih bersedia menunggu agar masalah ini bisa terselesaikan.
“Baiklah. Karena semuanya sudah berkumpul, mari kita selesaikan masalah ini secara kekeluargaan,” ujar Michael. Seketika membuat keluarga Choi bingung.
Apanya yang harus diselesaikan? Bukannya sudah jelas? Tuan Park dan Nyonya Kim tinggal membawa anak mereka ke unit sebelah, apa susahnya?
Namun, seketika situasi menjadi begitu pelik. Dimulai dari deheman tuan Park.
“Begini,” kata tuan Park. Dia memandang pasangan suami istri di depannya dengan tatapan datar. “Kami sudah membayar biaya sewa selama setahun penuh untuk unit 09, tapi tak mengapa. Aku ingin memberikan apartemen itu untuk putra Anda.” Tuan Park memutar pandangannya kepada pemuda Choi yang berdiri di belakang kursi kedua orang tuanya. “Aku akan membayar biaya sewa setahun penuh untuk kedua unit, asalkan putriku bisa menempati tempat ini.”
Seketika bola mata keluarga Choi membesar. Tak terkecuali Michael Huston si concierge.
“APA?!” Dan Choi Yong Do terlalu tak bisa menahan pekikannya.
Nyonya Goo menoleh ke belakang, menyuruh putranya diam. Namun, Choi Yong Do kembali mendesah sambil melayangkan kedua tangan ke udara.
“How can this sh*t happen,” desis Yong Do.
“Yong Do!” Ibunya melotot dan mulutnya menekan menjadi garis lurus. Menyuruh putranya untuk diam. Lagi-lagi Choi Yong Do mendengkus. Kesal.
Sementara tuan Choi kembali menatap sang Kedubes. Sedari tadi ia terus mengulum bibirnya sambil memperlihatkan senyum simpul. Seolah-olah tak terjadi apa-apa dan ini bukan masalah serius.
“Ah …,” gumam tuan Choi. Dengan senyum merekah selebar wajah, dia kembali menatap tuan Park. “Anda tidak perlu melakukan itu, Pak Kedubes. Semua ini bisa diatur. Kami juga sudah membayar unit delapan sampai akhir tahun, tapi ….” Tuan Choi menunda ucapannya. Menatap si gadis Park yang sedari tadi berdiam diri. “Sepertinya Nona Park sangat menyukai unit ini, kalau begitu tak masalah.”
Seketika bola mata Choi Yong Do kembali melebar. “No ….”
Tuan Choi menoleh lalu mengedipkan sebelah matanya. “It’s okay. You are gentleman, right?”
Mulut Choi Yong Do kembali terbuka saat ia mendongakan wajah dan melayangkan kedua tangan ke udara. “What the fu’ck up with this!” makinya.
Nyonya Goo melesak dari tempat duduknya. Dia menarik lengan putranya agar menjauh dari sana.
“Mom …,” rengek Yong Do.
“Tidak!” bentak nyonya Goo. “Mulutmu sangat tidak sopan, Yong Do. Ibu tidak suka.”
Choi Yong Do mendengkus kasar. “Tapi ….” Ucapannya kembali terhenti saat sang ibu memperingatkan dengan mata nyalang.
“Ikut denganku,” desis nyonya Goo.
Sekali lagi mendengkus. Choi Yong Do melempar tatapan penuh kebencian pada si gadis yang menjadi biang dari kekacauan ini. Namun, yang dilihatnya malah makin membuat Choi Yong Do meradang.
Sudut bibir Park Yiseo naik membentuk seringaian. Dan tatapannya mengolok Choi Yong Do dengan cara paling kurang ajar. Choi Yong Do menggeram lantas mengacungkan jari tengahnya.
‘Well … you lose, Piggy Boy!’ batin Park Yiseo. Dia tersenyum penuh kemenangan. ‘Namaku Yiseo, dan kalah tak akan pernah kau temui dalam kamusku.’
______________