Akhir pekan yang dijanjikan telah tiba. Eva benar-benar kebingungan harus berdandan seperti apa. Dia menghabiskan waktu dua jam di meja rias hanya untuk berakhir dengan penampilan rambut pirang yang dikuncir kuda.
Bagaimana dengan gaunnya? Eva baru sadar bahwa dia tak punya pakaian yang cukup pantas dikenakan selain dress merah kurang bahan yang dipakainya saat pertama bertemu Declan atau pakaian kerja yang sehari-hari dia pakai ke kantor.
Apa boleh buat. Eva memang tak pernah memiliki tabungan untuk keperluannya sendiri. Sebuah dress kurang sopan yang dibelikan Markus dan belasan pakaian kerja yang dia beli memakai uang pemberian Declan adalah hal terbaik yang dia punyai.
Karena tak ingin memberikan kesan menggoda Declan, akhirnya Eva mengenakan salah satu pakaian kerja dan keluar dari kamar pada waktu yang sudah disepakati. Tentu saja, Declan sungguh terkesan dengan penampilan Eva saat ini–kesan yang tak baik tentunya.
“Kau–akan memakai busana semacam itu untuk makan malam bersamaku?” tanya Declan sambil meringis. Bagaimana mungkin seorang wanita bisa mempunyai pikiran seburuk Eva? Semua wanita yang dia kencani selalu berhias dengan maksimal untuk menarik perhatiannya.
Yah, walaupun bukan berarti Declan tidak tertarik dengan Eva saat ini. Tentu saja, dia sangat ‘tertarik’. Namun, Declan tak ingin ada paparazi yang menguntit dan menyebarkan berita bahwa dia mengencani sekretarisnya sendiri.
Di sisi lain, Eva yang tak punya pilihan, hanya bisa menjawab. “Aku tak keberatan bila kau membatalkan makan malam. Ini tak terlalu penting, bukan?”
Tiba-tiba, wajah Declan muram. Makan malam kali ini, mungkin memang tak penting bagi Eva, akan tetapi sangat penting bagi Declan. Malam ini akan menjadi bukti keseriusannya dan janjinya kepada diri sendiri.
“Aku bisa memanggilkan teman kencanmu yang lain untuk menemanimu makan malam bila kau mau,” tambah Eva yang tentu saja menyulut masalah–kemarahan Declan.
“Kau benar-benar pintar membuatku kesal,” gerutu Declan bersungut-sungut sesaat. Hanya sesaat.
Beberapa detik setelahnya, Declan menyadari mengapa Eva tak mempunyai pakaian yang pantas untuk menemaninya malam ini. Dari mana Eva memiliki uang untuk membeli gaun bila dia tak pernah mendapatkan gaji penuh?
Selama ini, Declan memang kurang memperhatikan penampilan Eva saat makan malam bisnis dengan klien. Bisa jadi karena kecantikan Eva membuat apa pun yang dia pakai memang tidak terlalu masalah.
Namun, malam ini, ketika Declan sengaja ingin menjadikan Eva sebagai sosok spesial yang menemaninya makan, menggantikan teman-teman kencan yang biasanya, tentu Declan menginginkan penampilan luar biasa dari Eva.
“Bukankah kita akan makan malam?” tanya Eva kebingungan karena Declan berhenti di sebuah fashion house ternama.
“Tentu saja. Kita akan makan malam setelah kau mengganti pakaianmu dengan sesuatu yang lebih sepadan dengan ….” Declan berhenti. Dia ingin berkata ‘... sepadan dengan kecantikanmu’, tetapi entah mengapa ada yang menghentikan kata-kata itu untuk meluncur dari bibirnya.
“Maaf karena pakaianku tak sepadan denganmu,” ujar Eva datar walaupun sebenarnya dia merasa tersinggung. ‘Kalau aku sampai bisa membuang uang untuk membeli pakaian yang sepadan denganmu, mungkin aku tak perlu berutang dan hidup mengenaskan seperti ini.’
Declan ingin menjelaskan bahwa Eva salah paham. Namun, tentu saja dia batal melakukannya karena tak ingin membuang waktu. “Pilihlah gaun dan aksesoris yang kau suka.” Declan mengajak Eva masuk ke dalam butik dan meminta pelayan untuk membantu Eva memilih pakaiannya.
Hanya saja, karena tahu Eva datang bersama Declan, manajer butik bereaksi berlebihan dengan menangani sendiri kliennya. Suatu fasilitas yang tak akan mungkin Eva dapatkan bila dia datang sendirian–tidak diusir pun sudah sangat untung.
Declan memilih untuk duduk di ruang tunggu dan membaca majalah sementara Eva dan manajer butik memilih gaun yang pas untuknya. Harga gaun yang ada di butik tersebut benar-benar mencengangkan Eva. Yah, dia tercengang saat melihat harganya–bukan karena desainnya. Gaji Eva sebulan tanpa dipotong sekalipun tak akan sanggup membeli sehelai gaun pun.
Eva sedang memilah beberapa potong gaun untuk dia coba. Dia tak terlalu yakin dengan pilihan warna, ukuran, dan modelnya. Semua memang terlihat bagus bila dikenakan model yang tingginya 175 cm. Namun, dia tak yakin akankah sama bila dia yang memakai karena tingginya 180 cm. Beberapa gaun yang dia sukai terlihat terlalu pendek. Pasti akan semakin pendek bila dia yang memakai.
“Saya rasa, warna biru royal ini paling cantik. Cocok sekali dengan warna mata Anda,” saran manajer butik sambil menunjuk salah satu gaun tanpa lengan yang dipegang Eva.
Sebenarnya, Eva menyukai gaun berlengan lace panjang warna krem. Sayangnya, gaun itu terlalu pendek untuknya.
“Yang putih ini juga sangat cantik. Membuat Anda lebih anggun dan terlihat dewasa,” komentar manajer butik menunjuk gaun panjang berpotongan mermaid.
“Atau yang merah ini? Anda pasti terlihat lebih percaya diri. Lagi pula, potongan gaunnya mempertegas kecantikan tubuh Anda.” Eva tahu bagaimana sang manajer mati-matian memoles kalimat yang seharusnya berbunyi ‘kau akan terlihat berani dan seksi’.
“Aku tak suka potongan V yang terlalu rendah,” tolak Eva dengan sopan. Memakai gaun merah yang disarankan manajer akan membuat Eva seperti memprovokasi Declan.
Setelah mengepas beberapa gaun yang kira-kira cocok untuknya, akhirnya pilihan Eva jatuh pada gaun biru royal berpotongan leher bulat yang tampak paling pas dia kenakan. Panjangnya yang selutut membuat Eva merasa nyaman bergerak tanpa khawatir kaki jenjangnya akan terekspos berlebihan. Cuaca juga sudah cukup hangat. Jadi, gaun yang dia pakai tetap terasa nyaman walaupun tanpa lengan.
Manajer toko membantu Eva memilihkan tas, sepatu, dan aksesoris yang pas. Sebagai bonus, mereka juga menyempurnakan penampilan Eva dengan riasan ringan nan segar. Rambut pirang cantiknya disanggul sebagian, menyisakan beberapa helai tergerai bergelombang di dekat telinga. Sangat cantik.
Perpaduan yang sempurna itu membuat Declan tak bisa mengedipkan mata sama sekali saat pertama kali melihat Eva keluar dari ruang pas. Selama ini, Eva terlihat cantik di mata Declan. Namun, saat ini, kata cantik tidaklah cukup untuk memberi pujian kepada Eva yang saat ini terlihat seperti bidadari tanpa sayap.
Melihat betapa pakaian dapat menaikkan level kecantikan Eva, Declan menyodorkan kartu hitam seraya meminta semua pakaian dan aksesoris yang ukurannya pas untuk Eva agar dikirim ke alamatnya. Tentu saja, senyuman manajer butik semakin lebar saja dibuatnya. Eva sangat yakin manajer itu akan bersorak kegirangan bila sudah tak ada customer di sekitarnya.
“Kau berlebihan, Dec! Aku tahu kau sekaya itu, tetapi membelikanku terlalu banyak gaun bukanlah ide bagus,” ujar Eva sedikit bersungut-sungut. “Bagaimana kalau kau memotong jumlah utangku dan memperpendek masa kerjaku saja? Aku pasti akan sangat senang.”
Declan tak menjawab. Dia hanya melempar pandang ke Eva yang membuat gadis itu mengambil kesimpulan bahwa Declan melakukan semua itu untuk menyenangkan diri sendiri, bukan untuk memberinya hadiah.
Sesuai rencana, Declan membawanya makan ke restoran mewah. Bagai seorang gentleman, Declan membukakan pintu mobil untuk Eva dan membantunya turun. Kini, penampilan Eva memang sangat sempurna. Sangat pantas berjalan mengiringi seorang Declan Sawyer. Declan menggandeng Eva selayaknya wanita yang memesona–bukan seorang gadis yang baru berusia sembilan belas tahun.
Mereka memesan hidangan mewah yang baru pertama kali Eva rasakan. Minuman yang dipesan Declan pun tampak sangat menggoda. Namun, Eva menahan diri untuk tidak minum karena dia ingin melewatkan malam ini dengan penuh kesadaran. Lagi pula, dia anak patuh yang tak akan pernah minum karena usianya masih di bawah umur.
Tak hanya itu iringan musik di ruangan VIP yang dipesan Declan, membuat Eva sangat ingin meliukkan tangan dan kakinya mengikuti alunan nada. Sepertinya, memang itulah yang diinginkan Declan.
"Maukah kamu berdansa denganku, Eve?" tanya Declan dengan gaya yang sangat sopan–tak peduli perbedaan status dan usia yang terbentang cukup jauh.
"Eh?" Eva tersentak, merasa Declan dapat membaca pikirannya. Pipinya yang semakin bersemu merah pun menyatakan jawaban yang tak perlu diragukan lagi. "Kalau kamu tak keberatan. Aku takut akan menginjak kakimu."
Declan hanya tersenyum dan mengulurkan tangannya kepada Eva. "Injak saja sesuka hati sebagai ganti rasa sebalmu padaku. Aku tak akan protes."
Wajah Eva semakin merona, membuat hati Declan berdesir. Eva pun mengalungkan tangan ke leher Declan, sementara Declan melingkarkan tangannya di pinggang. Mereka bergerak beriringan perlahan senada dengan alunan musik klasik dari biola dan cello yang dimainkan oleh para pengiring.
"Kamu suka?" tanya Declan yang menahan diri mati-matian karena aroma parfum stroberi yang manis menguar dari tengkuk Eva.
"Eh? Tentu, tapi ...." Eva ragu meneruskan kata-katanya. Dia tahu Declan adalah seorang playboy yang sangat pandai menyenangkan wanita mana pun yang diajaknya kencan. Namun, apakah hal ini tak berlebihan bila dilakukan untuk seorang asisten pribadi?
"Jangan tinggalkan aku lagi," ujar Declan tiba-tiba.
"...."
"Tinggallah selamanya denganku. Aku tak bisa hidup tanpamu, Eve," lanjut Declan dengan tatapan yang tak bisa dibilang bercanda atau merayu. Sangat serius. Begitu menghipnotis.
"Dec—"
Ketika awalnya keduanya hanya bertatapan, kini bibir mereka sudah saling bersentuhan. Lembut dan manis. Mata Eva lama kelamaan terpejam, mengikuti petunjuk Declan yang jelas lebih pandai dan berpengalaman.
Keduanya berpagutan begitu yang dalam tanpa memperhatikan sekitar. Desiran lembut yang sedari tadi melanda, kini telah berkembang menjadi lecutan-lecutan hasrat yang ingin disalurkan.
Sepasang anak manusia yang sedang mabuk kepayang itu segera pergi dari restoran dan entah bagaimana caranya, mereka berdua berakhir di dalam kamar hotel yang baru saja dipesan tanpa rencana. Baik Declan maupun Eva sudah tak lagi mawas diri. Keduanya terhanyut dalam rasa yang tak bisa terungkap hanya dengan kata-kata.
Raga mereka pun ingin menunjukkan perasaan itu satu sama lain. Keduanya ingin mengungkapkan ekspresi kasih yang menggelora dan telah tertahan begitu lama.
"Declan ...." Bisikan lirih Eva menghentikan perbuatan Declan sejenak.
"Ada apa, Eve? Kau ingin aku berhenti?"
"Ini ... pertama kali bagiku ...."
Declan tersenyum. Dia tak menyangka wanita di hadapannya ternyata begitu polos dan masih bertahan setelah sekian lama.
"Tenang, Eve. Aku akan melakukannya dengan lembut." Declan mencium kening Eva lalu melanjutkan permainannya. Dia berusaha dengan sebaik mungkin demi memberikan pengalaman yang indah untuk Eva.
Jeritan-jeritan Declan dan Eva yang bersahutan membuat tanda bahwa kesuksesan permainan mereka adalah mutlak. Berakhir dengan kepuasan di kedua belah pihak.
Declan masih bergerak pelan tanpa memisahkan diri untuk menyelesaikan sisa-sisa getaran yang masih dirasakannya. Sementara Eva sudah terkapar karena ini sudah klimaks yang entah berapa kali Declan berikan malam ini untuknya. Apa boleh buat. Yang terakhir ini memang sangat menguras tenaganya.
Pandangan Eva yang tadinya gelap dan kabur, perlahan kembali normal. Namun, betapa terkejutnya dia mendapati kotak perhiasan kosong di bantal sebelah kiri. Dia segera melihat jari manis kiri yang kini terasa aneh. Mata Eva membulat melihat cincin berlian cantik yang kini sudah tersemat di sana.
"Declan! Ini apa?" tanya Eva dengan mata berkaca-kaca.
"Eve, aku mencintaimu! Menikahlah denganku?" Wajah Declan yang penuh peluh, lelah, tapi senang kini tampak memohon dengan seluruh ketulusan yang dia miliki. Dia ingin menghargai Eva dan memperlakukannya berbeda dari wanita-wanita yang dia kencani sebelumnya. “Selama ini, aku memang pria yang menyebalkan. Namun, aku berjanji hanya akan setia kepadamu.”
Eva menangis penuh haru. Dia tak menyangka bahwa Declan akan benar-benar serius dengannya. Hanya satu jawaban yang ada dalam dirinya saat ini.
"Tentu, Declan! Tentu!"
Sepasang kekasih yang sedang berada dalam puncak kebahagiaan itu pun larut kembali dalam gelombang cinta yang kian bergelora. Mereka menyatu tanpa henti hingga pagi menjelang. Tidak ... itu tak cukup. Mereka berdua bersumpah akan menyatu hingga maut memisahkan.