Nathan Syah Danishwara

3104 Words
Pikiran Nathan melayang. Meninggalkan Yogyakarta yang selama ini menjadi tempat tinggalnya adalah hal yang sangat aneh. Tapi akhirnya ia berangkat juga dengan mobil di mana ada Om-nya yang menyetir. Mobil yang digunakan tentu milik ibunya. Katanya, ayah mereka tak bisa menjemput karena begitu sibuk. Kakak Nathan? Kuliah di luar negeri. Sudah sibuk sendiri juga. Katanya membangun usaha tapi entah lah. Nathan hanya menatap jalanan malam ini yang begitu lengang. Mereka berangkat dari rumah jam satu malam. Alasannya? Biar bisa tiba di Jakarta pada pagi hari. Jarak Yogyakarta ke Jakarta lumayan jauh kan. Dan Nathan enggan tidur. Tak ada hal yang ia pikirkan. Meninggalkan Jogja tak begitu berat pula karena ia tahu kalau mereka pasti akan datang kembali. Namun meninggalkan kenangan sekolahnya terasa ganjil pula. Tadi sore ia berpisah dengan teman-temannya usai mentraktir di salah satu kafe. Menyenangkan kalau mempunyai teman. Ia pasti akan mudah mencari teman lagi di Jakarta nanti. Ya kan? "Kamu itu harus rajin belajar tho, Nath. Jogja itu bukan Jakarta. Ndak ada yang bisa lobi-lobi kepala sekolah biar kamu bisa naik kelas lagi." Ia terkekeh mendengar ocehan itu. Ya selama ini ia naik kelas kok meski dengan jaminan. Hahaha. Ia bukannya bodoh. Yang membuatnya tak naik kelas adalah jumlah keaktifan yang sangat rendah mengingat ia memang seringkali bolos. Kalau sekarang? Jakarta akan menjadi dunia baru baginya. Ia tak akan mencari musuh juga. Untuk apa? Ia juga tak berjanji akan bisa bersekolah dengan rajin. Karena jujur saja, ia tak punya motivasi apapun untuk serius sekolah kalau bukan karena ibunya yang terus memaksa dan mengingatkan berapa pentingnya sekolah itu. Vita sudah pulas sejak mereka berangkat. Bahkan tadi ia yang membawanya dari kamar. Gadis kecil itu betul-betul mengantuk namun sangat antusias dengan kepindahan mereka di Jakarta. Katanya penasaran dengan kota metropolitan padahal sudah sangat sering ke Jakarta. Apalagi semenjak ayah mereka berpindah kerja di sana tiga tahun terakhir. Tapi katanya rasanya tetap berbeda. Siapa tahu juga katanya bisa satu sekolahan dengan artis. Hal yang membuat tawa Nathan. Begitu keinginan sederhana anak kecil. Menjelang jam tiga pagi, mereka berhenti dulu. Ibunya menyempatkan diri untuk solat malam. Sementara ia mengajak Vita untuk jajan di salah satu ruko tempat pemberhentian di tol. Mereka membeli beberapa jajanan biar tak bosan di jalan. Meksi akhirnya, Vita malah tidur lagi. Gadis itu benar-benar pulas. Sementara Nathan hanya tertidur dua jam lalu kini kembali menatap jalanan. Jam sembilan pagi mereka akhirnya tiba di rumah dinas Papanya. Papanya tak ada di sana. Katanya sudah pergi ke kantor. Ia sudah terbiasa dengan hal-hal sibuk semacam ini. Menurutnya, kedua orangtuanya ini sejenis. Keduanya sama-sama lebih mementingkan karir. Namun Nathan sepertinya tak sadar kalau ada yang berubah dari ibunya. Perempuan itu sudah berupaya keras untuk menekan egonya. Menurunkan ego demi keharmonisan keluarga. Sampai kapanpun ia akan pertahankan keluarga ini. Tak perduli apapun yang dihadapi saat ini. Senyuman Nathan dan Vita adalah semangat hidupnya saat ini. "Istirahat saja, Nath. Nanti Mama bangunkan." Ia mengangguk. Ia juga maunya begitu. Maunya beristirahat saja menilik ia hanya tidur dua jam selama perjalanan dari Jogja menuju Jakarta. Om-nya yang menyetir di sepanjang jalan juga ikut pulas di dalam kamar. Tubuhnya pasti sangat lelah. Sementara Vita justru bergerak mandi dan membantu ibunya membereskan beberapa barang. Ia memang sangat semangat sekali sejak akan tiba di sini. Tak tidur pula semenjak mereka berhenti di masjid untuk solat subuh tadi pagi di dalam perjalanan. @@@ Azzura sadar kalau ada yang sedang menatapnya. Namun ia berusaha bersikap biasa saja. Matanya juga enggan melirik ke arah dua laki-laki yang tampak bercengkrama. Ia sebetulnya kaget karena ternyata itu benar-benar Nathan. Meski ada sedikit keraguan juga. Apa mungkin Nathan sudah kembali ke Indonesia? Bagaimana bisa terjadi? Yaa pasti bisa lah, benaknya langsung menyangkal. Nathan bisa saja kembali dan tinggal di sini karena lelaki itu memang orang Yogyakarta kan? Dan rasa-rasanya ia sudah pernah membahas ini. Namun tentu berbeda ketika akhirnya benar-benar melihat di depan mata dan Nathan benar-benar tampak nyata. Itu adalah kenyataan yang benar-benar tak bisa ia duga. Haah. Sekian tahun ia di sini, baru kali ini bertemu. "Makan apa?" Ia sampai lupa dengan tujuannya di sini. Jadi ia mengalihkan pembicaraan. "Bakso aja gimana?" Ridha setuju. Harganya juga lebih bersahabat dibandingkan saat mereka nongkrong di kafe lain yang ada di dalam gedung fakultasnya Azzura ini. Suasananya juga jelas berbeda karena di sini lebih merakyat. Yeah bahkan Ridha pernah mengeluh di sana karena saking mahalnya harga air mineral yang bisa mencapai lima belas ribu hanya untuk satu botol saja. Itu pun untuk yang 600 ml. Azzura bergerak memesan bakso lalu langsung membayarnya. Ia hanya perlu duduk untuk menunggu pesanan datang. Kemudian membuka laptop sembari mengobrol dengan Ridha. Dan ini membuatnya kehilangan pikiran untuk memikirkan sosok yang masih sering mencuri pandang. Bahkan Nata berdeham-deham, mengejeknya. "Samperin lah. Lo kayak anak SMA baru tahu jatuh cinta aja ngelirik-lirik kayak gitu." Nathan tertawa. Jelas saja ia ketahuan melirik karena terlalu berterus terang. Yang dilirik benar-benar tak menggubris meski sadar betul. Meski kini pikirannya juga sudah melayang ke hal lain. Apalagi diajak mengobrol oleh Ridha. Nathan tersenyum tipis. Menurutnya, sisi cuek milik Azzura itu tak hilang. Masih sama melekatnya dengan dulu ketika ia juga sering menatap Azzura dari jauh ketika berada di kantin. Azzura benar-benar tak menggubrisnya. Cewek itu aneh menurutnya. Dan Azzura adalah perempuan yang tak pernah bisa ia tebak ke mana hatinya. "Kalo katanya dosen-dosen sih masih jomblo. Istri gue juga bilang begitu. Tapi ya gak tahu lah," tukas Nata. Itu kan hanya gosip. Gosip yang didengar pun bisa jadi sudah lama. Bisa jadi bukan yang terbaru. Karena segala situasi menjadi tak pasti. Kapan pun orang bisa berubah. Yang hari ini jomblo bisa mendadak menikah besok hari kan? Nathan hanya tersenyum kecil sambil melirik untuk ke sekian kalinya. Ya lah, ia juga tahu kalau ada kemungkinan Azzura sudah memiliki calon sekalipun belum menikah bukan? Dengan sosok Azzura yang sekarang, Nathan yakin pasti banyak lelaki yang mau mengantri untuknya. Karena apa? Ya siapa yang tak mau istri seperti Azzura? Perempuan itu cerdas dan berpendirian. Ia juga perempuan baik-baik yang bagi Nathan sangat susah dicari. Mau menghampiri kan tak mungkin? Lalu tiba-tiba say hai dan mengatakan kalau ia adalah mantannya? Nathan ingin tertawa dengan khayalan absurd-nya sendiri. Ya tidak seperti itu juga. Mungkin ia harus menyiapkan diri. Padahal apa susahnya ya? Nata yang gemas karena ia hanya duduk di sampingnya tanpa berbuat apapun. Padahal mumpung Azzura tadi ada di sebelahnya dan gadis itu belum pergi jauh. Masih ada di sekitar kantin. Masih terasa dekat. Nata geleng-geleng kepala. Tak mengerti dengan isi kepala Nathan. "Terus untuk apa lo nanya-nanya begini kalo pas ketemu orangnya malah diem begini?" Ia terkekeh kecil. Ya memang benar apa yang dikatakan oleh Nata. Tapi ia sedang tak punya nyali saat ini. Jadi hanya bisa diam dan menatap dari jauh. "Nathan-Nathan, di mana lah pikiran lo itu," nyanyi Nata yang lagi-lagi membuatnya terkekeh. Ia juga tak tahu di mana pikirannya saat ini. Aah jangan-jangan karena terbawa perempuan yang duduk sana itu? Hhaha. @@@ "Hari pertama Mama antarkan karena Mama harus pastikan kamu masuk ke dalam kelas." Vita tertawa mendengarnya. Sedari mereka berangkat, ia memang hanya mendengar omelan ibunya pada kakaknya yang satu ini. Tak berhenti pula ocehannya. Lagi pula, salah kakaknya juga karena sekolah kok begitu? Tidak rajin. Vita juga sering mengomel. Katanya.... "Masa kalah sama anak kecil? Vita aja rajin sekolahnya." Dan Nathan hanya akan menjitak kepalanya tapi biasanya ia sudah berteriak terlebih dahulu untuk menghindari hukuman itu. Dan lagi ini, Mamanya mengantar Vita dulu ke sekolahnya. Gadis supel itu benar-benar santai ketika harus berpisah dengan ibunya dan Nathan. Setelah itu, baru mengantarnya. Tapi tentu saja mereka mendatangi ruang guru untuk kemudian dibawa menghadap kepala sekolah. Berkat lobi ibu Nathan di sekolah sebekumnay, nilai raport dan kehadirannya aman. Tapi wejangan ibunya jauh lebih panjang lagi dari ucapan kepala sekolah kepadanya hari ini. Mereka tentu saja berharap kalau Nathan akan rajin sekolah seperti para siswa kebanyakan. Nathan hanya mengangguk-angguk saja. Ia tak begitu peduli dengan hal-hal semacam itu. Setelah itu, ia bergerak menuju ruang kelas. Ibunya tentu saja masih memantau dari jauh. Tak ingin kehilangan jejaknya. Ia benar-benar harus dipastikan untuk masuk ke dalam kelas. Kelas yang baru saja dimasuki Nathan tentu saja heboh dengan kehadirannya. Cowok ganteng ini mulai mendominasi kelas dengan wajahnya yang di atas rata-rata. Banyak perempuan yang langsung tertarik. Ia mendadak mempunyai banyak tambahan fans setelah berakhir di Jogja. Ya untuk wajah setipe Nathan memang akan mudah membuat para perempuan jatuh hati. "Nathan Syah Danishwara." Ia memperkenalkan diri di depan kelas. Tentu saja disambut tepuk tangan yang sangat riuh dan berantusiasme tinggi. Terutama dari kalangan perempuan. Ia mengambil duduk agak di belakang karena memang hanya ada di satu bangku itu yang kosong. Para perempuan mengikuti kepergian langkah kakinya. Baru berhenti saat sang guru menepuk papan tulis dengan penghapus. Hal yang mengundang tawa. "Yang perlu diperhatikan itu adalah apa yang saya tulis hari ini!" Si guru melanjutkan omelannya. Mendengar itu, mereka kompak memasang wajah serius sembari menatap ke arah papan tulis hanya agar kemarahan itu tak berkelanjutan. Nathan tampak berkenalan dengan beberapa teman lelaki di samping dan belakangnya. Ia juga berkenalan dengan perempuan yang ada di depannya karena mereka tak berhenti meliriknya. Ia tahu kok kalau ia ganteng. Dan ia sudah terbiasa ditatap seperti itu. Hahaha. Setelah memastikan anaknya belajar dengan baik dihari pertama masuk sekolah, ia kembali ke rumah. Sempat mampir sebentar di sebuah pasar yang tak terlalu jauh dari rumah untuk membeli bahan-bahan makanan. Ketika ia tiba di rumah, ia menemukan mobil semuanya. Lelaki itu sebetulnya kaget juga karena istrinya sudah tiba di rumah. Ia memang sempat bertemu di minggu pertama istri dan anak-anaknya tiba di rumah. Setelah itu, ia beralasan ke luar negeri dengan banyak pekerjaan. Anak-anak tentu percaya tapi istrinya tidak sama sekali. Karena lihat saja sekarang, lelaki yang katanya ke Inggris ini malah berada di depan matanya. Ia kembali ke rumah karena memang harus mengambil beberapa dokumen pekerjaan yang sangat penting yang harus diambil. Suasana rumah mendadak dingin dan asing. Mereka hanya bersikap hangat ketika ada anak-anak. Anak-anak tentu saja tak tahu apa yang sebetulnya terjadi. Termasuk alasan kenapa mendadak pindah ke Jakarta. "Apa ini Singapura? Atau saya yang salah?" Sindiran telak itu tentu saja tak bisa dibantah sama sekali. Ia memang hanya diam meski tersinggung. Tapi kalau dipikir-pikir, bukan kah memang kenyataan itu sangat benar? Terdengar dengusan dari lelaki yang sampai kini masih berstatus sebagai suaminya itu. Ia hanya diam dengan menyibukkan diri di dapur. "Salah siapa aku begini?" Ia jelas tersentil mendengar kata-kata itu. Sejak awal ketahuan, suaminya ini hanya mengalahkannya sebagai alasan utama alasan dilakukan hal ini. Ia dengan cepat menoleh dan mengirim tatapan tajam. "Kamu yang selingkuh, kamu yang menghamili perempuan lain hingga punya anak, masih menyalahkanku?" "Kamu pikir karena siapa itu terjadi? Kamu yang gak mau aku ajak pindah sejak awal. Masih egois dan mentingin karirmu di sana. Kamu pikir, aku gak mampu menghidupi keluarga kita sampai harus bekerja lagi?" Terdengar hembusan nafas keras. Ia makin marah mendengar kata-kata itu. Sangat-sangat merasa marah. "Mas!" "Lalu kamu malah datang ke sini disaat semua sudah jadi begini. Kamu pikir bisa memperbaiki semuanya? Kalau bukan karena anak-anak, aku sudah akan pergi. Untuk apa bertahan denganmu?" Ia jelas terpukul mendengar kata-kata itu. Sementara suaminya malah pergi begitu saja meninggalkannya yang akhirnya menangis setelah ia tahun kuat-kuat kepedihan ini. Ia jelas sakit hati mendengar kata-kata itu. Hanya karena jauh dari istrinya, lalu berselingkuh? Dan alasan berselingkuh hanya karena istrinya jauh dan tak mau diajak pindah? Setelah semuanya terjadi juga masih menyalahkan istrinya? Ia terduduk dengan menangis tersedu-sedu. Sakit sekali hatinya dengan semua perlakuan ini. Satu-satunya hal yang membuatnya harus bertahan dan mempertahankan rumah tangga ini hanya agar ia tak ingin anak-anaknya terluka. Ia ingin mereka tetap bisa tumbuh bahagia seperti anak-anak lain yang keluarganya masih lengkap dan bahagia. @@@ "Kenapa gak dipanggil aja tadi?" tutur Nata. Keduanya berjalan menuju departemen Nata. Nathan berniat mengantarnya ke sana dan sekalian bertemu dengan dosen dan juga pejabat kampus tadi. Tadi yang ikut meeting di sana adalah salah satu bawahannya. Ia datang untuk meeting lanjutan yang hanya dihadiri beberapa orang saja. Nathan tersenyum kecil. "Sekarang tuh beda," tuturnya. "Gue juga takutnya, dia udah lupa sama gue atau bahkan membenci gue. Yaa semacam itu lah, Nat. Perasaan-perasaan insecure yang tiba-tiba tumbuh. Apalagi 12 tahun kan bukan waktu yang sebentar." Nata mengangguk-angguk. Memang benar. "Tapi kalo lu gak nyoba gimana?" Nathan mengendikan bahu. "Tadi kayaknya dia juga gak ngeh sama gue." "Emangnya seberapa parah sih waktu putus dulu?" Nata hanya tersenyum tipis. Menceritakannya hanya akan membuka luka lama. "Lo serius?" Ridha hampir berteriak. Usai makan siang tadi, keduanya sama-sama ke gedung kedokteran. Saling bertemu dengan dosen masing-masing. Kemudian bertemu lagi di jam empat sore. Keduanya hendak berjalan menuju masjid UGM. Sengaja mampir untuk solat Ashar di sana. Juga menghadiri pengajian bulanan. Meski agak terlambat juga. Cuma yaa namanya juga kesibukan. "Tapi gak yakin sih," tuturnya pelan. "Gue juga gak terlalu merhatiin tadi. Terus kan terakhir, dia udah di Inggris," tuturnya pelan. "Bener-bener lost contact ya? Emangnya dia gak punya sosmed gitu? Di jaman sekarang ini? Eh iya, lu juga." Ridha terkekeh sendiri. Merasa bodoh dengan ucapannya. Tiba di masjid, keduanya langsung bergerak untuk mengambil wudhu. Kemudian solat Ashar dan segera bergabung untuk kajian. Tak ada yang istimewa dari kajian hari ini. Hanya rutinitas yang terus diulang bertahun-tahun belakang. @@@ Masjid kampus terkenal di Yogyakarta. Yeah tentu saja masjid kampus UGM. Usai meeting, ia langsung pamit pulang tapi sengaja mampir dulu ke masjid ini. Tentu saja untuk solat. Dulu, waktu SMA ia sering sekali datang ke sini bersama teman-temannya. Yaa kadang cuma buat gaya-gayaan tapi sebandel-bandelnya ia dulu, ia tetap ingat Tuhan kok. Meski yaa yang namanya proses hidup itu tak ada yang cepat dan berbeda-beda pada setiap orang bukan? Bahkan untuk bisa di titik ini, Nathan harus mengalami banyak hal di dalam hidupnya. Tentu saja banyak terjadi sesuatu yang tak terduga dan di luar rencana manusia. Sebagai hamba, ia mengikuti rencana-rencana Tuhan yang pasti akan ada keindahan dibaliknya. Walau harus terluka di awal hingga hampir berputus asa. Sampai akhirnya ia bisa berada di titik ini justru karena semua kepahitan yang pernah ia alami bukan? Ia akhirnya berada di titik di mana ini adalah rencana Tuhan. Kemudian, kini ia baru saja hendak beranjak lalu ia menoleh otomatis ketika mendengar suara anggun yang ia dengar beberapa hari lalu. Suara siapa? Suara milik Azzura. Suara merdu itu beradu dengan milik temannya dan sesekali digilir dengan tawa. Keduanya berjalan menuju sepatu masing-masing kemudian memakainya dengan santai. Berhubung tak buru-buru amat kan ya? Namun hal itu malah mengingatkan Nathan pada apa yang pernah terjadi dimasa lalu. Dulu ia sering melihat gadis itu mengenakan sepatu sambil dudu di teras masjid sekolah. Perasaannya saat itu seperti kembali ke waktu ini. Seperti masih sama. Meski sudah berlalu lama sekali. Lalu teringat dengan percakapan dengan Nata ketika berada di kampus tadi. "Emang kalian putus gak baiK-baik?" Nathan sempat menghela nafas panjang sebelum menjawab. "Parah? Mungkin Banget." Matanya mengawang-awang. Pikirannya memutar bagian masa lalu. "Mungkin dia benci banget sama gue sekarang. Walau yaah, gue gak paham juga sih. Disaat itu, gue hanya merasa marah banget sama dia sampai akhirnya untuk memaafkan terasa sulit. Ya intinya gue kalah sama ego gue sendiri sampai akhirnya, gue bisa berdamai dan mencoba menerima. Gue belajar intropeksi diri kalau yang salah itu bukan cuma dia. Tapi gurejuga punya kesalahan. Tapi yaa udah lah." Ya udah lah hanya di mulut. Kenyataan lain jika urusannya dengan hati. "Toh udah berlalu lama juga. Waktu gak mungkin bisa kembali lagi ke semula kan?" Nata mengangguk-angguk. Memang ada benarnya. Kini Nathan baru saja masuk ke dalam mobil. Ia sempat berpikir lama dab ia sejujurnya masih bingung. Apakah harus benar-benar maju dengan memutar balik arah atau menyerah seperti kejadian terakhir dulu. Tapi sekarang bukan waktunya untuk menghabiskan waktu dengan menunggu bukan? Iya kan? Maka pikirannya kini berubah dengan cepat. Ia hanya helajar dari apa yang pernah terjadi dimasa lalu. Kini ia harus mengubah haluan. Tak lama, ia mengerem kuat-kuat. Hal yang membuat Ridha dan Azzura syok. Keduanya sama-sama kaget dengan mobil yabg ia kendarai. Ya tiba-tiba berhenti begitu saja. Nathan segera turun dari mobil. Ia langsung menoleh ke arah Azzura yang semakin kaget. Mungkin tak menyangka kalau Nathan akan keluar dari mobilnya. Iya kan? "Temennya Nata kan ya?" Ia bahkan tak berbasa-basi. Cewek ini mungkin akan bingung. Tapi ia malah mengulurkan tangan namun setelah satu menit menunggu, ia menariknya sambil menggaruk tengkuk. Malu. Malu karena Azzura tak membalas jabat tangannya. "Ada apa ya, Mas?" Nathan ternganga kemudian ia tersadar. Bukan kah ia harus mengatakan yang sebenarnya?. "Eh-oh," ia berdeham. "Sebenarnya tadi saya juga mau mengobrol dengan Mbaknya," ia agak malu mengucapkan itu. Ya aneh juga sih Tadi Azzura memanggilnya mas, ia juga merasa aneh. "Tapi mbaknya malah udah keburu pergi." "Mau ngobrol apa ya, mas?" Ia bingung lah. Ada apa? Kok sampai disamperin begini? Sementara yang menghampiri justru gelagapan. Lalu teribgat satu hal dan segera mengambil sebuah kartu yang ada di dalam mobilnya. Azzura mengerutkan kening saat menerima kartu itu. Untuk apa kartunya? Digesek? Ya tidak bisa lah. Itu kan bukan kartu kredit atau debit atau sejenisnya. "Ini apa ya?" Nathan berdeham. "Ituu....eung....alamat kantor saya." Kenapa ia jadi gagap begini? "Nata tadi bilang kalau seminar kemarin-kemarin itu, Mbak yang mengurusnya kan ya?" Azzura mengangguk polos. Meski keningnya mengerut-erut. "Nah kami berencana mengajak kerja sama mbaknya," ceplosnya. Entah ide sontoloyo dari mana ini berasal, ia juga tak tahu. Lalu untuk acara apa pula? Astagaaaa. Sudah lah jangan dipikirkan. Ia berusaha menenangkan hatinya sendiri. "Jadi, bisa ikut membantu kan?" "Kalau masnya mau bgajuin proposal, saya bisa pikirkan dulu." Nathan mengangguk dengan senyuman lebarnya. Senyuman yang tampaknya mengusik perempuan ini. "Kalau begitu," ia tampak ragu. Tapi ingin sekali bertanya. "Apakah boleh minta kontaknya, mbak?" Azzura mengangguk. Maka dengan segera Nathan mengeluarkan ponselnya dari saku. Ia tak mau membuang waktu. "Mbak Azzura kan ya?" Ia habya sok-sokan ingin memastikan nama kontaknya. "Ya, Azzura Camelia." Nathan mengembangkan senyumnya kemudian cowok itu menaruh ponselnya ke dalam mobil. Setelah itu, ia melihat ke arah Azzura. "Oh ya," ia tiba-tiba teringat sesuatu. Kemudian ia mengambil kertas dari dalam mobil dan menulis sesuatu. Setelah selesaj menulis, ia memberikan kertas itu pada Azzura. "Itu kontak saya, mbak. Nanti kalau saya mau menghubungi diperbolehkan ya?" Azzura mengangguk bodoh kenudian cowok itu pamit. Benar-benar pamit untuk pulang. Sementara Azzura masih terpaku melihat mobil itu. Kemudian Ridha menoleh ke arahnya. "Aneh gak sih, Zur? Ngerasa aneh gak?" Azzura masih tampak termenung. "Dari tatapannya itu ya Zur, kayak yang suka ke elo deh." Azzura tersadar. Ia sempat ber-hah. Kemudian berdeham. Sementara Nathan tersenyum tipis mengingat apa yang ia tulis. Hei, Zura. Apakah kita bisa bertemu besok? Mungkin sekitar jam 7 malam di jalan Malioboro? Bagaimana? Mungkin di masjidnya Masjid di sekitar jalan itu. Tahu kah? Aku tunggu ya? Nathan Syah Danishwara. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD