Chapter 4

1188 Words
Rush sangat tampan malam ini. Ia memakai setelan serba hitam dan tanpa dasi. Apalagi dua kancing teratasnya terbuka, benar-benar membuatnya sangat panas. Ketika sampai di tempatku, Rush sangat bersikap gentle. Bayangkan saja, saat aku membuka pintu, dia langsung mencium tanganku. Kemudian disusul dengan hal-hal gentle lainnya. Sejujurnya aku tak terkejut dengan perlakuannya. Namun entah berapa ribu perempuan di luar sana yang diperlakukan seperti ini? Tapi maaf, aku peserta beruntungnya. Saat dimobil, Rush tidak menyetir. Orang yang menyetir tak lain pria paruh baya yang pernah ikut dalam pertemuan kami. Ternyata peria tersebut supir pribadi Rush. "Dingin?" Tanya Rush saat kami sudah berada di kursi penumpang. Aku hanya menggeleng sebagai jawaban. Rush tersenyum, namun pusat perhatianku bukan pada senyumnya. Perhatianku terpusat pada tangan kami yang menyatu, yang membuatku menghangat. Beberapa kali kurasakan Rush memutar-mutar ibu jarinya pada punggung tanganku. Wajahnya sesekali melirik ke arahku dan terfokus lagi pada lampu-lampu kota New York yang indah. Indah. Satu kata yang bisa aku deskripsikan untuk Rush sekarang. Dia benar-benar terlihat berkilau dibawah sinar rembulan ditambah lampu berwarna-warni ini. Akan aku ingat, jika ini adalah angle favoritku untuk melihat Rush. "Bagaimana harimu?" tanyanya lagi. Wajahnya menatapku, entah kenapa Rush terlihat lebih hangat dibanding biasanya. Setidaknya aku lebih menyukai Rush yang seperti ini, meskipun Rush penggoda tidaklah buruk. Aku tertawa dalam hati. Bahkan tanpa sadar aku sudah diam-diam menilai Rush. "Hariku baik, selama kau tidak datang untuk mengacau." Jawabku sambil terkekeh. Rush tertawa kecil, matanya berbinar indah. Oh God. "Maafkan aku," katanya setengah berbisik, " Hanya saja satu minggu terlalu lama bagiku." Katanya lagi diiringi dengan senyum melelehkan miliknya. Aku mengerutkan dahiku. "Terlalu lama?" Dia benar-benar membuatku bingung. Apa yang dia maksud terlalu lama ? Apakah dia tak sabar melihat desain sepatu ibunya? Puluhan pertanyaan berputar-putar dalam tempurung kepalaku, tak ada jawaban pasti. Namun, terselip satu pertanyaan yang membuatku berjengit. Apa Rush merindukanku? Keliru. Rush tertawa. Tangannya menghapus kerutan di dahiku. Hangat jari-jarinya mambuatku mundur seketika, sedikit merasa kaget dengan sikapnya. "Tidak, jangan dipikirkan." Rush tersenyum, kemudian fokus kembali pada apapun yang ada di luar sana. Tinggallah aku yang duduk diam memikirkan semua kehangatan Rush malam ini. *** Kami sampai di sebuah restoran Italia berbintang. Interior di dalamnya pun sangat klasik. Aku terkekeh ketika mendengar musik romantis yang berasal dari panggung kecil tepat di depan kami. Selebihnya, aku menikmati suasana ini. "Ada apa?" tanya Rush sambil menarik kursi untukku. Benar-benar gentle. Aku menggeleng padanya. "Hanya saja ini romantis dan tenang. Terlalu berlebihan untuk tempat membahas desain." Rush memutari kursi dan duduk tepat di hadapanku. "Benarkah?" Alisnya terangkat, menunjukkan kekagetan. Pandangannya memutari sekitar restoran, kemudian mengangkat bahunya. "Aku hanya suka ketenangan dan masakan Italia." Aku mengangguk mengerti. Mungkin memang tidak berlebihan untuk sebuah acara makan malam formal. Rush memberikan buku menu yang tentu saja langsung aku tolak. "Kenapa?" tanya Rush heran. "Ini sudah jam 8 malam." "Lalu?" Aku mengangkat bahu. "Tidak, aku tidak makan lebih dari pukul 7. Mungkin aku hanya ingin air mineral saja." "Tidak." Kata Rush dengan nada otoriter yang kental. Matanya memancarkan kekesalan yang sangat kentara yang langsung membuatku menciut di bawahnya. "Kenapa kau marah?" tanyaku tersinggung. Aku tak tahu apa yang dipikirkan Rush sebenarnya. Bahkan dia tak punya hak untuk menentukan aku harus makan atau tidak. "Kau sudah terlalu kurus, Laura." Katanya lirih. Tatapan matanya memohon padaku. Tidak, mugkin aku hanya salah menangkap maksud tatapan matanya. Aku menghela nafasku frustasi. Dalam hati aku menegaskan kalau aku tak boleh terpengaruh sama sekali dengan dirinya. Aku tak akan membuka peluang untuk Rush jika memang hanya dia datang untuk membuatku salah mengartikan tingkah lakunya. "Bersikaplah profesional, okay? Urus saja makananmu sendiri." kataku pelan, namun dengan nada datar tanpa menatap matanya. Aku sadar, saat aku menatapnya pertahananku akan selalu runtuh. Dari awal aku sudah mengatakan jika Rush bukanlah orang yang mengintimidasi. Hanya saja aku tak pernah bisa menutupi apapun jika aku menatap matanya. Dan itu membuatku takut, jika yang aku rasakan hanyalah bentuk lain dari terlalu berharap akan sesuatu. Jari-jari Rush yang sedari tadi mencengkram buku menu memutih. Wajahnya terlihat datar, namun tetap menyisihkan gurat kemarahan. Rahangnya mengeras, dan matanya menatapku tajam. "Kau membuatku benar-benar gila, Laura." Katanya dengan nada frustasi pada akhirnya. "Aku tak melakukan apapun!" bentakku padanya. Tanpa sadar aku merutuki mulutku yang tak bisa mengerem. Orang-orang disekitar kami menoleh, menatap kami dengan pandangan ingin tahu. Apa yang kalian lihat? Baiklah, lihatlah laki-laki pemaksa di depanku ini! Batinku ikut berteriak. "Tidak, kau melakukan banyak hal." Katanya dengan penuh penekanan. "Bisakah kita melupakan hal konyol ini dan mulai membahas desain?" aku mencoba mengalah padanya. Namun sepertinya aku salah jika menyebutnya tindakan mengalah, yang aku lihat Rush lebih murka dari sebelumnya. "Persetan dengan desain!" kini giliran Rush yang membentakku dan kembali menyita perhatian pengunjung lain. Tanpa aku sadari Rush bangkit dari tempat duduknya dan langsung menyeretku. Aku mencoba berontak, namun cengkramannya yang kuat sepertinya tak bisa dengan mudah melepaskanku. Rush menghampiri pria paruh baya supir kami tadi yang ternyata sudah stand by di depan restoran. Dia menyuruh pria itu mengurus barang-barang kami yang tertinggal di dalam restoran dan meminta kunci mobil. Rush lalu menggeretku masuk ke dalam kursi penumpang di bagian depan dan langsung memasangkan seatbelt. Sebelum aku sempat melepaskan seatbelt dan keluar dari mobil, Rush sudah memutari mobil lalu mengambil posisi di balik kemudi. "Apa yang kau lakukan?!" teriakku padanya yang kini membawa mobil dalam kecepatan yang sangat tinggi. Dia tak merespon pertanyaanku dan terus mengemudikan mobilnya menembus keramaian kota. Tak ada di antara kami yang bicara. Suasana yang begitu hening tercipta, hanya suara degub jantungku yang terdengar keras karena menahan kemurkaan dan sesekali helaan napas yang Rush keluarkan. Rush membawaku ke komplek mansion mewah Eropa Kuno dengan pilar-pilar besar mengelilingi masing-masing bangunan. Kami memasuki salah satunya, bangunan berwarna putih dengan sentuhan warna emas pada masing-masing pilar. Kami berhenti di depan rumah, aku hanya duduk tak bergerak. Rush melakukan hal yang sama. Duduk sambil bersandar pada bantalan mobil. Dia memejamkan matanya dan memijit pelipisnya. Tak lama dia keluar dan membuka pintu penumpang di sebelahku. Dia membantuku membuka seatbelt dan menarikku keluar. Aku merasa seperti sedang mengalami kelumpuhan, dia terus membuatku terasa tak memiliki tangan dan kaki. Kami memasuki rumah, lebih tepatnya Rush menarikku memasuki rumah. Bagai terhipnotis, aku tidak melawan dan hanya mengikutinya masuk. Dia membawaku menaiki tangga dan masuk ke sebuah ruangan yang sangat besar berisi buku-buku dan meja kerja. Jika dugaanku tidak salah, ini adalah ruang kerjanya atau mungkin sebuah perpustakaan. Tanpa diduga dan aba-aba Rush menarikku ke dalam pelukannya. Kini wajah kami hanya berjarak antara hidung masing-masing. Aroma maskulin dan mint bercampur menjadi satu yang membuatku melemas seketika. Rush bergerak maju, menenggelamkan kepalanya diantar leherku. Aku terlalu terkejut untuk hanya sekedar memberontak. Sesekali Rush menciumi dan menghirup wangi leherku. Darahku berdesir dibuatnya. Jika saja Rush tidak mendekapku erat, aku sudah jatuh terkulai lemas di lantai. "Tidakkah kau mengerti?" Tanya Rush padaku. Aku ingin menjawab, namun rasanya suaraku menguar entah kemana. "Tidakkah kau mengerti, Laura?" Tanya Rush lagi, dan aku tetap diam tak menjawab. "Aku menginginkanmu Laura. Sangat menginginkanmu sampai membuatku sangat merasa frustasi. " bisiknya di telingaku. "K-Kau apa?" Aku mencicit, Rush mengangkat wajahnya sehingga kami berhadapan kembali . "Menginginkanmu. Menginginkanmu sampai rasanya membuatku menjadi gila. Aku sangat sangat menginginkanmu sejak pertama kali aku mengenalmu." Rush tersenyum padaku, matanya berbinar indah. Atmosfer ruangan ini pun berubah seiring senyum Rush yang makin mengembang. "Kau merasakannya?" Aku mengangguk pada Rush. Raut mukanya langsung menggelap, aku tak bisa mengartikan itu apa. Wajahnya semakin mendekat, namun tiba-tiba berhenti. "Bisakah aku?" tanyanya lagi meminta persetujuan. Aku terlalu frustasi. Baiklah aku harus melakukannya. "Oh God. Lakukan Rush atau tidak sama sekali." Bisikku frustasi. Rush tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya. Menyelesaikan apa yang sebelumnya tertunda. Kami menyatu dibawah langit mansion megah ini. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD