Sore itu, Zara baru saja pulang dari toko kue miliknya. Tas belanjaan digantungkan di satu tangan, sementara tangannya yang lain sibuk membuka pintu rumah. Senyumnya melengkung lelah, tapi rasa hangat tetap memenuhi hatinya. Namun, keheningan rumah yang biasanya disambut tawa dua buah hatinya, kali ini terasa aneh. Suasana hening ini hanya bertahan beberapa detik sebelum suara tangisan kecil terdengar dari ruang tamu.
Zara buru-buru melepaskan sepatunya dan bergegas masuk. Di ruang tamu, Nathan dan Nala, anak kembar berusia empat tahun, duduk di atas karpet dengan wajah berkerut, pipi mereka basah oleh air mata.
“Nathan, Nala, ada apa ini?” Zara bertanya dengan lembut, meletakkan tasnya di sofa dan langsung menghampiri mereka.
Nathan menatap mommynya dengan mata berkaca-kaca, bibirnya gemetar. “Mom … tadi Nathan didolong cama Jodi… Nathan atuh ...” Tangisnya mulai pecah lagi, sementara Nala yang duduk di sebelahnya juga ikut menangis meski tidak mengatakan apa-apa.
“Jodi dorong Nathan?” tanya Zara dengan lembut, mengusap pelan rambut anak lelakinya. “Kenapa dia dorong Nathan?”
Nathan terisak, mencoba berbicara di sela tangisnya. “Jodi ilang Nathan … Nathan ndak unya papa. Dia cama temen-temennya ketawa … meleka bilang Nathan aneh ....”
Hati Zara terasa diremas mendengar pengakuan Nathan. Seluruh keletihan setelah bekerja seharian tiba-tiba lenyap digantikan rasa sedih dan marah. Ia menarik Nathan ke dalam pelukannya, sementara Nala mendekatkan diri ke pangkuan Zara, masih menangis meski tidak tahu pasti mengapa.
“Nathan gak aneh, Sayang .…” bisik Zara, suaranya lembut tapi tegas. “Nathan anak yang kuat dan baik. Mommy tahu itu. Kalau ada yang bilang hal buruk, itu salah mereka. Mereka nggak tahu apa yang Nathan rasakan. Jangan dengarkan mereka, ya?”
“Tapi … meleka ketawa .…” Nathan masih terisak. “Nathan ndak cuka meleka ketawa ....”
Zara menghela napas panjang, memeluk kedua anaknya erat. “Kadang, orang bilang hal yang tidak baik karena mereka tidak ngerti. Mereka tidak tahu rasanya jadi Nathan, jadi mereka pikir bisa bicara seenaknya. Tapi, yang penting Nathan tahu kalau Nathan nggak salah. Nathan itu luar biasa.”
Nala yang sejak tadi diam tiba-tiba menengadah, dengan mata merah dan pipi basah. “Nala uga angis, Mom … Nala cedih karena Nathan cedih.”
Zara tersenyum kecil mendengar kata-kata Nala. Ia mengusap pipi anak perempuannya, lalu mencium keningnya. “Mommy tahu kamu sayang sama Nathan, Nala. Tapi, jangan sedih, ya. Nala juga anak yang kuat, sama kayak Nathan. Kita hadapi ini sama-sama.”
Nathan menghapus air matanya dengan punggung tangan. “Tapi, Jodi bilang kalau Nathan ndak unya papa… itu benel, kan, Mom?”
Pertanyaan itu menghantam Zara tepat di dadanya, membuat hatinya terasa berat. Tapi, ia tidak boleh terlihat rapuh di depan anak-anaknya. Ia harus kuat, untuk mereka.
“Daddy memang nggak ada di sini sekarang, Sayang. Tapi itu bukan berarti Nathan nggak punya keluarga. Nathan punya Mommy, Kak Nala, bibi Nia, tante Hesti, dan kita semua saling sayang, kan? Dan itu yang terpenting.”
Nathan menatap Zara, air matanya perlahan berhenti. Ia tampak merenung, mencerna kata-kata mommynya. Nala pun mulai tenang, meski masih duduk erat di samping Nathan.
“Nathan nggak usah khawatir, ya? Kalau ada yang bilang hal-hal buruk lagi, Nathan bisa cerita ke Mommy. Nanti Mommy bantu Nathan,” lanjut Zara. “Mommy selalu di sini buat kalian berdua.”
“Kita kuat, kan, Mom?” tanya Nala dengan suara kecil, mulai tersenyum meski masih ada sisa-sisa air mata di pipinya.
“Iya Sayang, kita kuat,” jawab Zara dengan senyum lebar. “Kita keluarga yang kuat.”
Nathan menarik napas dalam-dalam, kemudian mengangguk pelan. “Nathan nggak mau angis lagi, Mom. Nathan kuat,” katanya sambil mencoba tersenyum, meski masih tersisa rasa sedih di matanya.
Zara memeluk kedua anak kembarnya yang berusia empat tahun lebih erat. “Itu dia. Mommy bangga sama kalian.”
***
Di teras rumah yang sejuk sore itu, Nathan dan Nala sedang asyik menyantap es krim yang Zara sediakan. Mereka duduk bersebelahan, dengan wajah penuh kepolosan dan senyum kecil di bibir. Tak ada lagi tangisan seperti tadi. Zara menghela napas lega, meski hatinya tetap terasa berat.
Nathan menjilat es krimnya dengan penuh semangat, sesekali mengintip ke arah Nala yang diam-diam sudah mulai melahap es krimnya dengan cepat.
"Elan-elan makannya, Kak Nala, nanti cakit pelut," Nathan berkomentar dengan mata bulat menatap saudara kembarnya.
Nala menatap Nathan dengan ekspresi datar, tapi bibirnya sedikit terangkat. "Aku nggak cakit perut, aku cehat, Nathan."
Zara yang sedang duduk di bangku kayu di samping mereka, tak bisa menahan senyum kecil mendengar percakapan itu. Betapa polosnya anak-anak ini, pikirnya. Mereka tidak tahu apa-apa tentang beban yang disimpan dalam hati ibunya.
"Es klimnya enak, Mom," ujar Nathan sambil melirik Zara. Bocah tampan itu lalu mengulurkan es krimnya ke arah Zara. "Mommy, mau nyoba?"
Zara menggeleng pelan. "Mommy sudah kenyang, Sayang. Kalian saja yang habiskan, ya."
Nathan mengangguk, kembali melanjutkan makannya. Zara hanya memperhatikan mereka dengan hati yang terasa sesak. Di depan mata, Nathan dan Nala tampak begitu bahagia, menikmati masa kecil yang seharusnya indah. Tapi jauh di lubuk hatinya, Zara menyimpan luka yang tak kunjung sembuh. Kedua anak ini adalah buah dari sebuah keputusan nekat yang ia buat lima tahun lalu.
Saat itu, Zara masih bekerja sebagai bagian dari tim manajemen seorang aktor terkenal, Davendra Azril Orlando. Nama yang begitu terkenal, wajah yang menghiasi banyak iklan dan film, serta sosok yang digilai banyak wanita. Tak terkecuali Zara. Ia terlalu terpikat pada karisma Davendra, hingga tanpa sadar terjebak dalam obsesi yang membutakannya. Dan akibat dari kenekatannya, si kembar ini hadir dalam hidupnya.
Zara menatap Nathan dan Nala yang kini mulai bersenda gurau, melemparkan senyum ceria yang tak pernah ia lihat di wajah mereka pagi tadi karena harus segera ke toko kuenya. Dalam hati, ia tahu bahwa kehadiran mereka adalah anugerah yang tak ternilai. Namun, bayang-bayang masa lalu tetap menghantui, membuatnya teringat betapa kerasnya hidup yang harus ia jalani sejak kehadiran mereka.
"Kalian senang makan es krim?" tanya Zara, mencoba mencairkan suasana hatinya sendiri.
"Cenang anget, Mom!" jawab Nala, suaranya riang. "Es klimnya dingin dan anis!"
Nathan menimpali, "Kalau bica makan es klim cetiap hali, pasti celu, Mom."
Zara terkekeh kecil. "Nanti kalian bisa sakit gigi kalau kebanyakan es krim."
Kedua anak itu hanya tertawa kecil, sementara Zara kembali terdiam. Pandangannya menerawang ke arah taman kecil di depan rumah. Ia teringat momen ketika pertama kali tahu dirinya hamil. Saat itu, rasanya seperti dunia runtuh di atas kepalanya. Ia ketakutan, bingung, dan tak tahu harus bagaimana. Dan yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa Davendra, pria yang ia cintai dengan begitu tulus, bahkan tak tahu tentang keberadaan anak-anak ini. Karena memang ia menutupinya.
Zara mengelus rambut Nathan yang duduk paling dekat dengannya. "Kalian tahu nggak," gumamnya pelan, "Mommy, sayang sekali sama kalian."
Nathan menoleh, menatap mata Zara yang tampak berkaca-kaca. "Mommy kenapa? Cedih ya?"
Zara menggeleng cepat, tersenyum paksa. "Enggak kok. Mommy cuma senang lihat kalian bahagia."
Nala, yang biasanya lebih pendiam, tiba-tiba ikut nimbrung. "Kalo Mommy cenang, kenapa Mommy angis?"
Zara terkejut, cepat-cepat mengusap sudut matanya. "Mommy nggak nangis. Ini cuma ... angin. Debu masuk ke mata Mama."
Keduanya tampak ragu, tapi mereka terlalu kecil untuk memahami semua beban yang disimpan Zara. Mereka hanya kembali menikmati es krim mereka, sesekali bercanda satu sama lain. Sementara Zara, sekali lagi, terdiam dalam perasaannya sendiri.
Di luar, langit mulai meredup, tanda hari menjelang malam. Angin sepoi-sepoi menerpa lembut wajah Zara, seolah berusaha menenangkannya. Namun, tak ada yang benar-benar bisa menghapus kesedihan di hatinya. Ini adalah konsekuensi yang harus ia terima atas apa yang telah terjadi lima tahun lalu. Keberanian yang terlalu berlebihan, keputusan yang gegabah, dan sekarang, dua nyawa kecil yang harus ia rawat dengan penuh cinta.
Zara menatap wajah polos Nathan dan Nala. Meskipun semua ini bukan bagian dari rencana hidupnya, ia tahu satu hal dengan pasti, buah hatinya adalah alasan ia bertahan. Di balik semua rasa sakit dan beban, ada cinta tak terhingga yang ia rasakan setiap kali melihat wajah kedua anaknya.
"Sudah selesai makannya? Yuk, kita masuk ke dalam, sebentar lagi hujan," ajak Zara lembut.
Nathan dan Nala berlari kecil ke dalam rumah, tawa mereka bergema, membawa sedikit kehangatan di hati Zara. Tapi, bayangan masa lalu tetap menghantui, seolah mengingatkannya bahwa perjalanan ini masih panjang dan penuh tantangan.