Acara pesta pernikahan kemarin sangatlah meriah, tamu undangan dari pihak Gustave sangat banyak. Acara memang dipisah waktunya untuk keluarga Merlian dan keluarga Gustave. Karena itu para tamu jelas tidak berbentrokan. Mungkin menghindari rasa risih dari para tamu keluarga Gustave yang didominasi dari kalangan atas semua.
Merlian dan Gustave menskip acara bulan madu, mereka berdalih pada orang tua mereka bahwa mereka akan bulan madu nanti setelah mereka tidak lelah, tamu bulanan Merlian pun datang tepat waktu sehingga mereka bisa menjadikan hal itu sebuah alasan yang masuk akal.
Malam tadi, tepat jam dua belas malam pasangan yang telah resmi menjadi suami istri itu pun langsung pulang ke rumah mereka yang telah diisi oleh Gustave dengan barang-barang. Rumah tersebut sangat besar, halamannya luas, terdiri dari dua lantai.
Rumah bergaya modern itu memang tampak sangat indah. Bahkan ada pohon di dalam rumah itu, pencahayaannya sangat cukup. Banyak jendela di rumah tersebut. Tangga yang dilapisi kayu membuatnya tampak sangat artistik.
Seperti janji Gustave, mereka tidur dengan kasur terpisah, bed itu bisa ditarik dan didorong. Sehingga malam tadi Merlian menarik kasurnya terpisah satu meter dari kasur Gustave.
Pagi ini, getaran ponsel membangunkan Merlian. Beberapa panggilan tak terjawab dari nomor dosen pembimbing skripsinya. Pak Anthonius, dosen mata kuliah statistika yang menjadi pembimbing skripsi Merlian.
“Angkat teleponnya,” ujar Gustave yang merasa terganggu. Merlian yang sangat malas itu melihat ponselnya, baru saja dia akan menerima panggilan itu, namun panggilan itu sudah terhenti. Rupanya pak Anthonius mengiriminya pesan dengan memakai huruf besar.
“MERLIAN, JIKA DALAM WAKTU 1 X 24 JAM TIDAK DATANG KE KAMPUS, BAPAK AKAN LAPOR POLISI ATAS DUGAAN MELARIKAN DIRI!” tulisan itu membuat mata Merlian membesar. Dia terlonjak, bisa-bisanya dosen ini mengancam akan melaporkan ke polisi.
Merlian turun dari ranjang dengan terburu, tak sadar selimut membelit kakinya karena dia tidur dengan serampangan, dia pun terjatuh hingga bunyi gedebuk yang cukup kencang. Diiringi dengan erangan kesakitan. Gustave tak peduli, diambil bantal dan menutupi kepalanya.
“Sakit,” ringis Merlian mengusap keningnya yang mendarat indah di lantai. Dia mendengus dan melempar selimut putih itu ke lantai. Merlian mencari tasnya, dia hanya membawa beberapa potong baju yang menurutnya paling lumayan di dalam tas ransel itu. Diambillah kaos hitamnya dengan celana jeans belel yang entah warna awalnya apa? Karena sekarang tampak abu.
Dia pun membuka lemari di kamar tersebut, mencari handuk.
“Mas, handuk di mana sih?” tanya Merlian. Gustave menjulurkan tangannya menunjuk arah kamar mandi. Merlian berjalan cepat menuju kamar mandi, dia tak memperhatikan kamar mandi itu semalam, kamar mandinya sangat luas dan indah. Dia menggeleng, bukan waktunya mengagumi hal itu. Karena dia harus bertemu dengan sang dosen.
Merlian mencari gayung dan ember, tak diketemukan. Dia sangat sebal padahal dia mulas, dia tahu menggunakan shower namun dia merasa tak enak jika tak menyiram dengan gayung.
Dengan terpaksa dia membuang hajatnya, dia mencari letak shower di toilet duduk tersebut. Namun tak diketemukan.
“MAS, KRAN SHOWER UNTUK NYIRAMNYA DI MANA?” teriak Merlian. Gustave benar-benar kesal, dia membanting bantal ke kasur dan bangkit dari tidurnya.
“Di SEBELAH KANAN!” balas Gustave tak kalah keras.
“ENGGAK ADA!”
“ADA, YANG KECIL, BUKAN SELANG!!” sungut Gustave sambil berdiri, matanya masih lima watt kini, dia melihat ponselnya, waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi, memang dia tidak kerja hari ini karena ingin istirahat. Rencananya dia mau tidur sampai siang, namun bagaimana dia tidur jika ada makhluk yang berisik terus dari tadi?
Merlian melihat ke sebelah kanan, ada tombol kecil, dia menggesernya ke depan dan keluarlah air, dia terkikik geli, betapa noraknya dia mencari kran shower. Setelah membersihkan alat vitalnya, dia pun mandi, melihat deretan sabun dan shampo di kamar mandi itu membuatnya tersenyum lebar, tak ada lagi botol shampo yang diisi air seperti di kamar mandi tantenya itu.
Mengambil kesempatan keramas dengan shampo yang sangat harum. Dia pun mengeringkan tubuh dengan handuk, tapi tidak dengan rambutnya yang masih menetes air. Dia mengintip dari celah pintu, aman tidak ada Gustave, entah pria itu sudah pergi ke mana?
Dia pun keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk yang membelit tubuhnya. Handuk itu cukup pendek namun dia berusaha mengabaikannya, toh hanya dia di kamar ini.
Pintu kaca ke arah balkon terbuka namun ada gorden putih yang menutupinya, semilir angin membuat gorden itu melambai. Merlian mengambil kaosnya yang diletakkan di kasur, hingga Gustave masuk dari arah balkon, mengenakan kaos putih dan celana pendek. Dia menatap Merlian begitu pula Merlian. Mereka saling tatap. Gustave menarik napas panjang siap memuntahkan amarahnya.
“Kamu lihat! Lantainya basah!!! Keringkan dulu rambutnya sih! Astaga, lagian itu handuk pendek banget, kamu enggak tahu ada kimono handuk di toilet?” oceh Gustave. Merlian hanya menganggap angin lalu, hingga dia mengambil semua bajunya dan pakaian dalam lalu berlari dengan berjingkat ke arah kamar mandi lagi.
Sepeninggal Merlian, Gustave menelan salivanya. Sialan Merlian. Rutuknya dalam hati. Mengapa wanita itu hanya mengenakan handuk dengan tubuh basah, apa dia berniat menggoda suaminya? Gustave menarik napas panjang seraya memejamkan mata seolah bermeditasi. Setelah agak tenang, dia pun ke ruang janitor yang terletak di dekat kamarnya, mengambil alat pel. Sumpah demi apa pun dia tidak suka dengan lantai basah seperti ini karena sangat risih.
Setelah mengepel lantai itu, tampak Merlian ke luar dari kamar mandi. Rambutnya sudah disisir meski masih basah. Gustave kehabisan tenaga untuk mengomel. Dia membiarkan saja Merlian sesuka hatinya. Tenaganya sudah terkuras atas resepsi seharian kemarin itu.
“Mas enggak punya motor di sini?” tanya Merlian. Gustave yang sedang memegang gagang pel itu hanya bertolak pinggang menatap gadis yang tak memakai riasan apa-apa di wajahnya itu.
“Enggak ada, adanya di rumah mama, motor besar tapi. Bisa?”
“Yah matic enggak ada mas? Aku buru-buru nih mau ke kampus,” ucap Merlian.
“Ya sudah pesan ojek aja,” ujar Gustave.
“Enggak ada uang.”
“Bukannya mama transfer kamu uang?” selidik Gustave.
“Belum ambil di atm, ini cuma ada lima ribu,” ujar Merlian menunjukkan dompet lusuh dari tas punggung kecilnya.
Gustave menuju nakas dan mengambil dompetnya, dia mengeluarkan uang lima puluh ribu dan memberikan ke Merlian.
“Cukup kan untuk naik ojek?”
Merlian menerimanya, “untuk sarapan belum,” ujarnya tak tahu malu. Gustave mengambil dua lembar ratusan ribu.
“Nih, aku sudah enggak ada uang cash lagi, makanya aktifin uang digitalnya,” ujar Gustave heran, di jaman serba canggih ini apa Merlian tidak tahu cara mengisi saldo digital?
Merlian menerima uang itu seraya tersenyum lebar, dia merasa tak ada waktu untuk ke ATM, dosennya akan mengisi kelas satu jam lagi dan dia harus datang sebelum pak Anthonius ke kelasnya.
Merlian menyodorkan tangannya membuat Gustave yang memegang dompet mahalnya itu hanya melongo.
“Kurang uangnya?” tanya Gustave.
“Salim,” dengus Merlian. Gustave cukup terkejut namun dia mengulurkan tangannya, Merlian menjabat tangan Gustave dan mengecup punggung tangan itu.
“Ingat nasehat sebelum menikah kemarin kan? Harus izin sama suami sebelum pergi ke mana-mana, harus pamit juga, masa lupa sih?” sungut Merlian. Gustave yang sudah menarik tangannya itu hanya menggaruk alisnya. Sejujurnya bukannya dia lupa namun dia tidak sepenuhnya mendengar petuah pernikahan.
Pikirannya berkecamuk, mengetahui bahwa Diana hadir di prosesi akad nikahnya. Wanita itu masih tampak cantik mempesona meski menggandeng putra kecilnya. Hanya datang berdua dengan putranya.
“Sudah ah nanti telat,” ujar Merlian karena Gustave justru melamun.
“Sudah pesan ojek?” tanya Gustave. Merlian menyahut dengan berdehem dan berjalan pergi meninggalkan Gustave yang masih ada di kamar itu.
Merlian melewati tangga ke ruang tengah, lagi-lagi dia sangat terpukau pada rumah ini, semalam saat tiba, dia benar-benar sudah mengantuk dan lelah, dia baru menyadari betapa terang rumah ini di siang hari, sangat asri dengan banyak tumbuhan hidup. Cahaya matahari yang masuk melalui atap kaca yang berada di ruang tengah.
Dia pun melewati meja makan dengan kursi bartender, juga ruang santai yang dihiasi rumput sintetis dengan ayunan yang terbuat dari anyaman. Pasti akan sangat nyaman duduk di sana.
Merlian mengambil sepatu ketsnya, dia memakainya dan keluar dari rumah seraya memesan ojek online. Tak lama pengemudi ojek tiba dan dia langsung naik ke boncengan menuju kampusnya yang terletak cukup jauh dari rumah ini. Itu sebabnya tadi dia meminta uang lebih untuk sarapan. Maklum kampusnya berada di pinggiran ibu kota.
***