2. Cinta Pertama

1643 Words
Bab 1  10 tahun lalu, masa kuliah... Pertemuan Badil dengan Deby adalah kebetulan semata, hubungan mereka adalah teman lama masa sekolah. Kegiatan organisasi kemahasiswaan kampus Badail berlokasi di kampus Deby tanpa Badil tahu bahwa Deby berkuliah di sana. Begitu juga Deby yang tidak mengira akan bertemu dengan Badil, teman sekelasnya di tahun ketiga ketika SMA pada kesempatan itu. Sayangnya ketika tanpa sengaja keduanya berpapasan bertemu menjelang sore, Deby tengah dalam perjalanan menuju ruang kelas.  Ya, Deby ada jadwal kuliah saat itu. Tapi Badil tanpa ragu mengajak Deby untuk bertemu setelah jadwal kuliahnya selesai hari itu. Toh acara organisasi Badil juga akan berlangsung hingga larut malam. Deby menyetujuinya meski sesaat sempat ragu memberi kepastian pada Badil. Karena setelah lulus sekolah, teman lama yang Deby temui barulah Badil orang pertama. Selama 4 tahun ini bukan dengan sengaja Deby menghindar tapi memang ia benar-benar tidak berhubungan lagi dengan kenalannya masa sekolah. Semua terjadi begitu saja. Deby sibuk menjalani kehidupan masa kuliah di pedesaan yang jauh dari tempat tinggal lamanya. Karena itu bertemu dengan Badil di tempat ini Deby merasa takjub, gembira juga rasa canggung yang bercampur jadi satu. “Teman-teman gak ada yang tau kalau kamu masuk ke universitas ini?” “Eum, aku rasa begitu.” Karena Deby memang tidak pernah mengatakannya pada siapa pun. “Pantas aja setiap aku tanya tentang kabarmu pada teman-teman tidak ada yang bisa menjawab. Kalau bukan karena acara kampusku itu, mungkin aku tidak akan pernah bertemu lagi denganmu ya. Haha...” “Ah, kalian pasti sering buat acara kumpul bersama ya?” “Iya, setiap tahun pasti. Ketua kelas kita sampai buat grup agar lebih mudah saling menghubungi dan bertukar kabar.” Dan di grup itu tentu saja Deby tidak termasuk di dalamnya. “Begitu.” Suara Deby lirih. “Ah, bisa ‘kan kita saling tukar nomer kontak?” Tanya Badil. “Eh?” “Kenapa?” Ekspresi wajah Deby barusan membuat Badil penasaran, kenapa Deby terlihat bingung menatap wajahnya. “Ah, bukan apa-apa.” Wajah Deby tertunduk. Apa Badil terkesan terlalu frontal saat mereka baru bertemu lagi setelah sekian lama. Badil memutar otak, mencari alasan yang terdengar logis. “Eng, sebenarnya aku berencana akan menikahi pacarku saat ini De. Karena itu aku minta nomor kamu ya biar gampang kirim undangan nanti. Haha...” “Oh! Benarkah? Selamat ya!” Rona Deby berubah mendengar curahan hati Badil. “Ahaha... Ini baru niatan aku De, bahkan aku belum resmi melamarnya karena belum cukup kemampuan secara materi.” Badil tersipu malu saat melanjutkan ungkapan hati yang sudah kepalang terucap. “Niat baik pasti dipermudah jalannya Bad, percaya! Aku bantu doa buat kamu.” Akhirnya Badil melihat juga seulas senyuman manis Deby yang amat ia rindukan. Saat masa sekolah dulu tentu saja Badil sering melihatnya. Setiap hari, pada setiap kesempatan tanpa kuasa memalingkan pandangan matanya, terkunci pada setiap ekspresi kegembiraan yang Deby tunjukkan saat bersama teman-temannya. Saat itu ada dorongan hasrat bergejolak di hati Badil yang sekali lagi mendorong keberanian diri bicara jujur pada wanita di hadapannya. Keberanian dan kejujuran yang selama ini tidak bisa Badil lakukan, karena dirinya terlalu pengecut untuk mengakui secara lantang dan terbuka pada cinta pertamanya. Bahwa telah lama Badil memiliki perasaan sepihak pada Deby, sejak masa sekolah ia memendam rasa itu seorang diri. Meski kali ini pun Badil tidak mengakuinya secara gamblang. “Aku sejujurnya ingin sekali mendapatkan pasangan hidup seperti dirimu De, bagiku kamu adalah wanita ideal yang kuimpikan.” Pertemuan hanya empat mata sesama teman lama itu dilakukan sambil makan malam. Jadi suasana di antara keduanya sudah seperti acara kencan pasangan. Yang mana memberikan sensasi aneh bagi Deby, hingga ia merasa canggung. Lalu Badil malah menambah buruk suasana dengan ucapannya itu, membuat Deby bingung entah harus bereaksi seperti apa. “Ahaha... Pasti kamu tidak akan percaya karena aku tiba-tiba bicara begini padamu.” Ya jelas, pasti selama ini Deby hanya menganggap Badil sebatas teman. “Aku hanya bicara De, tanpa maksud apa pun” “Eng... Tapi kamu sudah serius memilih pasanganmu sekarang menjadi seorang yang ingin kamu nikahi ‘kan Bad, itu karena kamu pasti yakin dia adalah yang terbaik untukmu.” “Benar.” Badil tersenyum senang mendengar kata-kata Deby yang coba memahami dirinya. Berpikir Deby sama sekali belum berubah, tetap menjadi cinta pertamanya yang penuh dengan pesona dan senyuman menawan. Pilihan tentang orang yang ia sukai meski masih terbilang anak remaja ketika dulu tidaklah salah. Badil menyukai pribadi Deby yang hangat dan baik hati seperti yang baru saja dilakukannya untuk Badil, memberi semangat dengan menyakinkan dirinya atas pilihannya. Badil menatap Deby lekat pada wajah dan manik matanya. “Maksud ucapanku tadi, entahlah... Aku hanya ingin kamu tahu itu De. Mungkin kesempatan seperti ini tidak akan datang lagi padaku.” Badil rasa ini saatnya untuk mengucapkan selamat tinggal pada cinta pertamanya. “Aku mengerti, kamu tidak perlu cemas kalau-kalau aku akan salah paham dengan ucapanmu itu.” “Terima kasih De, aku merasa sangat senang bisa bertemu lagi denganmu...” Orang bilang cinta pertama  akan selalu menjadi memori indah karena  memberikan pelajaran dan makna apa itu arti cinta meski tidak bisa memilikinya. Atau mungkin cinta pertama itu tetap indah karena tidak pernah bisa diraih. Terasa indah karena mencintai sepihak secara diam-diam dalam kesunyian, menjadi rahasia terdalam, diperlakukan dengan begitu berharga tersimpan indah bertakhta di sudut ruang hati secara khusus. Apapun perkataan orang bilang tentang arti cinta pertama, bagi Annindra Badil cinta pertama itu adalah Deby Anggara. *** Saat Sarah sudah merasa bosan bicara dengan kumpulan teman-teman lamanya yang berlangsung sekitar 20 menit itu. Sarah beranjak pergi hendak berpindah tempat menyapa dan membagi undangan pada teman-teman lain, ia yang sejak tadi mengamati dalam diam, datang menghampiri Sarah dan menyapanya lebih dulu. “Hai Sar, lama tak bertemu.” “Eh! Hai Badil... Apa kabar?” Tanpa menunggu jawaban Sarah langsung menyambung lagi ucapannya, teringat sesuatu yang membuatnya merasa bersalah. “Maaf banget lho aku gak bisa dateng ke acara tunangan kamu, padahal udah diundang.” “Ahaha... Gak apa-apa Sar. Udah lama banget lagian juga.” Sudah memasuki tahun kelima  pertunangan Badil bersama calon istri, untuk sekarang ia sudah tidak ingat lagi siapa-siapa saja yang hadir di acara itu. “Ahaha, bener juga.” “Eum... Sar, aku tadi curi dengar kamu lagi cari Deby ya?” Tanya Badil langsung pada pokok pembicaraan. “Iya. Kamu tau dia di mana?” “Enggak, Tapi! Kalau kamu ketemu Deby nanti, kabarin aku juga ya Sar?” Pinta Badil dengan sangat. “Eh? Emang kenapa Bad?” Badil ragu menjawab. “Aku.. berhutang permintaan maaf padanya. Em, pokoknya kabari aku segera tolong.” “Eng, oke...” Meski Sarah amat bingung dengan sikap Badil saat ini. Tapi ia tidak bertanya lebih jauh karena Badil terlihat tidak akan memberitahukan alasannya pada Sarah. “Ah, ini undanganku. Datang ya kalau kamu sempat.” “Oh, tentu Sar. Makasih ya.” Tersenyuman canggung Badil menerima undangan itu. “Aku ingin sekali Deby turut hadir pada pernikahaanku ini.” Badil lihat pada undangan tanggal pernikahan Sarah akan digelar dalam kurun waktu 2 minggu lagi. “Aku pasti akan menemukan Deby dan memaksanya untuk datang menyaksikan pernikahaanku Bad!” Entah kenapa Sarah berkata seperti orang yang mendeklarasikan perang. “Aku harap juga begitu.” Kata Badil lirih. 10 tahun lalu pertemuan Badil dengan Deby, saat itu Badil terlalu fokus pada dirinya dan perasaannya seorang tanpa mengambil perhatian pada kabar dan keadaan Deby. Badil sangat menyesali itu. Mereka memang saling bertukar kontak dan Badil menyimpan nomor yang Deby berikan. Tapi ternyata pernikahaan yang Badil ceritakan pada Deby berlangsung cukup lama dari saat mereka bertemu. Ketika Badil menghubungi nomor Deby yang tersimpan ingin menyampaikan undangan, nomor itu tidak lagi digunakan. Tidak aneh, Badil menghubungi Deby dengan nomor kontak yang ia berikan 5 tahun lalu sejak pertemuan mereka itu terjadi. Dan kini Badil kembali kehilangan kontak dengan Deby. “Jadi, bagaimana dengan kehidupan hubungan percintaanmu?” Tanya Sarah lebih penasaran dengan topik pernikahaan saat ini dari pada kepentingan Badil dengan Deby. “Haha... Bagaimana ya, kau akan tahu sendiri saat menjalani dan berada di posisi yang sama nanti Sar. Aku sulit menjelaskannya...” Bukan maksud Badil ingin menggoda Sarah, tapi mendapat pertanyaan tiba-tiba seperti itu Badil jadi bingung. “Aku heran, kenapa setiap orang yang aku tanyakan dengan pertanyaan serupa selalu memberi jawaban ambigu seolah mereka menyesali pernikahaan?” “Ahaha.. Kapan aku bilang kata menyesali Sarah?” Badil geleng kepala pada kesimpulan yang Sarah ambil. “Lagi pula aku belum sepenuhnya berumah tangga.” “Kamu tidak bisa menutupinya dengan senyum dan tawa palsumu itu Badil.” Tatap Sarah curiga. Senyum Badil makin lebar karena merasa konyol dicurigai Sarah karena masalah ini. “Sungguh! Hubunganku baik-baik saja, calon istriku tidak macam-macam dan tetap sama seperti awal hubungan kami, tetap mesra.” “Oh ya? Selamat kalau begitu. Aku harap berjalan lancar sampai waktu acara. Tapi kapan akan kalian resmikan ke status pernikahan?” Ekspresi menyelidik yang Sarah arahkan pada Badil sepenuhnya menghilang ketika mendengar kabar baik. Kabar baik apa pun itu sekarang bila sampai ketelinga Sarah pasti akan membuatnya semakin antusias, bersemangat, turut berbahagia. Mungkin masih berkaitan dengan suasana hatinya menjelang hari pernikahaan. “Hmm, entahlah. Persiapan masih terus berjalan tapi kami belum memilih tangga yang tepat.” Jawab Badil singkat dan jelas dengan sedikit ekspresi wajah sulit diartikan. “Ooh...” Sarah langsung paham bahwa topik ini sedikit kompleks. Badil bersama pasangan telah menjalin hubungan cukup lama namun jalan menuju pelaminan tak semudah itu mereka arungi, banyak permasalahan muncul merintang sebagai ujian. Dan kini Badil tidak ingin tergesa-gesa memutuskan, menjalani dengan santai tanpa beban paksaan hingga akhir perjalanan tujuan itu dicapai. Entah mengapa di saat-saat genting karena rasa cemas dan takut yang menghantui Badil belakangan ini, ia malah teringat ucapan Deby saat terakhir kali memberinya semangat tentang pernikahan dan pilihan pasangan hidup yang menjadi tunangannya sekarang. Badil ingin bertemu dengan Deby meski hanya untuk sekali, sekejap saja seperti hari itu. ...bersambung

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD