Raka Wijaya

1043 Words
"Akhirnya sampai juga." Dengan helaan napas beratnya, Raka segera turun dari mobil dan masuk ke rumah sakit. Langkah sang dokter dengan tergesa-gesa mencari dr. Diah--pemilik rumah sakit yang sudah membuat janji temu dengannya esok hari. Raka yang terburu-buru akhirnya menabrak Akira hingga membuat gadis itu terjatuh. "Aduh ... punya mata enggak sih!" sergah seorang gadis berambut sebahu, yang ada di hadapannya. Mereka pun saling pandang. "Kamu bukannya Akira?" tanya Raka. Akira segera berdiri tak sanggup berkata-kata. Lelaki yang di kaguminya beberapa tahun lalu, kini berdiri tepat di depannya. "Kamu? eh, maksudku, Mas Raka! Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Akira sembari mengambil buku-buku yang terjatuh saat bertabrakan dengan Raka. "Aku ingin bertemu dengan Dokter Diah, tetapi tidak tahu di mana ruangannya. Apa kamu tahu?" tanya Raka. "Oh, Dokter Diah sudah pulang, besok baru kembali kerja." Dengan senyum yang manis dan pipi memerah. Terlihat, rasa gugup campur malu dari Akira, yang tak disangka bertemu dengan lelaki yang ia sukai sedari dulu. Raka adalah teman kuliah Alvin, kakak Akira. Gadis itu jatuh cinta pada pandangan pertama, ketika kakaknya memperkenalkan Raka yang sedang bermain di rumahnya. Rasa kagum dan Cinta yang ia pendam bertahun-tahun kini timbul kembali ketika sang pujaan hati tiba-tiba muncul di hadapannya. "Pangling aku Akira, kamu sekarang terlihat dewasa dan cantik banget," puji Raka. "What! Aduh Akira, mimpi apa kamu semalam, sudah bertemu sama sang idola, malah dapat rayuan pula," gumam Akira dalam hati yang sedang salah tingkah, tanpa ia sadari kedua sahabatnya mengintip dari balik pintu. “Hmmm, ada perlu apa, ya, Mas?” tanya Aditya sok jagoan. “Apakah di sini ada penginapan, atau mungkin di sekitar rumah sakit ini?” tanya Raka tersenyum. “Kalau di luar sana aku enggak tahu. Tapi kalau di sini kita ada penginapan bunga. Mungkin Anda jika berkenan bisa tidur dengan Aditya,” ucap Sekar. Gadis berambut lurus dan panjang itu merasakan ada yang aneh pada pria yang ia temui saat ini, tapi sekar tidak tahu apa itu. Karena pelindungnya sangat kuat. “Boleh, itu. Terima kasih banyak sudah memberikan tempat tinggal.” “Aditya kamu mau pulang kan. Antar dokter ini sekalian,” pinta Sekar. “Oh iya. Perkenalkan saya Dokter Raka.” Sekar dan Aditya ikut berjabat tangan. “Mari dok bareng sama aku.” Kedua pria itu berjalan menuju penginapan. Sementara Akira dan Sekar masih bekerja hingga pagi hari. “Kamu kok bisa kenal dia?” tanya Sekar sembari menata berkas pasien. “Dia teman kuliah kakakku waktu di Surabaya.” Akira masih menatap Raka yang berjalan bersama Aditya dengan senyam-senyum sendiri. “Akira, ini berkas di tata di mana?” tanya Sekar yang tak dihiraukan oleh Akira. “Akira!” panggil Sekar sekali lagi. “Eh iya. Maaf Sekar. Biar aku saja nanti yang simpan. “Kalau sudah jatuh cinta sampai lupa segalanya,” sindir Sekar. “Tampan kan Sekar dia?” “Iya tampan buat kamu. Kalau aku masih kurang tampan, Akira.” “Hah, kaya gitu kurang tampan!” Akira melirik dan ia penasaran dengan ucapan Sekar. “Nyatanya dia gak tertarik sama temanku. Padahal ia sangat cantik rambutnya yang seperti duta sampho,” ucap Sekar tertawa. "Dokter ... Dokter Raka!" panggil Aditya yang membuyarkan lamunan Raka. "Iya, Maaf!" "Saya mau mandi dulu!" pamit Adhitya Itulah awal mula pertemuan Sekar bersama Raka. *** Rumah Sakit Ngudi Waluyo, adalah rumah sakit yang hanya memiliki empat bangsal. Walau di desa dan terletak di lereng gunung. Namun, letaknya yang strategi menghubungkan tiga kota, membuat rumah sakit itu selalu ramai dengan pasien. “Sekar rumah sakit ini ramai, ya? Tapi kenapa perawatnya hanya perawat Nia?” tanya Akira bingung. “Mungkin saja perawat Nia bisa melakukan segalanya. Kamu tahu sendiri kemarin saja dia jalannya cepat, mungkin karena dia di sini sendirian. Cahaya Matahari perlahan masuk melewati celah jendela kamar Sekar dan Akira, memaksa mereka segera terbangun dari tidurnya. Setelah mandi dan berbenah diri kedua gadis itu keluar untuk berangkat ke rumah sakit. Aditya dan Raka tak ada di tempat. Tak lama berselang, sampailah mereka di depan ruangan Dokter Diah. Sekar sedang duduk di dalam ruangan tersebut dan Akira menuju ke klinik umum menemui perawat Nia. Raka yang baru saja datang dari arah depan terus memandang Sekar dengan tatapan yang tajam, seperti memikirkan sesuatu yang terlintas di ingatannya. “Wanita ini serasa tidak asing bagiku, padahal aku tidak mengenalnya.” Raka merasa aneh dengan gadis manis itu. "Jadi, sudah sampai kamu?" tanya seorang wanita paruh baya dari arah belakang. "Silakan masuk ke ruangan saya, Dokter Raka!" perintah wanita paruh baya yang masih terlihat cantik, sembari membuka pintunya. "Terima kasih, Dok." Raka pun melangkah masuk mengikuti langkah Dokter Diah dan duduk di kursi yang telah disediakan. "Kamu di luar dulu, Sekar. Saya ingin bicara secara pribadi dengan Dokter Raka sebentar saja," pintanya kepada Sekar. "Baik, Dok," jawab Sekar, kemudian segera menutup pintunya. "Jadi, begini, Dok--" Dokter Raka, saya sudah tahu maksud kedatangan Anda ke sini. Saya juga mengerti, betapa sulitnya perjalanan Anda kemari," ucap Dokter Diah menyela perkataan Raka. "Bagaimana Anda bisa tahu?" tanya Raka, tak percaya dan menatap tajam Dokter Diah. “Saya balik tanya. Kenapa kamu kemari? Silakan jawab sendiri.” Dokter Diah menjawab dengan membalikkan pertanyaan kepada Raka. "Sekarang, ceritakan padaku. Apa yang terjadi dengan rumah sakit yang sekarang kamu kelola?" tanya Dokter Diah yang membuat Raka begitu yakin kepadanya. Pria itu menghela napas, merasa lega karena meminta pertolongan pada orang yang tepat. “Dokter Diah sudah lama berteman dengan Papa. Apakah dokter tahu apa yang dilakukan papa selama ini? Ah ... tapi jarak kalian sangat jauh. Sementara papa pria yang sangat sibuk.” “Kamu ini bertanya dijawab sendiri!” seru Dokter Diah yang melihat Raka gugup. “Sudah kamu minum obat kamu?” tanya Diah yang mengetahui keadaan Raka, putra dari teman kuliahnya dulu ketika ambil residen. “Iya, Dok. Selain itu saya juga ingin berkonsultasi. Dokter pasti sudah tahu alasannya saya kemari. Beberapa minggu ini saya di hantui oleh arwah penasaran. Bisakah dokter membantu saya mengusirnya.” Raka mengedarkan pandangan seakan dia merasa di awasi. “Bahkan tadi dia mengikuti saya kemari, Dok.” “Mungkin itu halusinasi kamu. Saya tidak melihat satu pun hantu yang kamu maksud.” Diah menjawab dengan tegas. "Bisa saja, Dok. Sejak Papa meninggal, saya merasa terbebani dengan semua pekerjaan di rumah sakit."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD