Nasib sang Dokter

2033 Words
Seperti menjadi tahanan rumah Sekar dan Raka tengah duduk berhadapan. Meskipun mereka dalam satu ruangan. Raka dan Sekar saling berdiam diri. Hanya satu dua kata saja yang mereka ucapkan. Raka yang asyik dengan ponselnya, sedangkan Sekar sedang berkonsentrasi mencari cara menyelamatkan Aditya dari jeratan makhluk yang selama ini mengejar Raka. Sekar mencurigai Raka adalah dalang dari semua ini. Kedatangannya ke rumah sakit ini ada yang ia incar. Namun, gadis itu tidak memiliki bukti. “Akira! Kamu lagi ngapain? Cepat ke sini,” seru Sekar. “Sebentar! Aku lagi di kamar mandi.” Akira yang sedang mengawasi Aditya, terpaksa harus berbohong. “Adit cepat keluar! Aku juga mau membuang air, sudah kebelet ini.” “Iya Mbak sebentar,” ucap Adit lemas. Dengan langkah gontai, Adit keluar dari kamar mandi. Sementara Akira lari terbirit-b***t karena menahan sedari tadi. Merasa lapar, Adit melangkah menuju dapur. Haus dan lapar itulah yang ia rasakan. “Dasar Sekar! Tahu aku diikat malah gak bantuin,” gerutu Aditya ketika ia melihat Sekar tengah duduk di ruang tamu. Aditya melanjutkan langkahnya menuju dapur untuk menuangkan air minum dan mencari makanan. Namun, semuanya kosong tak ada satu pun makanan. Whust! Semilir angin menerpa ruangan dapur tempat Aditya berdiri. Jendela dapur yang terbuka pun membuka dan menutup sendiri. Pria itu pun melangkah untuk membukanya kembali. “Siapa kamu?” tanya Adit pada wanita yang menatapnya sedari tadi. Wanita itu diam dan hanya melambaikan tangan padanya. Aditya yang tidak mengetahui larangan keluar pun melanggarnya. Pria itu dengan penuh percaya diri hendak mendekatinya. Namun nahas, ketika ia melangkahkan kaki keluar. Tepat di depan pintu belakang, Aditya tidak melihat sosok perempuan tadi. “loh ke mana dia?” batin Adhit bertanya. Whust! Angin besar tiba-tiba saja masuk dan menjatuhkan vas bunga yang berada di ruang tamu. Menyadari hal itu Sekar dan Raka saling bertatap pandang hingga mereka berteriak menyebut nama Akira. “Akira! Kamu di mana?” seru Sekar sambil berlari menuju kamar Adhitya. Mendapati kamar Adhitya kosong Sekar segera berlari ke luar lewat pintu belakang. “Sial!” seru Sekar. “Ada apa Mas Raka?” tanya Akira santai. Sementara Raka berdiri termangu di depan ranjang Adit. “Akira kamu yang lepas ikatan Adhit?” tanya Sekar sedikit kesal. “Iya. Memang aku yang lepas tadi. Memang kenapa?” “Kan sudah aku bilang tadi jangan di buka!” kesal Sekar. “Bagaimana ini?” tanya Akira. “Lebih baik kita hubungi Dokter Diah.” Segera Akira mencari Dokter Diah namun langkahnya terhenti ketika mendapati Aditya bersama Mbah Rahwuni. “Kenapa bisa keluar ini?” tanya Mbah Rahwuni. “Setelah berbicara dengan dokter Diah. Kalian diperbolehkan pulang siang hari ini. “Terima kasih,” ucap mereka serentak. Adhitya dan Akira dengan cepat menata pakainnya begitu pula dengan Raka. “Sekar, mbah berharap setelah kamu lulus wisuda kamu bisa bekerja di sini.” “Njih, Mbah?” Gemercik air terdengar memenuhi kamar mandi. Raka yang baru saja pulang dari perjalanan yang cukup melelahkan itu, memutuskan untuk membersihkan diri. Akan tetapi, lampu kamar mandi tiba-tiba mati tanpa sebab. Raka lelah dengan semua ini hingga memutuskan untuk tak menghiraukannya. Raka memejamkan mata sembari mengingat beberapa kejadian yang telah ia lewati selama beberapa hari terakhir. Pertemuannya dengan Dokter Diah yang semakin membuatnya penasaran akan sesuatu. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Raka seraya menghidupkan shower. Namun, air yang mengguyurnya berubah menjadi dingin. Raka pun terkejut dan segera membuka mata. Jantung terasa berhenti berdetak, saat melihat bukan air yang mengguyur tubuhnya, melainkan darah hitam pekat. Ingin berteriak, tetapi suaranya tersekat. Perlahan, pemuda itu mencoba keluar dari kamar mandi. Namun, itu tidak mudah bagi Raka untuk saat ini. Prang! Cermin yang berada di kamar mandi tiba-tiba retak. Darah mulai keluar dari tiap celah cermin retak yang menampakkan diri Raka. Sebuah tulisan terbentuk dari darah-darah segar itu. Raka terperanjat dan berusaha berlari menuju pintu. "Aw ...!" pekik Raka saat dirinya terpeleset akibat sabun yang tergeletak di lantai. "Siapa yang taruh sabun di sini?!" tanya Raka emosi. Bau anyir darah semakin menyeruak, sosok hitam mulai muncul dari dinding. "Dasar setan sialan! Apa maumu?!" tanya Raka kesal, rasa sakit yang dia derita akibat terpeleset membuat rasa takut itu hilang seketika. "Sialan! Raka terus saja mengumpat kesal dan berlalu keluar hingga membuat hantu itu pergi dengan sendirinya. "Untung saja tidak ada orang, bagaimana jika ada orang di sini? Yang melihatku tanpa handuk. Bisa kacau," gumam Raka. Segera Raka mengenakan pakaian dan meraih jas dokter yang menggantung di pintu kamarnya. Dalam perjalanan ke rumah sakit, terjadi kecelakaan di perempatan jalan yang membuat Raka harus berhenti dan menunggu Kemacetan. Raka menyambar jasnya dan keluar dari mobil, kemudian berjalan menuju kerumunan orang tersebut. "Ada apa, Pak?" tanya Raka, pada salah satu orang yang ada di sana. "Kecelakaan, Pak. Meninggal! katanya sih masih muda, wanita hamil kalau enggak salah, Pak." Lelaki paruh baya itu menceritakan kronologi kejadian pada Raka. Deg! Jantung Raka berdebar-debar, dengan langkah pelan, ia berjalan menuju mayat yang tergeletak di jalan. Wajah penuh luka, dengan kondisi janin keluar dari perutnya. Tak ada satu pun yang berani mendekatinya. Raka terjatuh, jantungnya berdebar sangat kencang, hingga sebuah tangan lembut menyentuh pundaknya dengan pelan, ia pun menoleh dan mendongak. "Dokter Riya!" seru Raka yang melihat sahabat sekaligus orang yang disukai berada di sana, bersamanya. "Kamu baik-baik saja, Dok?" tanya Dokter Riya, menatap wajah Raka. Hingga membuat lelaki tampan tersebut tersipu malu. "Aku baik-baik, saja. Apa yang membuatmu berada di sini?" tanya Raka. "Jalanan macet. Jadi, saya mencari tahu mengapa kemacetan sangat parah di sini. Lalu, apa yang kamu lakukan duduk di bawah?" tanya Dokter Riya. "Oh, i-itu tadi ada semut merah, dia gigit makannya aku duduki sekalian biar mati," ucap Raka sambil terkekeh. "Apa kamu tidak merasakan mereka ada di sampingmu?" tanya Raka lagi, membuat Riya hanya menatapnya. "Siapa yang kamu maksud?" tanya Riya keheranan. "Mereka, yang tak kasat mata. "Raka berbisik di telinga Riya, hingga membuat wanita tersebut tertawa terbahak-bahak, mendengar penjelasan Raka yang dianggapnya hal biasa. "Sudahlah ayo berdiri, jangan jadikan dirimu sebagai tontonan di sini. Lagi pula, mayat wanita itu sudah dibawa ambulance pergi," ucap Riya mengulurkan tangannya. "Baik," sahut Raka menyambut uluran tangan tersebut. Namun, belum sempat ia berdiri, Riya melepaskan tangannya hingga membuat Raka terjatuh ke belakang dengan kondisi yang sangat mengenaskan. "Dokter Raka, maaf,” ucap Riya yang lebih memilih mengambil ponselnya daripada menarik tangan Raka. "Tenang, ini hanya p****t kok yang jadi korban. Bukan diriku," ucap Raka tenang dengan memegangi pantatnya, ia pun berusaha berdiri sendiri. Namun, belum sempat ia berkata sepatah kata apa pun, Riya beranjak pergi meninggalkan Raka dan lebih mementingkan panggilan ponselnya. Di sepanjang perjalanan, Raka terus melihat ke kanan dan ke kiri, hingga menemukan sebuah toko bunga yang baru saja dibuka. Harum semerbak bunga-bunga menyekat di hidung. Membuat siapa saja terlena pastinya. "Permisi, Bu. Saya mau pesan yang ini, tolong dibungkus secantik mungkin ya, Bu." Raka tersenyum ramah, pada wanita paruh baya pemilik toko bunga tersebut. "Buat, pacarnya, ya, Mas?" tanya wanita tersebut. "Bukan, Bu. Ini untuk wanita yang aku sukai," ucap Raka mencium berkali-kali bunga yang ada di sana. "Dasar bucin," ucap wanita itu. Setelah membayarnya, Raka bergegas menuju rumah sakit di mana Riya bekerja. "Tolong aku!" teriak wanita berbaju putih di depan mobil. Membuat Raka mendadak menghentikan mobilnya. Namun, sekejap mata sosok wanita tersebut menghilang entah ke mana. "Apa yang terjadi padaku? Siapa wanita itu? Kenapa dia selalu mengikutiku?" tanya Raka, karena merasa tertekan, ia menjambak-jambak rambutnya sesuka hatinya, hingga acak-acakkan. Sesampainya di rumah sakit, Raka berjalan gontai melalui lorong demi lorong rumah sakit. Seluruh perawat di sana memandangnya dengan rambut acak-acakkan, serta membawa bingkisan bunga ditangannya, langkahnya yang seperti orang gila, menimbulkan gosip bahwa dirinya tidak waras. Riya menatapnya dengan tajam, Raka pun menciut, ketika melihat pasien sakit jiwa yang sedang ditangani Riya kini berlarian mendekat. "Jangan mendekat!" seru Raka kencang, membuat wanita tersebut menangis tersedu-sedu. "Aku mencintaimu, Mas. Jangan tinggalkan aku, kumohon padamu," ucap pasien tersebut, hingga membuat Riya menahan tawanya. "Dokter Riya, apa yang kamu lakukan? Ayo, bantu! Aku membawakan bunga ini untukmu," ucap Raka melemparkan bunga kepada Riya. Raka membayangkan suasana romatis ketika memberikan bunga kepada Riya kini pupus, wanita dengan kelainan jiwa itu telah memeluk Raka hingga ia tak bisa bernapas. "Lepasin! Lepas! Jangan sentuh aku, kamu tidak waras! Aku masih normal, jangan pegang-pegang!" teriak Raka menepis tangan pasien tersebut hingga membuatnya jatuh ke lantai. Bruk! "Dokter Raka! Sikap Anda terlalu keras, Dok. Dia hanya butuh teman," ucap Dokter Riya, membantu pasien tersebut berdiri. "Lantas, apa yang harus aku lakukan?" tanya Raka. "Aku ada tugas, saya mohon Dokter Raka mau menjaganya sebentar,” sahut Dokter Riya, meninggalkan Raka dan pasiennya. Raka berusaha tenang menghadapi pasien Dokter Riya yang setengah waras itu. Beberapa menit kemudian, tiba-tiba tubuh Raka terlempar hingga menabrak dinding. Tubuhnya melemas tak berdaya, ruangan menjadi gelap gulita. Bayangannya kabur, suara tawa pun memenuhi ruangan. Darah ada di mana-mana, teriakan terus berdengung di telinga Raka. Hingga membuat gendang telinganya pecah dan mengeluarkan banyak darah. "Dokter Raka, sadar, Dok!" teriakan Riya membuatnya tersadarkan dari halusinasinya. Raka terkejut mendapati dirinya berada di kamar mayat. Seluruh perawat menatapnya. "Apa yang terjadi denganku?" tanya Raka. "Justru saya yang bertanya, mengapa Anda di sini, Dok?" tanya Riya. "Ta-tadi, aku ada di ruanganmu. Terus kamu pergi dan meninggalkan aku beserta pasienmu yang gila itu," ucap Raka panik. "Itu hanya perasaan Dokter saja. Sedari tadi saya tidak ada di ruangan. Ikutlah ke ruanganku, di sana Anda bisa lebih leluasa menceritakannya," ajak Riya, yang membantu Raka berdiri. "Minumlah." Riya memberikan segelas air hangat untuk Raka. Dengan menghela nafas, Raka mulai menceritakan semuanya. Kejadian yang membuatnya stres setelah pulang dari rumah sakit Ngudi Waluyo terus membuatnya diikuti para arwah penasaran. "Berbaringlah, aku akan mulai membuatmu mengingatnya," ucap Riya. Raka pun menuruti perkataan Riya, dan berbaring di tempat tidur tersebut. "Pejamkan matamu, fokuskan pikiranmu ke masalah yang saat ini sedang membuatmu frustrasi," ucap Riya. Raka mengikuti arahan yang Riya berikan. "Apa yang terjadi. Kamu bisa mengingatnya, kan?" tanya Riya. "Aku menabrak sosok wanita yang melintas di depan mobilku, lalu aku pergi begitu saja, tanpa ada rasa bersalah padanya. Maukah kamu menemaniku mencari wanita itu?" tanya Raka. "Sudah kubilang, aku sahabatmu, apa pun keadaannya kita harus tetap bersama," ucap Riya menggenggam erat jemari Raka. Malam harinya, Raka dan Riya memutuskan untuk berada di jalan tersebut, sembari mencari sesuatu mengenai sosok wanita yang telah ditabrak. Alangkah terkejutnya mereka, ketika mendapati sesajen ada di mana-mana. Di ruas jalanan tersebut, ada foto wanita yang sangat cantik tengah melukis. "Apa dia wanita yang kamu tabrak itu?" tanya Riya. "Benar. Di-dia wanita itu, lalu bagaimana dia bisa meninggal?" tanya Raka. Entah dari mana datangnya seorang nenek yang menyahut perkataan Raka. "Dia sudah mati dari dulu, arwahnya gentayangan akibat jasadnya dikuburkan tidak layak," ucap Nenek itu. "Bagaimana Nenek tau?" tanya Riya. "Dia sudah lama pergi meninggalkan desa kami. Dulu, dia seorang gadis desa yang amat cantik dan anggun. Namun, ia hilang ketika kecelakaan menimpanya dan sebuah mobil membawanya pergi. Hingga sekarang tak ada yang tahu di mana jasadnya. Nama gadis itu Lastri." Raka mengangguk, hawa dingin di sekitar semakin terasa. Raka melepaskan jaket yang ia kenakan, dan mengenakannya kepada Riya, "Jadi yang kutabrak hantu,” batin Raka. "Mas sama Mbak ini, sepasang suami istri, ya?" tanya Nenek tersebut. "Tidak!" seru mereka berdua berbarengan. "Saya kira sudah menikah," ucap Nenek itu, manggut-manggut. Raka hanya terdiam, sementara itu Riya melirik ke arah Raka. Keduanya memutuskan untuk pulang. Namun, mobilnya terhenti di sebuah restoran bintang lima, untuk mengakhiri peperangan di dalam perut mereka. "Pergi!" teriak Raka yang terkejut melihat wajah Riya, kini berubah menjadi wajah yang menakutkan. Hingga teriakannya membuat para pengunjung melihat ke arahnya. "Dokter Raka! Apa yang Anda lakukan!" seru Riya, membersihkan sisa-sisa makanan yang ada di wajahnya dan rambutnya. "Ri-riya? Maaf, aku tidak bermaksud--" "Sudahlah! Aku mau pulang!" ketus Riya, membuat Raka hanya pasrah dan mengikutinya pulang. Sesampainya di depan rumah, Raka melambaikan tangan kepada dokter muda yang mulai saat ini akan menangani masalah kejiwaannya. Namun, lambaian tersebut tak dihiraukan Riya. Matanya tampak membesar, ketika melihat Raka berjalan mundur ke belakang. "Awas!" teriak Raka. Namun, sayangnya Raka sudah tercebur ke dalam got yang amat berbau busuk. "Dasar teledor," gumam Riya. Selang beberapa waktu kemudian, Raka berdiri dan menyisakan aroma got yang busuk di bajunya. Merasa malu, Raka pun lari terbirit-b***t meninggalkan Riya yang tertawa diambang pintu rumahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD