"A..aku... Ituu.."
"Kau sedang jalan-jalan?"
Aku masih menunggu.
Menunggu jawaban Irene yang ingin kudengar dengan sejujur-jujurnya. Tapi sepertinya dia sulit untuk mengatakannya. Irene masih diam bahkan saat kepala polisi menelponku lagi.
"Ya. Aku ada di rumah."
Kepala Tim yang menangani kasusku mengatakan bahwa ada temuan baru. Aku lantas menyanggupi dan menutup teleponnya. Aku bersiap dengan pakaianku. Ku kecup kening Irene sebelum pergi. Namun langkahku terhenti saat dia menarik lenganku.
Dengan mata yang berkaca-kaca, Irene menceritakan semuanya.
"Dia Charlie. Aku baru tahu dia Charlie saat aku ke panti tempatku dirawat dulu."
"..."
"Aku ke sana untuk menanyakannya tapi -"
Ku peluk Irene erat dengan kata yang tak bisa tersampaikan. Aku percaya padanya. Tapi aku mulai tak yakin dengan satu hal.
Apakah setelah ini mereka akan semakin dekat?
Jika ya..apa aku akan kehilangannya?
#
Hal itu terus berulang di kepalaku. Bahkan aku terus tak konsen saat Bobby menerangkan tentang penemuan baru yang mereka dapatkan.
"Seperti yang kita tahu Blue Murder selalu menghilangkan jejak dengan memanggang korbannya. Ini seperti --"
Teleponku berdering. Itu dari Irene. Aku langsung mengangkatnya dan meninggalkan Bobby sendiri yang tengah terpelongok.
"Hemm? Ada apa?"
"A..aku..aku ada di depan kantor."
"Kenapa ke mari?"
Aku lantas turun ke bawah dan menemukan tetangga sekaligus rekan kerja Irene itu di sana. Dia terlihat sehabis berkelahi bahkan tangannya dibalut perban entah karena apa. Aku berjalan melewatinya dan kulihat menyusul Irene dengan seorang wanita. Polisi yang lain juga menangkap seorang pria yang juga mengalami luka. Dan pria tersebut terus memaki Gerald yang berjalan lebih dulu darinya itu.
"Ada apa?"
"Mino..dia tetanggaku. Suaminya berkelahi dengan Gerald."
"Humm dan kenapa kau ikut kemari?" tanyaku pada Irene yang masih tak mengerti situasinya. Lebih tepatnya kenapa Irene harus ikut serta ke mari. Apa karena Gerald pelakunya? Alias Charlienya itu?
"Irene saksi mata atas kejadian ini. Ada juga beberapa tetangga lain yang ikut," terangnya yang hampir membuatku terbakar api cemburu lagi.
Aku lantas masuk ke ruangan investigasi dan adu mulut pun tengah terjadi. Aku lihat mereka membicarakan tentang penyerangan Gerald terhadap laki-laki brewok tersebut. Ada juga laporan yang masuk tentang penganiayaan yang dilakukan pria tersebut lah yang membuat Gee membalas.
"Dia datang bak pahlawan menuduhku melakukan kekerasan pada Vania. Padahal aku tak seperti itu!" teriak pria bernama Bear itu.
"Lalu soal rekaman? Rekaman apa maksudnya?" tanya rekanku yang bertugas sebagai polisi untuk kasus ringan dan rumah tangga.
Aku mengamati saja sambil melihat Irene yang menunggu giliran untuk memberikan keterangan. Bobby lantas muncul dan menyapa Irene yang sejak tadi termenung sambil melihatku ( Aku mengamatinya diam-diam ).
"Hei Irene. Apa kabar?" ucap Bobby beramah-tamah. Mereka tampak girang apalagi saat Bobby mengoceh tentangku juga.
"Baik. Kau sendiri? Sepertinya sangat lelah."
"Tentu saja! Kau lihat mata pandaku? Sudah semakin lebar karena kasus itu. Belum lagi calon suamimu itu juga semakin lamban saja berpikirnya."
Aku mengirimkan mata layasku padanya. Bobby langsung menciut di tempatnya.
"Sebenarnya ada apa ramai-ramai di sini?"
"Tetanggaku membuat laporan penganiayaan. Dan aku saksi mata di sini," jawab Irene. Sejak tadi aku memperhatikan gerak gerik Gerald. Dia tampak tenang sekali padahal ini cukup membuatnya dalam masalah.
"Oh..itu bukannya Gerald? Dia tadi pagi membuat laporan tentang penyerangan butiknya. Jadi malamnya dia dilaporkan membuat penyerangan?"
Aku mengeryit tak tahu. Irene pun sama, "Serangan butik?"
"Yah. Dia diserang orang tak dikenal. Pelaku masuk ke butiknya yang tengah melakukan launching baju terbaru dengan menyebarkan foto-foto menyeramkan ini."
Bobby lantas memberikam laporannya. Aku melihat dengan seksama foto yang pelaku kirim padanya. Dan betapa terkejutnya aku karena foto tersebut adalah foto gadis remaja yang ditemukan tewas mengenaskan di gedung sekolah yang tak terpakai serta foto kasus kelima dari Blue Murder.
"Ini kan --"
"Itulah laporan penting ingin kukatakan padamu tadi," tandas Bobby enteng. Aku sendiri malah kesal karena dia menyembunyikan fakta sebesar ini.
"Kenapa hal seperti ini baru kau katakan padaku?" kesalku. Dan Bobby hanya nyengir saja sambil bersembunyi di belakang punggung Irene.
"Kau pergilah ke sana. Sepertinya mereka butuh catatan kesaksianmu."
Irene mengangguk dan pamit ikut bergabung dengan yang lainnya. Lalu aku sendiri mulai merangkai semua kasus ini satu persatu.
"Ayo kita lanjutkan pembicaraan ini."
Bobby mengikutiku dari belakang. Kami pun bergegas untuk menganalisis dari awal semua hal ini. Pertama, terjadi penyerangan oleh orang tak dikenal pada pukul 1 siang hari ini. Penyerangan itu berupa menyebarkan foto yang berisikan gambar-gambar korban yang dibunuh oleh psikopat Blue Murder dengan penirunya.
Siapa pelaku itu dan kenapa menyerang butik Gerald, membuatku mengambil kesimpulan singkat bahwa pelaku tahu sesuatu tentang Gerald. Sesuatu yanh dirahasiakan dan tersembunyi darinya.
Apa ini cuma penyerangan acak? Itu bisa saja. Mungkin pelaku hanya lawan bisnis yang tengah menjatuhkan mental bisnis baru. Tapi..kenapa dia menge arkan foto-foto yang seharusnya hanya ada di kepolisian?
"Jadi..Gerald pun tak tahu siapa pelaku itu?"
"Dia bilanh tidak tahu. Karena pelaku penyerangan mengenakan topeng."
Pikiranku hanya berpusat pada satu pertanyaan. Kenapa dia menggunakan foto itu? Aku harus mencari tahu.
Dan pada kasusnya malam ini pun terbilang unik. Gerald merekam seorang ayah tiri yang tengah menganiaya anak tirinya sendiri karena tak dibelikan es krim. Kenapa dia begitu? Apa karena rasa simpati?
Pesan singkat Irene menginterupsiku. Dia menulis bahwa pemeriksaannya sudah selesai. Aku bergegas dan untuk menemui Irene sebelum dia pulang.
Aku melihat Gerald yang juga sudah selesai diperiksa. Karena kasus ini berawal dari laporan penganiayaan, maka Gerald dinyatakan tak bersalah karena sebagai pelapor. Istri pelaku juga memberikan kesaksian dan memebenarkan tentang kasus tersebut. Maka hari ini, Gerald kembali ke rumah sedangkan Bear harus mendekam lagi lebih lama karena kasusnya
"Sepertinya kau betah di sini tuan Gee," sindirku pada Gerald yang terlihat bersiap-siap keluar dari kantor.
Sia membalasku dengan cengiran, "Kau tahu..terkadang penjahat besar bukan takut di penjara. Karena mereka sudah biasa bolak-balik ke sini jadi penjara tak semenyeramkan itu."
"Ahh. Penjara itu? Tentu tidak seram untukmu. Lain kali aku akan membawaku berkeliling ke penjara paling menakutkan di kota ini. Atau mungkin se-negara bagian."
Dia terdiam. Atensinya jatuh pada gadisku yang kini menghampiriku untuk pamit pulang. Aku mengiyakan dan menyuruhnya untuk hati-hati pulang.
"Kasusmu sudah selesai. Kau hanya perlu melapor seminggu sekali dalam sebulan ini," ucapku kembali mengulurkan tangan sambil mencengkram tangannya kuat.
"Jangan kembali lagi Gerald. Jika kau kembali lagi..aku tak yakin kau bisa keluar dari sini," ucapku penuh penekanan pada kata penjara.
Entahlah. Rasanya feelingku semakin kuat pada pria ini. Untuk sementara aku akan mengawasinya. Dan entah kenapa aku juga punya firasat bahwa kasus Blue Murder akan terkuak sebentar lagi.
"Baik. Aku akan ingat itu," ujarnya dan Gerald pun berlalu.
.
.
Bersambung