4: Ada Apa dengan Papa [A]

1094 Words
Aku hanya seorang anak remaja biasa yang baik. Anak remaja normal yang ingin menjalani kehidupan normal seperti orang kebanyakan. Tidak dihantui oleh rasa benci, iri hati, maupun dendam kesumat yang terus menggerogoti nurani. Aku hanya ingin menjadi seorang manusia ”sederhana” seperti itu. Namun, tampaknya Siapa Pun yang telah meniupkan ruh ke ragaku hingga bisa berakhir hidup di atas dunia bertabur air mata. Sejauh ini belum punya pikiran. Untuk kabulkan kehendak dari sang angan. Aku hanya bertanya: kenapa? Mengapa? Apa yang jadi alasan? Tidak seperti anak remaja seumuranku pada umumnya. Yang mendambakan kehidupan luar biasa setelah lulus dari jenjang pendidikan sekolah menengah atas mereka. Yang aku damba hanyalah kehidupan biasa yang walau tidak istimewa juga tidak mengapa. Yang penting aku bisa terlepas sejauh mungkin. Dari para iblis yang selama ini berada di sekitarku. Menghantui tiap detik merangkai hari. * Beberapa bulan kemudian. Gio bersama dengan Roni, Hafza, dan seluruh siswa lain di sekolah mereka telah menyelesaikan ujian akhir sekolah juga ujian nasional untuk menyelesaikan jenjang pendidikan wajib terakhir. Semua anak merasa bahagia. Semua anak dipenuhi tawa suka cita. Perjuangan mengarungi dua belas tahun wajib belajar telah usai "tanpa" terasa. Ada yang sudah sibuk memikirkan ke mana mereka akan melanjutkan pendidikan. Ada yang lebih santai dengan ingin mengambil istirahat selama beberapa saat. Ada yang ingin langsung mempraktikkan ilmu yang mereka dapat selama sekolah dengan terjun ke masyarakat. Masing-masing siswa maupun siswi memiliki mimpi dan juga orientasi mereka sendiri-sendiri. Tidak terkecuali dengan anak itu. Gio. ”Setelah ini kamu mau melanjutkan ke mana?” tanya Roni. Seorang siswa teman sekelas. Yang sejak kejadian misterius waktu itu. Menjalin hubungan yang lebih baik dengannya. ”Aku belum begitu tau,” jawab Gio malu-malu. Ia bertanya balik, ”Kalau kamu sendiri?” ”Aku ingin kuliah di luar negeri. Sudah lama sekali mengincar sebuah kampus di Itali,” jawab Roni sumringah. Wah, Italia. Satu negara dengan Bunda. Enak sekali, ya, batin Gio “sedikit” iri hati. “Semoga nasib kamu baik,” doa anak itu “tulus”. “Oh, tentu saja. Terima kasih banyak atas doanya. Kamu juga. Semoga bisa mendapatkan apa yang selalu dikehendaki,” doa Roni balik. Benar-benar tulus. Acara seremonial yang hanya sekejap mata itu pun berakhir. Gio melihat bagaimana para teman dekat selama sekolah saling berpelukan dengan derai air mata. Sedih karena harus berpisah. Walau sebenarnya juga bisa segera bertemu lagi nanti malam kalau mau. Mereka sangat berlebihan, batin Gio sepanjang acara perpisahan yang jauh lebih banyak ia lalui sendirian. Untung saja masih ada si kawan Roni. Tanpa anak itu momen penutup kehidupan sekolah menengah atasnya bisa dipastikan akan jadi benar-benar datar, rata, tanpa kenangan sama sekali dan membosankan. Terima kasih banyak, Roni. Sekarang adalah waktunya untuk ”kita”. Kembali ke kenyataan, batin Gio saat acara perpisahan itu sudah berakhir. Hanya sedikit meninggalkan kenangan. Karena paling tidak di masa penghujung kehidupan anak sekolah menengah atas berusia belasan. Ia bisa menutupnya dengan tidak sepenuhnya sendirian. Ah, ternyata kebersamaan itu kadang bisa jadi menyenangkan. * ”POKOKNYA TIDAK BOLEH!” respon Gio Sr. lantang. Saat si putra tunggal mengutarakan keinginan untuk melanjutkan pendidikan dengan tinggal di luar kediaman itu. Alias indekos. ”KENAPA SIH, PA??!!!” tanya Gio tak kalah ngegas. “Semakin lama anak ini jadi semakin kurang ajar tidak ada habisnya. Semakin sulit diatur saja. Sebenarnya mau kamu itu apa??!!!” tanya Gio Sr. Gio menjawab, “Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, Tuan Giorsal Senior. Sudah berulang kali aku katakan, ‘kan? Aku tidak mau tinggal di rumah ini bersama dengan p*****r yang sudah menghancurkan rumah tangga bahagia kedua orang tuaku. Aku juga benci sekali pada dua anak setan itu. Aku sangat ingin mereka semua agar ma...” PLAAK. Belum juga usai menuntaskan kalimat. Tamparan telak telapak tangan pria itu sudah lebih dulu mendarat. “Jangan terlalu kencang kalau ingin kamu ucapkan kalimat tidak bergunamu itu!” perintahnya. ”Bagaimana kalau sampai terdengar Queenza dan Cessa?!! Saya tidak ingin sampai mereka berdua tumbuh dewasa menjadi anak rusak yang tidak benar dan tidak punya adab seperti kamu tau!” ucap Gio Sr. tanpa pandang bulu. Sama sekali tidak peduli pada siapa anak remaja yang sedang berada di hadapannya. Anak remaja yang jadi seperti itu. Bukan karena kesalahannya sendiri. ”AKU TIDAK PEDULI! Pokoknya aku akan keluar dari rumah ini walau Papa tidak mau membiayai. Papa itu kan memang hanya sayang dan peduli dengan dua anak keturunan wanita rusak itu. Papa tidak pernah peduli lagi dengan aku sejak ada mereka. ”Pokoknya aku sudah tidak tahan lagi,” pungkas Gio seraya menyabet tas berisi benda-benda pentingnya. Seperti dompet, emas batangan yang dibeli menggunakan uang tabungan, sikat gigi, handuk, juga celana dalam. Saat itu ia sudah tidak memikirkan asas realitas yang selama ini selalu berusaha untuk ia jaga dengan baik. Ia percaya dirinya sudah dewasa dan mampu berdiri dengan kaki sendiri. Tidak lagi bergantung pada orang tua tidak punya tanggung jawab seperti mereka. Seperti dia, maksudnya. ”GIO JUNIOR!” teriak Gio Sr. seraya menghalangi laju langkah sang putra yang hendak keluar dari dalam kamar. Ia dorong salah satu sisi d**a bidang ABD (Anak Baru Dewasa) itu hingga tubuhnya terjatuh ke lantai. Dukh. Rasa benci yang menjalari isi hati anak itu semakin meluap. Sedikit rasa syukur yang ia rasakan saat berpisah dengan Roni di perpisahan sekolah barusan mendadak lenyap. Hanya ada kemarahan, dendam kesumat, rasa tidak terima, dan emosi yang meluapi jiwa raga. Ia segera bangkit dan mencengkram kedua lengan atas pria yang merupakan papa kandungnya. Ia tak peduli lagi pada norma. Dibilang anak durhaka pun rasanya tidak mengapa. Cih, peduli setan dengan semua hal semacam itu. ”AKU BENCI SEKALI PADA PAPA! PADA WANITA PENJUAL BADAN ITU! DAN SEMUA ANAK-ANAKNYA!” teriak Gio sekuat yang ia bisa. Berharap agar para iblis yang berada di bagian lain kediaman dapat ikut mendengarnya. Ia harap bisa merusak mental mereka. Sebagaimana ibunya telah merusak mentalnya saat masih belia dengan tanpa tau malu merebut sang papa di depan matanya dan sang bunda. PLAAKK. Bukan hanya Gio yang melakukan hal dengan sekuat tenaga kala itu. Pria tersebut pun tak lagi menahan diri untuk menggampar wajah sang putra tunggal dengan sekuat tenaga. ”TUTUP MULUT KAMU, GIO JUNIOR!” perintahnya seraya menuding langsung ke arah wajah sang putra. Ia beranjak keluar dari kamar anak itu dengan menutup pintu cukup keras. BRAAAKH. Saat Gio pikir penderitaannya telah berakhir. Ia mendengar lagi suara, cklek. Panik segera ia hampiri daun pintu. Beberapa kali ia tekan kenop untuk membuka. Klek klek klek. ”Tidak bisa. Dikunci? Kenapa? "Tolong! Tolong aku! Aku mohon! Siapa saja! Aaaarrrghh!!!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD