Chapter 8

550 Words
Biyan mencuci mukanya dengan sabun khusus wajah yang Ia bawa sendiri dari rumah, lalu mengganti pakaiannya dengan kemeja berwarna beige yang dibelikan oleh Attar waktu mereka ke mall dua hari yang lalu. Tepat saat mereka resmi menjadi sepasang kekasih. Padahal, Biyan sudah dengan tegas menolak, dan Attar dengan tegas juga memaksanya menerima pemberiannya. Ia memoleskan bedak dan lipstik dengan tipis lalu mundur beberapa langkah untuk melihat penampilannya secara keseluruhan. Ia mengambil tasnya dan berjalan menuju pintu unit apartemen ini. "Kamu mau mengunci saya dari dalam?" Tanya sebuah suara berat dengan datar membuat Biyan tersentak dan nyalinya menjadi ciut, meskipun Biyan tahu secara pasti suara itu berasal dari manusia. Tapi manusia yang satu ini sedikit menyeramkan dan laki-laki itu masih bisa membuka pintu unit apartemennya tanpa Biyan. "Maaf Pak, tadi saya kira Bapak sudah berangkat," jawab Biyan pelan lalu memiringkan badannya agar bisa laki-laki itu bisa keluar dari unitnya. Biyan berjalan dibelakang Garrend sampai lift dan mereka menunggu pintu lift terbuka dalam diam. Untung saja kecanggungan ini tidak berlangsung lama. Lift langsung terbuka dan mereka berdua masuk. Garrend menekan tombol B2, lalu Biyan melangkah maju dan menekan tombol G. Ia akan turun di lobby saja dan menunggu metromini datang. Tanpa berkata apa-apa, Garrend menekan tombol, yang baru saja ditekan oleh Biyan, dua kali. "Kok di matiin Pak? Kan saya mau turun di lobby." "Kamu nggak ke kampus sama pacar kamu?" Tanya Garrend dengan datar, tanpa melihat kearah lawan bicaranya. "Attar? Dia ada kuliah pagi jadi sudah berangkat." Biyan lalu mengerutkan keningnya. "Kok Bapak tahu?" "Jadi benar kamu ada hubungan khusus dengan Attar?" Biyan mengangguk. "Kamu ikut bareng saya saja ke kampusnya." "Saya sebenarnya baru ada kelas jam 1, rencananya saya mau ke toko buku dulu nyari buku buat skripsi. Dari toko buku ke kantor Bapak, rutenya muter-muter, Jadi saya kesana sendiri aja ya, Pak." "Oh kamu temenin saya meeting aja kalau gitu. Deket kok di daerah Bogor." Ujar laki-laki itu santai. "Nggak mau ah, Pak." "Memangnya saya memberi kamu pilihan untuk tidak ikut?" Pintu lift terbuka. "After you." Ujar Garrend seraya menggeser tubuhnya, membiarkan Biyan keluar lift terlebih dahulu. "Saya masuk jam 1 loh, Pak." "Memang kenapa? Ini masih jam setengah sembilan." "Kalau saya telat?" "Ya nggak usah masuk kampus sekalian. Lagian sekretaris saya tuh lagi sakit, masa saya sendiri kesananya?" "Emangnya di kantor Bapak yang kerja cuma Bapak sama sekretaris Bapak doang? Itu kantor apa kedai bakso yang kerja cuma dua." Garrend ingin sekali tertawa mendengar protes dari asisten rumah tangganya. Wanita itu memang tidak pernah berhenti bicara. "Masuk ke mobil, Abhiyan." Biyan membuka pintu belakang, baru saja Ia akan masuk, Garrend sudah meneriakinya dari kursi kemudi. "Biyan! Siapa yang suruh kamu duduk di belakang?" Tanpa berkata apa-apa, Ia keluar dari mobil Garrend dan membuka pintu penumpang bagian depan. Ia lalu duduk dan memasang seatbeltnya. Garrend memasang seatbeltnya juga dan memberikan smartphone hitamnya yang masih dalam keadaan menyala kepada Biyan lalu mulai menjalankan mobilnya keluar dari gedung apartemennya. "Masukin fingerprint kamu disitu." "Buat apa, Pak?" "Biar nanti kalau saya minta tolong kamu hubungi rekan kerja saya, nggak usah unlock-unlock pake jari saya lagi." "Emangnya kenapa?" "Saya kan menyetir, Biyan." Biyan lalu terkekeh. "Ohh, tadinya saya kira jari Bapak kapalan. Kan lucu seorang CEO jarinya kapalan." Garrend tidak bisa untuk tidak tertawa. Hanya Biyan, yang berani menertawainya. Dan Ia tidak masalah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD