She is Irene ( POV )

1002 Words
Pantai. Malam-malam begini Gerald mengajakku mendengarkan ombak yang berderu tenang di pantai. Dan yah, apa yang ia katakan memang benar. Mendengar dan merasakan kesunyian pantai di malam hari membuat kesan suram dan tenang secara bersamaan. "Bintang akan terlihat jelas di sini. Dulu saat ibuku memarahiku, aku akan lari ke sini." "Benarkah? Sendirian saja?" "Iya. Karena aku tak punya teman atau kerabat sama sekali," ucapnya lirih. Tapi anehnya dia malah tersenyum senang. Entah menertawakan apa. "Lalu..kemana ibumu? Apa dia tahu tempat ini?" Gee menggeleng. Ia bahkan semakin menyeringai dan itu membuatku merinding. "Sampai dia mati pun, dia tak tahu aku bersembunyi di sini. Di batu besar iti sambil menahan dingin. Syukurlah dia ditangkap lalu aku bisa makan tenang di rumah. Tapi tak lama dia kembali lalu sakit dan mati." "Gee --" "Ya?" tolehnya. Gerald ternyata masih mempertahankan senyum anehnya itu. "Kenapa kau terlihat senang?" Seketika raut wajahnya berubah. Gerald mencengkram kemudi lantas tertunduk. Kali ini apa lagi? Apa dia akan mulai tertawa atau menangis? Kenapa sikapnya berubah saat menceritakan tentang ibunya. "Maaf..maaf. Aku tak bermaksud membuatmu ketakutan." "Tak apa. Aku takkan menceritakannya pada siapapun." "Terima kasih. Maaf membuatmu tak nyaman." Setelah itu kami berdua terdiam lagi. Mendengar cerita tentang keluarga, sekelebat tadi aku kembali mengingat tentang masa kecilku. Aku selalu mengingat wajah ibuku. Tapi tak pernah ingat dengan wajah ayahku. Kenapa aku bisa tak mengingatnya sedikitpun? Yang selalu kuingat adalah taman kecil, bunga daisy, wajah ibu lalu darah. Tidak. Aku tak ingin mengingat yang terkahir. "Irene?" Aku mengabaikan panggilan Gerald yang melihatku keluar dari mobil. Udara sangat dingin dan aku baru menyadarinya saat Gerald menghampiriku dengan sebuah selimut yang entah berasal darimana. Gerald tersenyum tipis padaku lalu mengeratkan selimut yang kukenakan. Dengan lembut dia berkata, "Nanti kau bisa masuk angin. Apa kau ingin berjalan-jalan sebentar?" Aku mengangguk pelan dan Gerald berjalan beriringan denganku menyusuri pinggiran laut. Gerald sama sekali tak bertanya tentangku. Ia sibuk menceritakan tentang butiknya dan kehidupan masa lalunya. Dan saat dia bilang tentang rumah sakit penanggulangan anak dari trauma, aku penasaran dengan ceritanya. "Berapa lama kau di sana?" "Tidak lama. Mungkin sekitar 3 tahun. Setelah itu aku diadopsi oleh keluarga Cartner." "Ternyata kita punya banyak kesamaan. Aku juga anak yang berasal dari keluarga yang kelam. Ibuku tewas gantung diri dan ayahku --" Gerald menunggu jawabanku. Aku memutuskan untuk tak melanjutkan secara jauh. "Aku tahu perasaanmu. Pasti berat menceritakan pengalaman buruk. Tapi..hal terbaik untuk melawan masa lalu adalah menghadapinya." Aku menoleh. Melihat manik cokelat Gerald yang menatapku serius. Ada keteduhan, kejujuran dan misteri di matanya. Dan aku bersumpah bahwa aku terhipnotis dengan caranya menatapku. "Menghadapinya?" "Yah. Melarikan diri takkan membuat masalahmu selesai. Meski menyakitkan, cobalah untuk mengingatnya semakin jelas. Agar --" Gerald melempar sebuah batu ke arah laut. Batu itu lenyap pada lemparan sejauh kurang lebih lima meter itu. Aku menunggu ucapannya sambil merasakan tangannya hangat yang menempel di pipiku. "-- agar kau tak lagi ketakutan." # Kami kembali masuk ke dalam mobil. Karena hujan yang tiba-tiba mengguyur pantai dengan derasnya. Perlahan mencari penginapan, kami malah terjebak di tengah jalan. Mobil Gerald mogok sehingga kami terpaksa berhenti di pom bensin terdekat. Dia basah kuyup karena harus mendorong mobil sampai di tempat itu. Aku melihatnya sangat bekerja keras untuk itu. "Kau terlihat tak pernah mendorong mobil," gurauku. Gerald menggendikkan bahu tampak tam acuh, "Seperti itulah. Ah..kita terjebak di sini. Kau tak apa-apa?" "Memangnya kenapa?" "Apa tunanganmu tidak pulang ke rumah?" Oh astaga! Aku baru ingat tentang Mino. Batrai ponselku lowbat dan ponsel itu juga tertinggal di mobil. Apa aku harus menerjang hujan lagi untuk mengambilnya. "Dia mungkin sekarang masih tidur di kantor karena pekerjaannya." "Apa pelakunya belum tertangkap?" Aku balas dengan hendikkan bahu. Gerald menggigil dan aku baru tersadar ia tak punya baju ganti atau sesuatu yang hangat di tubuhnya. Aku mendekat sambil menawarkan satu selimut berdua. Gerald memicingkan mata, "Kau serius?" "Aku sudah cukup hangat," jawabku. Sayangnya pom bensin ini tak memiliki kafe atau tempat penginapan. Sehingga yang terjadi adalah kami menunggu hujan sambil duduk di tepian kursi yang letaknya tepat di emperan toko. Gerald mendekat lalu sedikit setengah memelukku dari belakang. Kami tertawa canggung karena berada dalam satu selimut seperti ini. Suasana menjadi hening karena tempat ini juga sangat sepi dan jarang melintas mobil. Sambil menunggu taksi yang Gerald pesan, kami duduk berdua seperti orang gila. Yah..seperti pasangan yang tengah berpacaran. Aku merasakan Gerald bergerak gelisah karena mungkin tak tahu harus meletakkan tangannya di mana. Dengan pelan aku berujar agar ia meletakkan tangan kanannya itu melingkari pinggangku. "Agar kau lebih hangat," ujarku malu-malu. Karena aku sama sekali tam bermaksud untuk membuatnya canggung. Dan Gerals melakukannya. Posisinya kini tepat seperti memelukku. Aku bisa merasakan helaan napasnya di pundakku yang terbuka. Dan tak lama pula, aku bisa merasakan dagunya menempel di kulit pundakku. Rambutnya yang basah mengenai ceruk leherku dan entah kenapa, aku menjadi gugup dan terangsang. Oh astaga. Apa aku terlalu kentara? Gerals tiba-tiba menatapku tepat di wajahku. Terlalu dekat karena pipiku bahkan bisa bersentuhan dengan bibirnya. Apa yang harus aku lakukan? Dan apa maksud tatapan Gerald itu? Gerals mengeratkan tangannya di pinggangku sehingga membuat kami semakin menempel. Lalu tanpa seijinku, wajahnya menyeruak masuk dalam leher jenjangku. Aku bisa mendengar bisikannya sambil tangannya mulai bergerak yang membuatku jadi berhadap-hadapan dengannya. "Bolehkah aku --" Sialnya, aku malah mengerang pelan saat Gerald mengecup singkat telingaku. Yang kemudian tangannya yang lain menyentuh pipiku dengan seduktif. Dari telinga, kini bibir itu bergeser ke pipiku dan dilanjutkan hingga sampai ke ujung bibirku. Jantungku berdetak dengan kencangnya. Apa yang kulakukan ini sungguh di luat kendaliku. Aku begitu saja pasrah dengan segala perlakuan Gerald padaku. Padahal seharusnya aku sadar, aku harus menolaknya cepat sebelum terlanjur begitu jauh. Tapi..aku lebih memilih naluri terdalamku daripada mengikuti otakku. Gerald berhenti. Sambil tertunduk ia kembali melanjutkan ucapannya yang sempat menggantung. Aku berubah cemas karena perbuatannya yang menggantung itu. Pasalnya, aku sudah berpikir liar tentang apa yang akan Gerald lakukan padaku di emperan pom bensin ini. "You're so beutifull, Irene Hill." Suara honk dari seseorang mengakhiri keintiman kami. Aku langsung tak berdaya dengan ucapan gombalnya itu. Jantungku masih berpacu dengan kencang apalagi saat Gerald menggenggam tanganku. Ia lantas berdiri dan tersenyum tipis sambil menatapku. "Taksinya sudah datang. Ayo kita pulang." Bersambung Haaii. Gimana dengan cerita ini?? Apa semakin seru? Jangan lupa kasih tap love dan follow yah xD mumpung masih gratis yuk baca sepuasnya! Maaf kalau ada typo atau kata yang tak sesuai. Kalian bisa komen dan kritik juga di komen. Oke see youu
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD