3: Tujuan Hidup adalah Pembinasaan [A]

1672 Words
Hari Selasa alias keesokan harinya. Gio kembali datang ke sekolah dengan penampilan cukup berantakan. Bahkan tidak berlebihan jika harus dikatakan sebagai, sangat berantakan. Jauh lebih parah timbang kemarin. Kemeja seragam tidak dimasukkan ke dalam celana dengan rapi. Blazer seragam tidak dikenakan. Hanya dilingkarkan saja di pinggang. Sangat urakan. Gesper kedodoran entah dipasang benar atau tidak. Dasi tidak rapi. Celana panjang seragam yang sebelah kirinya dilipat seperti orang habis mengambil air wudhu. Tapi, hanya sebelah kiri saja. Bahkan pakaian dari ujung kepala sampai ujung kaki kelihatannya sama sekali tidak disetrika. Sangat kusut. ”Apa anak itu menggunakan seragam Senin kemarin? Luar biasa joroknya,” tanya para siswi tukang rumpi kala melihat kondisi si anak remaja. Ia tengah melangkah tergesa-gesa. Ingin segera menuju ke lantai di mana kelasnya berada. * Sesampai di ambang pintu kelas. Para siswa dan siswi yang telah terlebih dahulu datang melihatnya sekilas. Berpikir bahwa ia “cukup” aneh. Dan setelah itu kembali pada kegiatan mereka sebelumnya. Mereka merasa, yah, anak itu kan memang aneh. Biarkan saja, lah. Asal tidak merugikan orang lain dia tidak perlu dipikirkan. Sungguh pemikiran yang ”bijaksana”. Namun, sayangnya bukan itu yang dikehendaki oleh Gio. Karena setelah tiba di kelas. Ia langsung masuk dan mendatangi satu demi satu anak di sana. Ia sentuh pundak mereka yang membelakanginya. Ia amati wajah mereka satu demi satu dengan baik. Setelah itu menghembuskan nafas dengan wajah sangat lega. Fiiiuuuhh… ”Kamu kenapa, sih?” tanya seorang siswa bertinggi badan sedang dengan kulit sawo matang teman sekelasnya yang bernama Roni. ”Ya udah sih, Ron. Biarin aja dia mau melakukan apa juga. Bukan urusan kita, kok,” ucap seorang siswi gendut, pendek, berkulit putih seperti bakpao teman sekelasnya yang bernama Eva. Seorang siswi lain bernama Hafza memotong kejulidan siswi yang memasang raut menyebalkan itu dengan berkata, “Telapak tangan kamu panas sekali ya, Gi. Muka kamu juga terlihat cukup pucat. Apa hari ini kamu sehat?” tanyanya. Gio kembali memegang kepalanya. Ngiiing… ngiiing… ngiiing… Suara aneh yang mirip dengan kemarin kembali terdengar secara misterius. Entah berasal dari mana. Sikap dari para teman sekelasnya yang tiba-tiba terasa ”ramah”. Sedikit banyak membuat ia jadi berakhir dengan rasa tidak nyaman. Setelah perasaan tidak enak yang ia alami mulai sedikit mereda. Gio memberanikan diri membuka percakapan dengan para siswa yang belum pernah ia dekati, ”Di mana… ketua kelas kita?” tanyanya. Hafza tersenyum sedikit canggung. Bertanya untuk memperjelas, ”Ketua kelas kita?” Gio menganggukkan kepala pelan. Masih berusaha menahan perasaan merinding campur meriang yang menjalari sekujur tubuh. Jika ia pikir lagi. Sejak kemarin perasaan ganjil yang ia alami memang berhubungan dengan sang ketua kelas. Seorang siswa ramah baik hati. Yang memberi ia secercah perhatian. Timbang hanya gunjingan tidak berkesudahan. “Gio,” panggil Roni seraya menepuk salah satu Pundak Gio. Anak remaja itu melihat wajah pucat pasi siswa di hadapannya dengan lembut. “Ketua kelas kita itu Hafza,” beritahunya. Hafza hanya menyilangkan kedua tangan di d**a. Gadis dengan kuncir kuda itu melihat wajah Gio dengan tatapan prihatin. Tampaknya rumor yang beredar selama ini memang benar. Bahwa Gio adalah seseorang yang mengidap gangguan mental, trauma berat, atau hal seram lain. Kedua bola mata Gio langsung terbelalak mendengar fakta tidak masuk akal itu. Ia berkeras, ”Tidak mungkin. Aku bersama dengan ketua kelas kita kemarin. Bahkan dialah yang mengantar aku ke unit kesehatan sekolah. Seorang anak laki-laki yang tampak normal dan…” Semua siswa dan siswi yang ada di sana langsung terdiam. Hawa dingin yang mencekam terasa berhembus dan mulai menusuk tulang. Mereka saling melihat. Tidak begitu saja mempercayai apa yang baru saja didengar. Roni sebagai siswa yang paling cepat kembali ke kenyataan. Segera berkata pada Gio untuk memberi penjelasan. Ia keluarkan ponsel cerdas kekinian dari kantong blazer. Ia klik sebuah gambar foto. Ia sodorkan pada anak yang tengah gundah gulana di hadapannya. Ia bertanya, ”Apa orang ini yang kamu lihat kemarin?” Gio menganggukkan kepala lemas. Menjawab, ”Benar sekali.” Roni menganggukkan kepala satu kali dan melihat ke para temannya dengan raut simpati yang ditujukan untuk Gio. Si anak remaja laki-laki introvert yang tidak peduli pada bagaimana dunia berjalan. Hanya memikirkan bagaimana cara ia bisa berhasil meski seorang diri. Seorang anak remaja yang terpisah dari dunia sekitarnya. ”Memang apa yang sebenarnya sudah terjadi? Kenapa kalian jadi diam seperti itu?” tanya Gio merasa semakin aneh. Karena para teman sekelasnya tiba-tiba malah jadi pada tidak bersuara. Sekolahnya sendiri adalah sekolah elit dengan biaya pendidikan cukup mahal. Tidak ada banyak siswa yang mengisi satu kelas. Kelasnya pun hanya diisi tidak lebih dari dua puluh lima orang pelajar. Membuat kediaman akan terasa cukup mencolok. Seorang siswa teman sekelas bernama Dana menunjuk ke arah jam tangannya dan berkata pada semua anak, ”Sebentar lagi sudah mau masuk, nih.” Ia melihat Gio yang tampak masih sangat penasaran. Ia berkata seraya menyentuh permukaan kaca jam tangan dengan jari telunjuk, ”Kita lanjutkan ceritanya nanti saja, ya. Sebentar lagi guru akan datang, lho.” Semua anak pun kembali ke mejanya masing-masing. Begitu juga dengan Gio. Yang sampai tidak sadar jika kondisi tubuhnya saat ini sendiri sedang sangat tidak sehat. ”Good morning, CLASS (Selamat pagi, KELAS!)” sapa guru mata pelajaran yang akan mengajar di jam pertama kelas mereka. Seorang pria dengan tubuh berukuran sedang yang sebenarnya sudah berusia paruh baya, namun ia masih ”tetap” perjaka. Karena namanya Mr. Perjaka. Semua anak di dalam kelas itu pun mendirikan tubuh mereka dan membalas dengan semangat serta serempak, ”GOOD MORNING. MR. VIRGIN! (SELAMAT PAGI, MR. PERJAKA!)” Walau sebenarnya pria itu tidak sungguhan ”perjaka” dalam arti harfiah. Ia tetap merasa senang jika semua orang berpikir bahwa ia memang masih perjaka. Kalau ditanya, Anda perjaka? Dia pasti menjawab, iya, saya Perjaka. Yah, semacam itu, lah. Bagaimanapun juga kemampuan untuk mempertahankan “itu” di masyarakat yang cenderung konservatif seperti penduduk Indonesia. Adalah suatu hal yang “membanggakan”. Ia sendiri sadar. Tidak mungkin lah ada laki-laki yang masih ”itu” di usia seperti dirinya saat ini. Ia hanya tidak ingin terikat oleh pernikahan. Yang ia rasa hanya akan merepotkan. Ia tersenyum dan berkata, ”So let's start the lesson! (Jadi, mari kita mulai pelajarannya!)” * Gio kehilangan kesadaran di tengah pelajaran Mr. Perjaka. Pria itu pikir awalnya murid yang sedang ia ajar hanya bercanda saja untuk menunjukkan kesulitan materi Teori Relativitas Khusus yang saat itu sedang ia bawakan. Saking susahnya sampai pingsan! Seperti itu. Tapi, ternyata tidak. Memang ada seorang siswanya yang sungguhan telah kehilangan kesadaran. Para anak lain bilang ia memang sudah terlihat tidak enak badan sejak pagi, namun ia menolak saat disuruh pergi ke UKS. Ia berkata bahwa, kondisiku akan jadi jauh lebih baik setelah belajar, begitu. Sungguh siswa budiman. Namun, kenyataan tidak mengabulkan angan. Di tengah pelajaran bukannya jadi semakin baik ia malah berakhir hilang kesadaran. Di unit kesehatan sekolah alias UKS. Roni lah yang diberi tugas oleh Hafza untuk menjenguknya usai jam pelajaran ketiga. Dan masuk ke waktu istirahat pertama. Ruang UKS kosong saat itu. Kosong dalam artian tidak ada pasien lain di sana. Hanya terdapat seorang dokter UKS dan dua orang anak PMR yang sedang kebagian jatah piket harian. Roni beranjak duduk di sebuah bangku plastik yang terdapat di sisi ranjang tempat Gio terbaring tak berdaya. Ia bertanya, ”Bagaimana keadaan kamu?” ”Sudah jauh lebih baik,” jawab Gio pelan. Roni melihat gelas teh yang baru diminum sedikit. Dan semangkuk bubur ayam yang sudah tandas. Anak ini sakit apa kelaparan, batinnya. Ia langsung melihat ke arah dua anak PMR yang sedang asyik mengobrol karena dokter UKS-nya sedang pergi ke kamar mandi. ”Heh, anak PMS! Ini ada mangkuk kotor pasien bukannya cepat dicuci malah enak-enakan ngobrol,” omelnya. Salah seorang siswi mendirikan tubuh dan menghampiri meja di sisi ranjang tempat Gio terbaring untuk mengambil mangkuk kotor bekas bubur. Ia melirik sinis ke arah Roni, ”Huh, yang sakit saja tidak berisik. Ini malah orang tidak jelas apa keperluannya di UKS malah banyak bicara,” balasnya. Roni langsung balas mengomel, ”Iyalah dia tidak berisik, orang sedang sakit juga.” Gio berkata lirih, ”Sebenarnya yang paling berisik di sini itu kamu, lho. Siapa sih namamu?” tanyanya acuh tak acuh. Yhee. ”Roni, Roni, namaku Roni. Masa kamu nggak ingat? Kan kita sudah hampir satu tahun jadi teman sekelas. Masa tidak tau siapa namaku, sih,” responnya heran. ”Maaf, deh,” pohon Gio pelan. Roni jadi tidak enak. Ia berkata, ”Yhaa, tidak apa-apa juga, sih. Toh, aku juga bukan tokoh sejarah yang harus kamu hapalkan nama dan perannya dalam putaran roda dunia ini. Kha kha kha.” Gio melirik sedikit wajah Roni. Bertanya, ”Kamu sedang menyindir?” Dengan santai anak remaja itu menjawab, ”Tidak. Kan kenyataannya memang seperti itu. Kata Dokter kamu kenapa?” tanyanya. ”Tidak apa-apa. Sepertinya hanya demam atau anemia biasa,” jawab Gio. Kembali menutupi kedua mata dengan tangan. ”Itu namanya bukan tidak apa-apa, bod*h,” balas Roni. “Aku bertanya-tanya. Apa sakitku yang datang secara sangat tiba-tiba ini berhubungan dengan orang yang fotonyak kamu tunjukkan barusan,” ”tanya” Gio. Sreeek. Roni menutup selambu pembatas antara tempat ranjang itu. Dan daerah di mana meja dokter dan pos para siswa PMR berada. ”Sebenarnya siswa yang kamu temui kemarin itu memang sungguhan ketua kelas kita,” beritahu Roni. Gio langsung mengernyitkan dahi tak mengerti. “Aduh, Ron, kepalaku saat ini itu sedang sakit. Jangan ditambahi sakitnya dengan harus memikirkan hal yang berkontradiksi seperti itu. Maksudmu apa?” tanyanya gemas. ”Aku masih sedikit bingung bagaimana harus menjelaskannya,” aku Roni. Wajahnya sendiri saat itu mulai tampak pucat. Seperti sedang menanggung suatu beban berat. Ia pun melanjutkan, ”Dia adalah ketua kelas kita yang sebelumnya. Tapi, saat ini dia sudah…” Bulu kuduk Gio auto meremang kala mendengar cerita Roni. Ia seperti sudah bisa menebak bagaimana kisah itu akan berlanjut. ”…tidak ada lagi,” lanjut anak itu. Entah apa maksud kata tidak ada lagi yang baru ia ucapkan. Untuk lanjutkan jawaban dari rasa penasaran tidak berkesudahan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD