“Kalian saling kenal?” Tanya Nathasya lemas.
“Iya, jadi cewek ini yang udah merenggut kesucian Dhany tadi siang Kak Nat,” rengek Dhany mengadu manja pada kakaknya.
Bik Irma tercekat mendengar pengakuan ambigu Dhany, “Hahhh... Tidak mungkin puteri saya melakukan hal-hal yang tidak senoh-noh pada Den Dhany?”
“Aduhhh, kepala kakak langsung pusing tiap kamu ngomong hal-hal ngelantur dek.”
“Haduhhhh, Dhany punya bukti kak?”
Belum sempat Nathasya melihat barang bukti yang dimiliki Dhany, tiba-tiba sang Mama memanggil.
“Ada apa sih Nat?” Teriak Mama dari kamarnya.
Bik Irma langsung berbisik, memohon agar Nathasya tak mengadukan hal ini pada Bu Rida.
“Eehh... Biasa Ma, si Dhany kagetin Nat.” Sahut Nathasya ragu-ragu.
Kanaya dan Bik Irma pun akhirnya bisa menghela nafas lega mendengar Nathasya menutupi kejadian ini. Dengan penuh rasa syukur Bik Irma berkata, “Non Nathasya ini memang bijak, saya tidak akan melupakan kebaikan Non Nathasya.”
“Kak Nat emang baik dan bijak, tapi tidak dengan gue,” sahut Dhany dengan senyum menyeringai.
“Apalagi sih dek?”
“Anak Bik Irma ini, tadi siang gigit gue. Ini buktinya,” Dhany menunjukan tangannya.
Nathasya dan Bik Irma terbelalak melihat itu.
“Benar, Neng?” tanya Bik Irma ragu pada Kanaya.
Kanaya semakin menunduk dan tidak bisa berkata-kata, itu menjawab pertanyaan seluruh orang yang saat ini berada di tempat itu.
“Karena itulah, Dhany mau anak Bik Irma nikah dengan Dhany sebagai bentuk pertanggungjawabannya.” Kata-kata konyol Dhany sukses membuat Nathasya tersedak meski tidak sedang memakan apapun.
“Dek?? Lo serius??” tanya Nathasya tak percaya. Dhany manggut-manggut dengan mantap.
“Yaelah dek, kirain pelecehan macam apa yang menodai kesucianmu? Begini doang mah gak perlu nyuruh anak Bik Irma nikahin kamu kali?”
“Kak Nat dipihak siapa sih sebenernya? Ya udah kalo Kak Nat gak dukung, Dhany minta dukungan Mama aja yang jelas bakal dukung dan mempercayai seluruh ucapan Dhany. Sekalian Dhany aduin kalo ada penyusup di rumah ini.” Ancaman Dhany membuat Nathasya, Bik Irma, dan Kanaya menjadi gusar.
Dengan cepat Nathasya menarik Dhany pergi. “ Maaf Bik, kita bicarakan lagi masalah ini besok saja. Saya rasa ini sudah sangat larut,” pamit Nathasya sopan.
“Ta tapi Kak??” protes Dhany ketika Nathasya menarik paksa dirinya.
***
“Tapi dia itu cuma anak pembatu dek? Kakak ngerti elo kebelet nikah dan pengen banget punya bayi, tapi jangan asal lah pilih calonnya. Kak Nat bisa carikan kamu cewek dengan bibit bebet bobot yang sederajat dengan keluarga kita?” pekik Nathasya memberi sejuntai pengertian pada Dhany.“Dhany gak peduli bibit bebet bobot babat apa segala noh, yang penting cewek itu idup, subur, dan memiliki kantung rahim untuk menghasilkan bayi-bayi Dhany kelak itu sudah cukup, Kak Nat! Lagian anak Bik Irma itu bukan sembarang anak pembantu, asal Kak Nat tahu ya si Kanaya itu anak fakultas kedokteran yang mendapat beasiswa penuh di kampus Dhany. Dia bahkan satu angkatan dengan Romeo.”
Nathasya melongo mendengar penjelasan Dhany tentang latar belakang pendidikan Kanaya, dengan heran Nathasya melemparkan pertanyaan penuh keraguan. “Kok bisa anak Bik Irma kuliah di kampus elit kayak kamu, fakultas kedokteran lagi?”
“Tanya sendiri noh sama makhluknya, mumpung masih hidup dan belum Dhany makan!” jawab Dhany sebal.
“Okey, kalau sekarang anak Bik Irma itu sedang kuliah. Apalagi kuliahnya di FK, mana mau dia suruh cepet-cepet nikah dan memiliki bayi dek? Ya pasti dia beratlah sama kuliahnya..” Nathasya menuturkan hipotesisnya.
“Gak mau tau, pokoknya gimana caranya dia kudu dinikahin sama Dhany! Duhhh... Adek lelah kak, please gunakan ancaman ini untuk memaksa anak Bik Irma nikahin Dhany. Urusan beginian kan otak Kak Nat selalu encer, bantulah adek mu yang amat menyedihkan ini? Dhany janji bakal sedekahin 20% saham Dhany buat Kak Nat jika misi ini berhasil.”
Tawaran Dhany terdengar sangat menggiurkan di telinga Nathasya, meski begitu Nathasya ragu melakukan ide menyesatkan adiknya.
“Kalau kakak tetep gak mau bantu Dhany, maka bersiaplah menerima murka Mama. Karena Dhany tidak akan segan melaporkan tentang kebiasaan buruk Kak Nat yang suka pulang larut dan mabuk-mabukan bersama si Beno itu.” Ancaman Dhany membuat darah Nathasya berdesir merinding.
“Ben, bukan Beno!” koreksi Nathasya sebal, “Okelah, kakak akan bantu sebisa kakak. Tapi kakak gak janji ya.”
***
Keesokan harinya Nathasya berbicara dengan Bik Irma di teras belakang, sambil menyesap teh hangat dan menikmati setakup sandwich di tangannya. Nathasya mengatakan maksudnya pada Bik Irma dengan hati-hati, “Bik, kita ini kan sudah seperti saudara. Terlebih almarhum Papa dulu sangat dekat dan sayang terhadap Kanaya, saya rasa menuruti keinginan Dhany untuk menikahi Kanaya akan membuat almarhum Papa saya dan almarhum ayahnya Kanaya bahagia di sana.”
“A anu Non, bukannya saya tidak mau... Tapi,” ucapan Bik Irma dipotong cepat oleh Nathasya.
“Saya tahu Adik saya memang absurd dan sedikit kekanakan, tapi percayalah Bik. Dhany itu anak yang baik dan sangat setia, dia tidak akan menyia-nyiakan Kanaya. Mungkin cara bicara Dhany kurang sopan atau kurang tepat, bibik tahu kan sejak kecil dia tidak memiliki teman dan jarang berkomunikasi dengan publik. Karena itulah, Dhany tidak dapat berbicara sopan dan ucapannya terdengar tidak tulus. Padahal maksud Dhany sungguh tulus ingin mempersunting dan membahagiakan Kanaya,” bujuk Nathasya panjang lebar.
“Iya Non, saya sangat mengenal Den Dhany. Saya tidak pernah meragukan keluarga Tuswantono sama sekali, suatu anugerah jika puteri saya dapat menjadi bagian keluarga ini. Tapi saya merasa malu dan tidak pantas Non,” ujar Bik Irma sambil tertunduk pilu.
“Kenapa bicara seperti itu Bik?”
“Jujur, saya malu dan tidak enak mengatakan ini. Rumah pemberian almarhum Papa Non Nathasya terpaksa saya jual untuk biaya rumah sakit dan pengobatan almarhum Ayahnya Kanaya. Sampai saat ini Nyonya Rida belum tahu akan hal itu, jika nyonya sampai tahu. Saya yakin nyonya akan sangat kecewa kepada keluarga saya, kami banyak berhutang budi dan sampai saat ini, kami belum sempat membalas sedikitpun budi dari keluarga Non Nathasya.”
“Ohh, jadi Bik Irma malu karena itu? Lalu anak dan keluarga Bik Irma sekarang tinggal dimana?” tanya Nathasya halus.
“Keluarga saya tinggal Kanaya seorang Non, selama beberapa bulan terakhir ini dia tinggal di sini diam-diam. Maafkan saya Non,” tangis pilu Bik Irma pecah.
“Baiklah Bik, saya rasa inilah waktunya. Jika Bik Irma ingin membalas budi kepada keluarga kami, maka restuilah pernikahan Dhany dan Kanaya. Aku akan membantu menjelaskan kepada Mama tentang rumah yang terjual itu, Bik Irma tak perlu Khawatir.”
***
“Ndak bisa buk...” Teriak Kanaya dengan nada yang masih di bawah nada suara Ibunya.
“Ibu mohon Neng,” pinta Bik Irma sungguh-sungguh.
“Tolong jangan paksa Nay untuk urusan yang satu ini buk, Nay tidak ingin membantah ibuk, Nay tidak mau jadi anak durhaka yang menentang keinginan ibu. Tapi jika keinginan ibu menjodohkan Nay dengan anak mama itu, mustahil Nay menerimanya buk?” bantah Kanaya yang masih terdengar halus.
“Den Dhany anak yang baik Neng, Ibu mengenalnya sejak dia masih sangat kecil. Terlebih lagi keluarga Tuswantono sudah banyak membantu keluarga kita saat Ibu terpuruk, kamu tahu itu kan, Neng? Tanpa Pak Budi dan Bu Rida, mungkin kita akan mati kelaparan dulu... Ibu pun tak ingin memaksamu, cuma satu yang harus kamu camkan. Jika kamu ingin membahagiakan ibu dan membalas jasa-jasa ibu, maka menikahlah dengan Den Dhany. Hanya itulah yang dapat membuat ibu bahagia,” kata Bik Irma lirih.
Ibuk... Please jangan katakan itu, jika harus memilih melajang seumur hidup atau menikahi anak mama itu. Jelas Nay akan pilih opsi yang pertama, menikah dengan pemuda itu seperti terperangkap dalam sarang penyamun. Ohhh tolonglah Ibu beri Nay pilihan lain... Nay dilema berat T,T
***
Bersambung...