My Ice Boss – 11

1719 Words
Kenapa...? Gelap. Reyhan tidak bisa melihat apapun di depannya. Dia mengucek-ucek matanya berulang kali, tapi dia tetap tidak bisa melihat apa-apa. Dia mencoba berjalan seraya meraba-raba. Jemarinya kini menyentuh sebuah cairan yang lembek dan basah. Reyhan pun bergidik ngeri dan terus berjalan dalam kegelapan. Sesekali dia terjatuh karena menabrak benda-benda yang tidak terlihat oleh matanya. “Halo ... apakah ada orang di sini?” Reyhan berteriak keras, tapi yang terdengar hanyalah pantulan suaranya sendiri. Tak lama setelah itu dia kembali tersungkur dalam genangan air yang bau. Reyhan pun semakin ketakutan. “Tolong aku!” “Tolong aku!” Dia terus berteriak, tapi tidak ada seorang pun yang datang. “Tolooong...!” Deg. Reyhan terbangun dari mimpi buruknya. Sekujur tubuhnya kini sudah basah bermandikan peluh. Reyhan menatap sekelilingnya dengan tatapan liar, lalu kemudian memejamkan mata seraya menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Mimpi buruk itu masih saja terus mengganggunya. Sekerasa apapun usaha Reyhan untuk melupakan peristiwa kelam itu, tetap saja akan ada masa di mana dia kembali dihantui oleh mimpi buruk seperti sekarang ini. Helaan napas Reyhan pun perlahan mulai terdengar normal. Bersamaan dengan itu handphone-nya pun berdering pelan. Itu adalah panggilan dari salah satu orang suruhannya yang diberi perintah untuk mencari tahu tentang latar belakang Dinni lebih jauh lagi. “Halo ... bagaimana?” tanya Reyhan. “Saya sudah menyelidiki latar belakang dia secara rinci dan juga sudah saya satukan dalam bentuk file agar anda bisa dengan mudah mencermatinya,” jawab seseorang dibalik telepon itu. “Ya sudah ... segera kirimkan kepada saya,” ucap Reyhan yang langsung menutup panggilan itu. Tak lama berselang sebuah pesan pun masuk ke handphone Reyhan. Dia baru saja hendak membukanya, tapi niatnya itu urung saat terdengar suara ketukan pintu di ujung sana. Reyhan bangun seraya mendesah pelan dan membukakan pintu kamarnya itu. “I-ini saya bawakan buah-buahan untuk anda,” ucap Dinni seraya mengangkat nampan berisi buah-buahan di tangannya. Reyhan hanya menatap sekilas, lalu kembali melangkah menuju ranjangnya. “Letakkan saja di atas meja.” Dinni pun masuk ke dalam kamar itu dengan langkah ragu. Saat meletakkan buah itu di atas meja, dia diam-diam melirik Reyhan sejenak. Reyhan terlihat kacau sekali. Keringat masih membanjiri tubuhnya. Rambutnya yang biasa licin dan klimis kini terlihat kusut. “Apa kamu lihat-lihat, ha!” sergah Reyhan. Deg. Dinni tergelinjang kaget dan menggeleng cepat. “T-tidak ada apa-apa.” Reyhan menatap tajam. “Apa kamu benar-benar berniat untuk terus bekerja di sini sebagai pelayan?” Hening. Dinni tertunduk dengan jemari yang kini berpagutan erat. Inilah alasannya kenapa dia malas bertemu dengan Reyhan. Karena dia selalu saja mengeluarkan pertanyaan yang sama. Dinni pun memutuskan untuk bungkam dan tidak menjawab. Dia sudah penat menjelaskan alasannya. Dia juga sudah berjanji akan bekerja dengan baik. Namun semua itu sepertinya tidak pernah cukup bagi Reyhan. Dia selalu saja terkesan meragukan tekad Dinni. Apa dia benar-benar ingin Dinni berhenti dari pekerjaannya? Atau ada maksud lain dari semua sikapnya itu? entahlah. Dinni sama sekali tidak bisa menerka-nerka kenapa Reyhan selalu bersikap aneh seperti itu kepadanya. “Sudahlah ... keluar sana! saya mau mandi. Nanti tolong buatkan saya segelas kopi dan antarkan ke sini lagi,” ucap Reyhan kemudian. Dinni hanya mengangguk dan segera bergegas pergi dari kamar majikannya itu dengan tergopoh-gopoh. _ Reyhan menghela napas gusar seraya berpikir sejenak. Dia juga sudah membaca file tentang Dinni yang tadi dikirimkan oleh orang suruhannya itu. Reyhan memandang keluar jendela sambil menggenggam sebotol bir. Tetesan air masih menitik dari rambutnya. Dia baru saja selesai mandi dan hanya mengenakan  handuk yang melilit di pinggangnya. Otot-otot tubuhnya kini terpampang jelas. Reyhan membiarkan angin malam mengelus wajahnya. Dia tampak sedang memikirkan sesuatu. Sekelebat kenangan masa lalu pun kini kembali terlintas di ingatannya. Sebuah memori yang mungkin akan tetap terkenang selama-lamanya. Reyhan kembali teringat akan peristiwa itu. Hari di mana dia kabur dari rumah setelah sang ayah memutuskan untuk menikah lagi dengan ibu dari sahabatnya sendiri. Saat itu Reyhan masih duduk di kelas 2 SMP. Dia pergi tanpa tujuan, hingga akhirnya tersesat dan kelaparan. Setelah berhujan-hujan semalaman, akhirnya Reyhan beristirahat di sebuah rumah tua yang kosong. Di sana kondisinya semakin memburuk. Reyhan jatuh sakit dan bahkan tidak mampu untuk sekedar bangun dari tidurnya. Hingga kemudian, seorang gadis berbadan gemuk datang ke sana. Gadis itu pergi memberi makan kucing-kucing liar yang memang berkumpul di rumah itu. Kedatangannya pun menyelamatkan nyawa Reyhan. Gadis itu terus datang membawa makanan, obat-obatan dan juga selimut untuk Reyhan. Dia tidak ingat lagi berapa hari lamanya gadis itu terus berkunjung untuk merawatnya. Sampai akhirnya dia sembuh dan menunggu gadis itu untuk berbicara dengannya. Namun, sayangnya gadis itu tidak pernah kembali lagi. Semua hal tentang gadis itu sudah hilang diingatannya sampai pada saat Reyhan mencari informasi tentang Dinni. Karena semua usahanya untuk membuat Dinni menyerah gagal, Reyhan memerintahkan seseorang untuk menyelidiki latar belakang Dinni guna mencari tahu kelemahannya. Reyhan pun menyelidiki kehidupan Dinni sampai ke akar-akarnya. Begitu melihat potret Dinni sewaktu remaja, Reyhan pun terkejut. Ternyata Dinni adalah gadis yang sudah menyelamatkan hidupnya di masa lalu. “Bagaimana bisa aku bertemu lagi dengan dia dengan cara seperti ini?” bisik Reyhan pelan. Segala kenangan tentang masa itu pun kembali terkenang. Reyhan juga kembali teringat bagaimana pertemuannya dengan Dinni untuk pertama kali. Saat itu sebenarnya Reyhan tertawa melihat aksi Dinni yang mengamuk di kantornya. Saat itu sebenarnya Reyhan menikmati kekacauan itu dan menganggap kejadian itu adalah sebuah hal yang lucu. Diam-diam Reyhan menyaksikan keributan itu dari atas tangga. Dia bahkan terkejut saat Dinni dengan berani melabrak semua orang yang mencoba mencegahnya. Kalaulah tidak ada salah satu karyawan yang datang mengadu padanya waktu itu, Reyhan tidak akan turun dan melerai keributan itu. _ Dinni yang sedang asyik menggibah tiba-tiba melotot saat dia ingat bahwa Reyhan memintanya untuk membuatkan kopi. Dinni seketika panik dan meletakkan jus tomat buatan Asti yang tadi sedang dinikmatinya. “Ada apa, Kak?” tanya Asti. “A-aku lupa buat bikinin kopi,” jawab Dinni seraya mengambil gelas kosong dengan tergesa-gesa. Setelah selesai menyeduh kopi itu, Dinni bergegas menuju kamar Reyhan sambil membawa segelas kopi ditangannya. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, dia langsung menyelonong masuk ke sana. “Ini minu—” “AAAA...!!!” Reyhan langsung memekik histeris. Dinni pun sama terkejutnya. Reyhan segera menutupi tubuhnya dengan telapak tangan, sementara Dinni masih memandangnya dengan mata melotot. Keindahan di depan matanya itu bukanlah suatu hal yang patut di sia-siakan. Dinni pun tertegun dengan mata yang masih tertuju pada lekuk tubuh Reyhan yang indah di matanya. “Keluar sana!” bentak Reyhan. “M-maafkan saya.” Dinni beringsut mundur dan segera keluar dari kamar itu. Reyhan benar-benar terkejut dan lekas memasang pakaiannya. Tubuhnya yang tadi segar kini terasa gerah. Reyhan menatap ke pintu itu dengan mata tajam. Setelah selesai berpakaian, dia pun membuka pintu itu dan langsung mendapati Dinni yang sedang melamun sambil tersenyum-senyum sendiri. Reyhan bergidik ngeri. “K-kamu ngapain, ha?” Dinni tersadar dari lamunannya. “S-saya cuma....” Reyhan menggeleng pelan. “Kamu pasti berpikiran jorok, iya kan?” “Nggak lah... mana mungkin saya berani.” Dinni segera berkilah. Reyhan masih belum puas dengan jawaban itu. “Terus kenapa kamu senyum-senyum seperti itu?” “S-siapa juga yang senyum-senyum,” bantah Dinni. “Wah... kamu bener-bener berbahaya. Apa jangan-jangan selama ini kamu sering membayangkan saya untuk berfantasi?” tanya Reyhan. Dinni termangu. Untuk sesaat otak lemotnya tidak bisa mencerna apa maksud ucapan Reyhan. Setelah lama kemudian, barulah dia melotot dan langsung menggeleng cepat. “Enak aja... saya bukan tipikal manusia m***m seperti itu. Lagipula anda itu bukan tipe saya. Jadi nggak mungkin saya melakukan hal itu,” jawab Dinni. Reyhan sedikit syok mendengar jawaban itu. “A-apa kamu bilang? saya itu bukan tipe kamu?” Dinni mengangguk mengiyakan. “Asal kamu tahu, ya... putri-putri konglomerat, artis-artis papan atas, sampai miss Indonesia sekali pun bisa saya dapatkan.” Reyhan yang merasa dilecehkan mulai angkat bicara. Dinni menatap heran. “Tapi saya kan, bukan mereka.” Reyhan menjadi mati kutu dan tidak bisa bersuara lagi. Wajahnya kini terasa panas. Setelah menghela napas panjang, dia menatap Dinni dengan tatapan mautnya. Reyhan terus melangkah mendekati Dinni yang kini terus beringsut mundur. “A-ada apa?” Dinni mulai merasa risih. Reyhan tidak menjawab dan terus maju. Dinni pun terus melangkah mundur hingga punggungnya membentur tembok. Dinni menelan ludah saat menatap Reyhan yang kini sangat dekat dengannya. Gadis itu bahkan tersentak saat Reyhan menghempaskan telapak tangan ke dinding di belakangnya. “K-kenapa anda seperti ini?” tanya Dinni dengan suara bergetar. Reyhan tidak menjawab dan masih menyiksa Dinni dengan pandangan mautnya. Jarak di antara mereka begitu dekat. Dinni bahkan bisa mendengarkan suara helaan napas pria itu. Dinni pun mengangkat wajahnya menatap mata itu. Deg. Tiba-tiba ada perasaan aneh yang mulai menjalar di hatinya. Dinni ingin berpaling dari mata itu, tetapi tubuhnya tidak bergerak melakukan apa yang diinginkannya. Reyhan memajukan wajahnya lebih dekat lagi. Dinni pun sontak langsung menahan napasnya. Kali ini Reyhan tersenyum lembut, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Dinni. “Apa kamu yakin saya ini bukan tipe kamu...?” _ Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 malam. Dinni baru saja tiba di rumah Ishaya setelah perjalanan yang cukup melelahkan. Gojek yang ditumpanginya mengalami bocor ban dan itu pun dua kali berturut-turut dalam jeda waktu yang singkat. Dinni tidak sabar ingin menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Begitu masuk ke dalam kamar, Ishaya pun langsung menarik tangannya dengan raut wajah khawatir. “K-kamu kenapa?” tanya Dinni. “Juan, Din... Juan tadi ke sini,” ucap Ishaya. Dinni terkejut. “Ngapain dia ke sini?” “Dia itu tadi lama sekali nungguin kamu di sini. Katanya ada hal penting yang harus dikatakannya sebelum pergi,” jawab Ishaya. “P-pergi...?” “Iya. Dia tadi ngebawa koper gitu, Din....” Dinni terkesiap. Dia pun mencoba menghubungi Juan. Bola mata Dinni bergerak-gerak gelisah sambil terus memencet layar handphone-nya. Dinni mencoba menelepon Juan, tapi nomor teleponnya tidak bisa dihubungi lagi. “Kamu mau ke mana, Din...?” hardik Ishaya. Tanpa pikir panjang Dinni berlari keluar. Dia berdiri pinggir di jalan raya sambil menatap panik. Tidak ada angkot ataupun kendaraan umum yang lewat. Dia mengeluarkan handphone-nya untuk memesan transportasi online. Tapi, baru saja dia hendak memesannya, handphone-nya langsung mati karena batrainya habis. “Sial...! kenapa harus mati segala, sih?” umpatnya. Dinni memejamkan matanya sejenak. Setelah menghela napas panjang, dia pun segera berlari menembus pekatnya malam. _ “D-Dinni...?” seorang pria berambut gondrong terkejut melihat Dinni yang muncul dengan napas sesak. “J-Ju... J-juan, mana?” tanya Dinni dengan suara lirih. Pemuda itu menatap bingung. “Apa dia nggak bilang sama kamu? Juan akhirnya mutusin buat ngambil kesempatan magang di Australia.” “A-apa?” Dinni syok setengah mati. “T-tapi bukannya....” “Iya, awalnya dia emang nggak tertarik. Tetapi, tiba-tiba aja tadi dia berubah pikiran. Juan udah berangkat. Dia juga udah ngebawa semua barang-barangnya dari kost ini,” jelas pemuda itu. Kabar itu bagai sambaran petir di siang bolong. Tadi sore mereka masih bertemu. Tadi sore mereka masih sempat memadu kasih. Tadi sore mereka masih sempat bertengkar. Tapi, sekarang tiba-tiba Juan pergi jauh tanpa sebuah penjelasan. “Kenapa...?” “Kenapa...?” “Kenapa...?” Dinni menatap nanar. Dia bahkan tidak menyadari air matanya yang sudah tumpah. Sosok pemuda teman satu kost-an Juan itu masih berbicara, tapi Dinni tidak bisa lagi mendengar suaranya. Telinganya mendadak tuli. Pandangannya pun mulai menggelap. Sedetik kemudian Dinni terhuyung, lalu terjatuh bersama air matanya yang masih mengalir pelan. _ Bersambung ....    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD