***
Secangkir kopi hangat menemani pagi Érique. Dia sedang membaca majalah harian New York Times di bagian depan rumahnya. Keadaan Victoria kemarin membuatnya tak bisa tertidur.
Ada hal yang terus terbayang di kepalanya. Victoria begitu sedih saat nama mantan kekasihnya keluar dari bibirnya. Dia adalah detektif cerdas, sedikit tahu tentang psikologi. Sikap Victoria menimbulkan tanda tanya besar di kepalanya.
Dia memikirkan cara agar Victorianya kembali seperti dulu. Ini semua terjadi semenjak Elizabeth hadir dalam hubungannya. Wanita tua itu adalah dalang dari segala perubahan dalam diri Victoria.
Matahari Boston terbit begitu terang. Sinarnya seakan berwarna Orange. Érique meletakkan majalah yang ia baca lalu bangkit dari duduknya. Pria itu menelepon seseorang.
"Halo Rik!" sapa seseorang melalui sambungan udara.
"Halo Anne! Mungkin hari ini aku tidak ikut dalam proses interogasi tim. Aku akan mengirimkan laporan hasil otopsi lewat e-mail. Apa kau tidak apa-apa?" tanya Érique.
Dia begitu mengkhawatirkan Victoria sampai memilih tidak berangkat kerja. Dia ingin berlama-lama dengan wanitanya.
"Tidak apa-apa Rik! Aku mengerti, kau pasti punya masalah. Kalau boleh tahu apa yang terjadi?" tanya Anne lagi.
Dia adalah partner kerja Érique, wanita yang sangat pengertian. Dia dan Stefan adalah partner kerja yang baik untuk Érique.
"Victoria membutuhkanku hari ini," jawabnya singkat.
Anne bisa mengerti, dia juga perempuan. Meski belum punya anak, tapi ia tahu bahwa wanita hamil sangat emosional di awal kehamilannya. Ini pertama kalinya ia mendengar Érique tidak masuk kerja hanya karena Wanita itu.
Biasanya Érique tetap bekerja dan menyerahkan semuanya pada asisten rumah tangganya. Masalahnya pasti serius begitulah pikiran Anne.
"Baiklah, Semoga kau dan Victoria bisa bersenang-senang."
Anne tidak ingin Érique bersedih. Ada rasa tersendiri yang tumbuh di hati wanita itu. Hampir 6 tahun ia bekerja dengan Érique dan ia bisa melihat bagaimana sisi menyenangkan dari pria itu.
"Selamat bekerja, Anne. Terima kasih telah mengerti keadaanku. Kau adalah partner kerja yang baik," puji Érique.
Anne tersenyum sendiri mendengarnya. Di dalam hatinya tumbuh keinginan untuk bersama pria itu. Sungguh mustahil baginya. Érique dengan tegas mengatakan mereka hanyalah partner kerja. Begitu miris dan menyakitkan baginya. Adakah yang lebih menyakitkan dari penolakan secara halus? Mungkin.
"Sama-sama. Tidak usah mengejekku dengan kalimat itu. Aku bukan partner kerja yang baik. Suatu hari aku akan menuntut. Jadi jangan senang dulu. Oh ya Rik, Aku ada pekerjaan. Aku matikan panggilannya ya," helas Anne sedikit bercanda lalu kembali serius.
Bicara terlalu sering pada Érique hanya membuat hatinya yang rapuh menumbuhkan harapan palsu. Harapan yang tak akan terwujud.
"Baiklah, Sampai ketemu besok."
Érique benar-benar bersyukur mempunyai teman seperti Anne. Dia sangat baik membuat dia merasa bersalah karena sering memamfaatkan kebaikan wanita itu. Semilir angin berhembus menyapa Érique.
"Sampai ketemu besok."
Anne mematikan panggilan Érique. Dia sangat bersyukur punya teman sebaik Anne. Dia bisa merasakan perasaan wanita itu padanya. Jika ada kesempatan Érique selalu menegaskan bahwa mereka hanya teman kerja, Tidak lebih. Dia bukanlah satu dari banyak lelaki yang tidak peka.
Érique kembali menikmati kopinya. Biasanya Victoria bangun pagi, tetapi hari ini tidak dan hal itu adalah tanda akan kerenggangan hubungan mereka.
Érique sempat tenang karena Victoria mengatakan semuanya semalam bahwa Bella adalah penyebabnya dan malam itu juga mereka menyelesaikannya. Namun, atmosfer ketidakharmonisan ditunjukkan Victoria.
Wanita itu tidak semanja dulu, harusnya ia lebih manja karena kehamilannya. Seakan Victoria menjauhinya.
Érique melangkah masuk ke dalam kamar. Dia melihat Victoria telah bangun, matanya bengkak seperti habis menangis, rambutnya di gulung ke atas hingga membuatnya sangat cantik.
Érique menatap kosong wanita itu di depan pintu. Menyaksikan gerak-gerik wanitanya. Victoria tidak menyadari jika sepasang mata memperhatikannya. Érique mendekat hingga wanita itu tersadar.
"Kak Érique belum berangkat?" tanya Victoria dengan suara lemah.
Dia sudah berusaha tidak menampakkan kesedihannya. Tapi itu sangat sulit karena Érique adalah lelaki cerdas. Dia bisa membaca situasi.
"Belum."
Langkah Érique tidak berhenti sama sekali. Semakin dekat sampai Victoria berada di depannya. Dia menangkup wajah Victoria lalu menciumi bibirnya penuh cinta. Victoria sama sekali tak membalas hingga Érique melumat bibir itu.
Ini sama seperti penolakan Victoria. Sungguh menyakitkan hati Érique, apa yang salah. Air mata lelaki itu jatuh begitu saja beriringan dengan pelampiasan cintanya yang membara lewat sentuhan manis bibirnya.
Cairan bening itu menerpah pipi Victoria hingga ia sadar dengan keadaan Érique.
"Kenapa kakak menangis?" tanya Victoria.
Érique menghapus air matanya. Dia mengutuk dirinya sendiri karena sifat emosionalnya. Kenapa ia harus menangis di depan Victoria. Hembusan nafas keluar dari mulut Érique.
"Hanya terharu saja," ucapnya singkat.
Érique tidak tahu harus bagaimana menjelaskan perubahan Victoria. Hal sederhana seperti tadi saja wanita itu enggan membalasnya. Seakan jijik pada dirinya. Victoria bangkit dari tempat tidur meninggalkan Érique dan mulai bercermin.
Érique sangat menyayangkan tindakan Victoria. Seolah perasaannya tak berarti. Lelaki itu bangkit dan memeluk Victoria dari belakang. Dia membuang segala harga dirinya demi wanitanya.
"Kau mulai berubah semenjak kemarin. Kakak takut kau pergi. Aku ingin kita menikah, Kakak tidak mau kau pergi Victoria," ucap Érique membuat Victoria berbalik hingga kedua mata bertemu.
"Aku tidak bisa menikah. Aku nyaman hidup seperti ini kak. Sama sekali tidak ada yang berubah," balas Victoria.
Pandangan matanya menggambarkan sakit di hatinya.
Érique memejamkan matanya frustrasi. Victoria tiba-tiba saja menyandarkan kepalanya di d**a Érique. Sementara Elizabeth datang dan masuk ke dalam kamar. Langkah wanita tua itu terhenti karena melihat keduanya.
"Kalau ingin masuk ketuk pintunya dulu," jata Érique dengan nada tidak suka. Victoria menatap mata kakaknya. Dia tidak suka ucapan kasar kakaknya.
"Maaf, aku pikir tuan sudah pergi," ucap Elizabeth.
Melihat wanita itu membuat Érique kesal. Dia tidak suka Elizabeth, ada hal yang disembunyikan wanita itu. Dia telah merasuki Victoria, mengubah Victoria dalam hitungan hari.
"Tidak, Ellie! Harusnya aku yang minta maaf. Maafkan Érique yang sudah bicara kasar padamu."
Érique semakin jengkel. Andai Elizabeth laki-laki mungkin sejak tadi sudah ia tonjok. Belum sempat Ellie bicara, Érique sudah memotongnya.
"Pulanglah! Aku hari ini tidak bekerja," kata Érique datar.
Victoria menatap tajam prianya itu. Bagaimana bisa dia tidak bekerja. Dia biasanya tidak seperti itu. Érique adalah lelaki pekerja keras. Lelaki profesional yang mampu membedakan dunia kerja dan kehidupan pribadi.
"Kak Érique!" tegur Victoria.
Dia tidak mengerti kenapa pria itu mencurigai wanita sebaik Elizabeth. Érique menghembuskan nafasnya. Victoria telah terpengaruhi oleh wanita paruh baya itu.
"Tidak apa-apa Victoria. Aku bisa pulang saja," sela Elizabeth pada Victoria.
Di dalam hati wanita itu menggerutu. Ada sesuatu hal buruk yang ia rencanakan. Ellie melangkah pergi, Victoria ingin menahannya. Akan tetapi Érique menghalanginya. Sekarang ini Victoria lebih nyaman dengan Elizabeth ketimbang kekasihnya, Érique.
Érique membawa Victoria ke ruang makan. Victoria masih kesal dengan tingkah pria itu pada Elizabeth. Matanya memandangi kakaknya tidak suka.
"Duduk di sini dan Jangan menatap horor kakak seperti," ujar Érique lembut lalu melangkah menuju dapur. Victoria pasrah dengan perlakuan kakaknya.
Érique memanggang roti lalu memtong sayur mentah dan sosis untuk dimasukkan ke dalam roti. Tanpa sengaja tangannya teriris pisau. Dengan cepat ia mengatasinya. Dia mengambil perban yang ada di dalam kulkas lalu menutupi lukanya.
Sangat sulit melakukan pekerjaan dapur dengan satu tangan. Dia menata sarapan untuk Victoria selama dua puluh menit. Pekerjaan itu tidak semudah yang ia bayangkan. Biasanya ia melakukannya dengan cepat tapi hari ini adalah yang paling lama baginya.
Dia membawakan sepiring roti dan segelas s**u untuk Victoria. "Ini sarapan untukmu dan baby!" seru Érique sambil mengukir senyum.
Sikap manis kekasihnya membuat Victoria tersentuh. Andai tak ada Bella, mungkin dialah wanita paling beruntung di dunia ini.
"Aku masih kenyang, Kak," kata Victoria.
Perutnya terasa penuh, Makanan apapun tak bisa masuk ke dalam lambungnya. Pernyataan Victoria membuat Érique merasa usahanya sia-sia. Sepiring roti di tangannya tak tahu harus di apakan.
Tanpa pikir panjang, Érique membuang makanan itu ke tempat sampah. Rasanya ia menyerah dengan perubahan Victoria. Ingin marah, tapi tidak tahu harus marah dengan siapa.
"Kak, kenapa rotinya dibuang?" tanya Victoria.
Dia tidak menyangka kakaknya melakukan tindakan itu. Érique begitu menyayangi Victoria, lebih baik ia marah pada dirinya sendiri daripada marah pada wanita itu.
"Sarapannya tidak enak, Rotinya hangus. Itu tidak bergizi lagi," jawab Érique datar.
Lelaki itu berjalan meninggalkan Victoria. Dia ingin mandi, jika terus berada di dekat wanita itu, ia akan marah. Air bisa memadamkan api amarahnya. Victoria sedang hamil dan sensitif, ia mengerti sikap wanita itu.
Victoria diam dan sadar akan sikap acuhnya terhadap lelaki itu. Érique biasanya lebih dewasa, tetapi hari ini dia mungkin lelah menghadapi sikapnya yang kekanakan.
Dia tak bisa membohongi kakaknya jika ia baik-baik saja. Érique mengorbankan pekerjaannya demi dirinya, menyiapkan sarapan untuknya. Namun, tak ia hargai. Wanita itu menyesal, ia ikut melangkah masuk ke dalam kamar.
Rasa takut mulai merasuk dalam jiwanya. Perbuatan baik kakaknya ia sia-siakan. Sekarang ia berdiri di depan kamar mandi, menunggu lelaki itu mandi. Ia harus minta maaf pada Érique, Dia bodoh telah membuat kakaknya marah.
"Kakak maafkan aku," vatin Victoria
Érique merendam tubuhnya. Dia belum siap menghadapi sikap acuh Victoria lagi. Wanita itu butuh waktu untuk melihat dirinya. Ada kesalahan yang ia lakukan hingga Victoria menjauhinya. Lelaki itu memejamkan matanya dan menikmati terpaan air pada tubuhnya.
Rasa nyaman menyelimuti dirinya. Lelaki itu enggan untuk menyelesaikan aktifitas mandinya. Dia terbuai dalam guyuran air. Ini adalah aktivitas mandi paling lama yang ia lakukan. Sudah lebih dua jam ia berada di dalam sana. Victoria tidak akan sudi menemuinya. Dan lebih buruknya hubungan mereka lebih renggang lagi.
Victoria merasa mual. Di depan kamar mandi ia berdiri sangat lama. Perutnya terasa dililit dan di gulung. Perlahan ia mendekati sisi ranjang. Tak ada yang bisa ia muntahkan.
Kamar mandi pun digunakan kakaknya. Wanita itu memegangi perutnya. Ia tak bisa menahan rasa mualnya lagi dan memuntahkan cairan bening yang begitu banyak di lantai.
Sakit perutnya masih terasa. Ia bangkit untuk membersihkan muntahannya. Dia takut kakaknya marah ketika melihat aksi joroknya itu.
Victoria meringis karena sakit melandanya. Sangat sulit baginya untuk bergerak, sekuat tenaga ia membersihkan muntahannya dengan handuk yang ada di atas kasur. Disana banyak tumpukan handuk, mungkin Érique yang menaruhnya sebelum mandi.
"Victoria!" seru Érique.
Victoria berbalik dan melihat lelaki itu. Dengan cepat ia membersihkan muntahannya. Lelaki itu tidak suka kamar mereka kotor.
Hati Érique bagaikan terpotong. Melihatnya dengan kondisi menyedihkan membuatnya sesak. Kenapa wanita itu tidak memanggil dirinya di kamar mandi. Dia dengan asyiknya mandi dan melupakan Victoria sendiri.
"Aku akan membersihkannya kak. Aku tidak akan muntah lagi. Ini yang terakhir. Kumohon jangan marah," ucap Victoria dengan nada lemah. Dia begitu lemah karena sakit melandanya.
Érique menggeleng. Dia mengangkat tubuh Victoria naik ke atas ranjang dan membaringkannya. "Jangan berjuang sendiri lagi, Sayang! Kakak akan melakukan apapun untukmu, kakak bisa memenuhi kebutuhanmu. Sekarang diam dan tunggu kakak dibsini. Kakak ambil obat dulu," tegas Érique pada wanitanya.
Kenapa ini semua terjadi. Selama bertahun-tahun ia tak pernah membiarkan Victoria sendirian. Dan sekarang, betapa bodohnya ia yang memilih keegoisannya dan mengabaikan Victoria.
Érique memberikan pil dan roti agar sakit perut wanitanya sembuh. Victoria merasakan kehangatan yang menjalar di seluruh tubuhnya. Dia tidak akan menyia-nyiakan perhatian Érique.
Apa yang ia lihat sebelumnya belum tentu benar, Érique berbohong mungkin karena ada alasannya. Seperti dirinya yang dulu berbohong bahwa ia selingkuh dan hampir membuat mereka nyaris berpisah selamanya.
Victoria meminum pilnya kemudian memeluk Prianya dengan sangat erat. Dia tidak ingin lelaki itu pergi darinya. "Maafkan aku kak, aku terlalu kekanakan, aku tidak bisa dewasa dan menghargai kakak. Aku bodoh dan tidak sepintar kakak," ucap Victoria sambil mengeluarkan cairan beningnya.
"Jangan bicara seperti itu, Sayang! Kau tidak bodoh. Kau tidak pernah salah. Semua salah kakak, harusnya kakak tidak perlu emosional dan meninggalkanmu seperti tadi," kata Érique menenangkan wanitanya.
Kedua tangannya memerangkap tubuh mungil Victoria, pria itu mencium kening Victoria.
"Jangan tinggalkan aku, Kak. Kakak boleh bertemu Bella asal tidak meninggalkanku. Kakak boleh menikahinya yang terpenting bahwa aku masih ada dalam daftar orang penting hidup kakak. Kakak bersamaku dan membagi waktu dengan Bella," kata Victoria membuat Érique tidak mengerti.
"Apa maksudmu, Sayang? Apa maksudnya dengan berbagi dengan Bella? Kau tahu sesuatu." tanya Érique penasaran.
Victoria menyadari apa yang keluar dari bibirnya. Dia terdiam, perlahan pandangan matanya menelusuri mata hitam kakaknya.
"Aku ... aku sudah tahu, Kak! Aku tahu bahwa kak Érique masih mencintai Bella. Kakak bertemu dengannya setiap bekerja. Aku tidak apa-apa, Kak. Aku ..." Ucapan Victoria karena jari telunjuk Érique menempel di bibirnya.
"Oke, kakak jujur sekarang. Ternyata kebohongan kakak yang membuat kau seperti ini. Bella adalah dokter yang bekerja sama dalam mengotopsi mayat dan kakak terlibat dengannya dalam hal pekerjaan. Tidak lebih, tidak ada kata cinta. Karena kakak hanya mencintaimu," jelas Érique.
Mendengar hal itu Victoria kaget. Jadi selama seharian ia hanya salah paham pada Érique. Penyesalan kembali menyelimuti dirinya. Victoria mengeratkan pelukan kekasihnya. Sakit diperutnya mulai berkurang. Mungkin karena pil pemberian kakaknya mulai bekerja. Ditambah lagi pelukan hangat dari prianya.
Betul kata Elizabeth bahwa di dalam hubungan haruslah ada rasa percaya satu sama lain. Victoria semakin yakin bahwa Elizabeth adalah wanita yang baik. Untuk sekarang ia berterima kasih atas saran wanita tua itu.
.
Instagram: Sastrabisu