Sudah lima malam lamanya Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Jr. putra dari seorang landlord (tuan tanah) Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Sr. diperlakukan seperti tahanan di kediaman sendiri. Dengan tidak diizinkan untuk keluar barang satu langkah pun dari dalam kamarnya. Bahkan tidak untuk membersihkan diri. Karena tidak seberuntung kamar anak-anak ”kandung” Tuan Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Sr. lain yang mana memiliki kamar mandi pribadi dalam kamar mereka. Ia tidaklah seberuntung itu.
Alhasil sudah dua hari tiga malam terakhir Gio mendekam di ruangan terisolir dari dunia luar dan lembab. Dalam kondisi tubuh kotor, lengket, juga berkeringat. Karena Gio Sr. turut membawa keluar remot pendingin ruangan.
Gio bahkan merasa tidak pantas untuk membaringkan tubuh di atas tempat tidur karena khawatir akan mengotori benda itu. Pikirannya benar-benar sudah rusak. Dan entah bagaimana Gio Sr. juga memotong pasokan listrik ke kamarnya. Membuat ia tak mampu mengisi kembali daya dari telpon genggam.
Stres. Depresi. Penuh tekanan. Sesak nafas. Aroma tidak sedap. Panas yang membuat tidak waras. Tidak ada yang bisa dilakukan. Benar-benar membuat Gio merasa bahwa dunianya kala itu tak ubahnya sebuah free trial alias percobaan gratis dari neraka. Hades. Inferno. j*****m. Atau apa sajalah itu.
Dan hanya ada iblis di dalam sana, bukan? Iblis yang telah menarik para manusia untuk memasuki kegelapan tanpa batasan serta tepian. Dengan tipu daya mengerikan serta hasutan bersuara lembut. Yang membuat kita tersangkut kegelapan sampai ke sudut, batin Gio yang pandangannya mulai buram. Ia bahkan tidak mampu melihat dengan jelas teko bening berisi air putih. Yang hendak ia gunakan untuk mengisi dahaga. Agar bisa kembali melanjutkan kehidupan suram di atas dunia.
Bagaimanapun juga aku harus menemukan cara untuk keluar dari rumah ini, tekad anak remaja baru dewasa itu kemudian. Dengan pandangan mata memicing melihat ke arah jendela yang tak dapat dibuka. Tidak mengapa. Sepertinya Gio Sr. sudah memaku atau memasang sesuatu di luar sana. Untuk memastikan bahwa ia tak akan bisa melarikan diri. Dari dalam kegelapan tanpa dasar ini.
Dalam bayangan Gio saat ini Gio Sr., p*****r itu, dan dua putri (setan) yang selalu diperlakukan sangat lembut seperti keturunan khayangan. Pasti sedang bersenang-senang. Bisa jadi mereka tengah jalan-jalan atau liburan ke berbagai macam tempat yang menyenangkan. Meninggalkan dirinya dalam batasan menyedihkan. Tidak bisa melepaskan diri. Atau melakukan sesuatu untuk mengusahakannya.
”Hahh, kalau mereka pergi liburan dan aku diajak. Biasanya juga aku hanya difungsikan sebagai pesuruh dan pelayan. Dengan alasan aku satu-satunya anak laki-laki. Mereka jadi berpikir bisa menaruh semua beban di pundakku sendiri. Disuruh membawa itu. Disuruh membawa ini. Disuruh menggelar karpet. Membeli makanan. Melakukan reservasi.
”Jika diingat-ingat lagi aku memang belum pernah benar-benar pergi liburan seumur hidup. Pria tua separuh iblis itu bahkan tidak pernah mengizinkan aku pergi liburan bersama teman-teman sekolah. Dan saat masih tinggal bersama Bunda dia selalu bilang bahwa tidak punya uang untuk membayar biaya darmawisata.
”Di saat dia ternyata punya rumah sangat besar seperti ini dan harta sebanyak itu. Dia selalu jadi sosok pria menyedihkan tidak punya tanggung jawab di hadapan aku dan Bunda.”
Setitik air mata menetes dari pelupuk matanya. Sedikit demi sedikit semakin membasahi tebing pipi. Ia tak kuasa lagi menahan rasa sakit juga siksaan tak berwujud ini. Ia ingin pergi. Ia ingin pergi. Ia ingin pergi. Ia hanya ingin meninggalkan tempatnya berada kini. Pergi menuju bagian mana saja dari dunia. Yang pasti jauh lebih indah dan sudah seperti surga.
”Please, God, take me instead... (Aku mohon, Tuhan, ambil aku saja...)” ucapnya seraya menatap pemandangan buram di luar jendela. Jendela yang sama sekali tidak menunjukkan pemandangan akan keindahan dunia. Jendela yang hanya menjadi tolak ukur dari betapa menyedihkan kehidupannya. Terus terkurung dan terikut pada sesuatu. Tidak pernah bisa merasa yakin. Memiliki kemampuan untuk melepaskan diri dari penahannya.
Dengan tubuh tak berdaya karena selama dikurung hanya diberi air mineral. Terbaring di lantai kotor penuh debu yang tampak tak bermoral. Gio hanya ingin memejamkan mata sampai di mana kegelapan dunianya akan berakhir. Menunjukkan secercah cahaya yang menunjukkan bahwa masih ada Tuhan untuk dirinya.
”Take me instead... Cabutlah sudah nyawaku, kehidupanku ini, Tuhan! Izinkan aku masuk ke dalam Inferno-Mu yang sesungguhnya saja. Aku tidak bisa dan tidak ingin lagi bertahan dalam kegelapan ini,” pohonnya, doanya, pada salib yang tertempel tidak begitu jauh di atas jendela. Juga rosario yang ia genggam di dalam telapak tangan. Menunjukkan betapa besar harapan telah ia gantungkan. Pada siapa saja yang menyebut diri-Nya sebagai Tuhan penguasa dari seluruh alam.
”Aku akan kehilangan nyawa...
”Aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi…
”Aku akan kehilangan segalanya...
”Aku tidak bisa bertahan jauh lebih lama…
”Aku akan kehilangan seluruh jiwa...
”Aku akan segera mati dan meninggalkan dunia...”
Rasa lapar yang semakin melilit tidak tertahankan lagi. Buat beragam pikiran buruk juga halusinasi menguasai isi hati.
Tuhan yang di langit itu "tidak" ada.
Aku adalah tuhan yang sesungguhnya.
Tuhan yang bertahta di langit itu tidak nyata.
Aku adalah tuhan untuk diriku sendiri.
Tuhan yang di langit itu tidak benar.
Aku adalah manifestasi tuhan untuk dunia ini.
Bahkan jika Tuhan tidak ada untuk memberi aku sedikit saja cahaya. Maka izinkan aku mati untuk menjadi tuhan dari segala kegelapan di atas dunia.
Dan Gio pun kehilangan kesadaran yang sejak tadi berusaha ia pertahankan. Di saat ia merasa itu tidak lagi berguna.
Dokdokdok.
Dokdokdok.
Dokdokdok!!!
Mendengar suara ketukan yang tidak familiar. Gio memaksakan diri untuk kembali membuka kedua mata. Apakah itu adalah sang malaikat pencabut nyawa yang datang untuk mengabulkan semua doanya? Agar ia bisa segera bertemu dengan kegelapan sejati yang telah sekian lama dinanti.
Peti mati.
Cklek. Klek. Setelah itu ia mendengar suara kunci pintu yang dibuka. Apakah Tuan Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Sr. yang ”mulia” itu telah bersedia mengubah pikirannya? Untuk melepaskan sang putra pertama menuju dunia luar yang tak akan bisa ia jangkau.
Pintu terbuka. Terdorong dari luar. Namun, yang tampak di sana bukanlah Tuan Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Sr. Melainkan salah satu pelayan pulang pergi yang memiliki tugas untuk membersihkan rumah besar itu setiap hari.
”Mau apa kamu?” tanya Gio lemah. Pada sebuah entitas yang baru saja muncul di hadapannya.
Siapakah "ia"? Apa gerangan yang hendak "ia" lakukan?