My Ice Boss – 08

1677 Words
Seperti di Neraka Ancaman Dinni terhadap Reyhan terbukti ampuh. Sang pangeran berhati batu itu menepati janjinya untuk tidak memecat Dinni. Akhinya Dinni pun bisa melanjutkan pekerjaannya. Jikalau tidak ada insiden cicak itu, mungkin semua yang terjadi akan menjadi sebuah sejarah baru dalam kehidupan Dinni. Akhirnya dia mendapatkan pekerjaan dan dipecat pada saat hari pertamanya. Itu akan lebih menyakitkan lagi dari pada gugur saat melamar pekerjaan. Namun meskipun Reyhan menepati janjinya, tidak akan serta merta membuat posisi Dinni aman. Tatapan   Mbak Rieta melirik ke arah Reyhan perlahan sambil menyerahkan salah satu dokumen yang harus ditandatanganinya. “B-bukannya kamu akan memecat gadis itu?” Reyhan menghela napas, lalu melayangkan pandangannya pada Dinni yang sedang sibuk membersihkan ruang kerjanya. Kalau saja tidak gara-gara cicak sialan itu, dia sudah menyingkirkan gadis pembawa rusuh itu dari depan matanya. Geraham Reyhan kini mengatup kuat. Bagian belakang leher Reyhan terasa berat setaip kali teringat peristiwa memalukan itu. Reyhan meringis seraya menepuk bagian belakang lehernya sejenak. Setelah itu dia kembali menatap sinis ke arah Dinni. “Tenang aja, saya bakalan bikin dia nggak betah kerja di sini,” ucap Reyhan pelan. Mbak Rieta menelan ludah, sepertinya sesuatu yang buruk akan segera terjadi. “Ya sudah, saya pamit dulu.” Mbak Rieta pun pergi meninggalkan Dinni dengan wajah khawatir. Saat ini Dinni sedang sibuk membersihkan ruangan kerja Reyhan yang berada di kediaman keluarga Ardhana. Reyhan baru saja menyuruhnya untuk membersihkan semua debu dari ruangan itu. Dengan semangat yang menggebu-gebu, Dinni pun sibuk menyapu lantai dan mengelap setiap sudut ruangan itu hingga sekujur badannya kini bermandikan peluh. Sementara itu sosok Reyhan masih saja menatapnya seraya berpikit keras. Reyhan sedang memikirkan bagaimana cara menyingkirkan Dinni dari pandangannya, dari rumahn ini dan juga dari kehidupannya. Selama hidup di dunia ini, Reyhan belum pernah mendapatkan penghinaan seperti itu. Dia bahkan pernah bermasalah dengan para pengusaha besar seantaro negeri. Mereka bertarung melalui jalur hukum dan bisa dipastikan Reyhan selalu memenangkan semua perkara itu. Reyhan tidak pernah kalah. Reyhan juga tidak pernah mengalah dalam hidupnya, tapi gadis gendut itu sudah mencoreng reputasi Reyhan. Dinni sudah membuat Reyhan merasa kehilangan harga dirinya. Dinni menatap seluruh ruangan itu dengan lelehen peluh yang masih mengucur deras. Dia kembali memeriksa semuanya. Ruangan itu kini sudah bersih dan rapi. Dinni memejamkan matanya sejenak seraya mengatur napasnya yang masih sesak. Bahkan pekerjaan ini terasa lebih berat daripada melakukan olahraga. Pekerjaan ini sepertinya juga ampuh membakar kalori dan bisa membuat lemak membandel di badan Dinni rontok seketika. Setelah menyelesaikan semua pekerjaan itu, Dinni pun menghadap Reyhan untuk melaporkan hasil pekerjaannya. “Saya sudah membersihkan semua ruangan ini,” ucap Dinni sembari menyeka peluh di keningnya. Reyhan menutup hidung, kemudian menyuruh Dinni menjauh dengan mengibas-ngibaskan tangannya. Dia memasang ekspresi jijik karena aroma tubuh Dinni yang bau keringat. Dinni pun melangkah mundur dengan perasaan malu. Dia segera menyembunyikan bagian ketiaknya yang kini telah basah. “M-maafkan saya.” Dinni menundukkan wajahnya. Reyhan berjalan pelan mengitari ruangan itu sambil mengecek setiap sudut ruangan. Sesekali dia menempelkan telunjuknya untuk melihat apakah masih ada debu di sana. Reyhan pun menatap gusar, semua benar-benar sudah bersih dan itu artinya dia tidak punya kesempatan untuk menyiksa gadis yang sudah mempermalukannya itu. Sementara itu Dinni masih menunggu dengan gelisah. Dia bediri tegap dengan tangan berpagutan erat. Dia juga terus mengikuti gerak gerik Reyhan dengan sudut matanya dan setiap Reyhan menempelkan jari telunjuknya, Dinni pun juga otomatis menelan ludah dan merasa cemas. Langkah Reyhan terhenti di depan sebuah rak buku raksasa yang tingginya mencapai langit-langit. Bahkan untuk mengambil buku dibagian atas harus menggunakan tangga yang sudah disediakan di sana. Reyhan tersenyum tipis, kemudian menatap Dinni dengan gaya angkuhnya. “Sepertinya kamu harus membersihkan debu dari buku ini satu persatu,” ucapnya santai. “A-apa? S-satu persatu?” Dinni terbelalak menatap deretan buku yang tersusun memenuhi rak besar itu. Reyhan menatap sinis. “Saya juga mau susunannya di tata ulang,” tambahnya. “S-semua buku-buku ini letaknya di tata ulang?”   “Kenapa? kamu nggak mau?” Reyhan menatap tajam. Dinni terdiam. Sementara, Reyhan tersenyum penuh kemenangan. Dia yakin Dinni akan menyerah dan tidak akan menyanggupi perintahnya itu. Akhirnya dia mempunyai cara untuk membuat Dinni tidak betah bekerja di sana. Tapi kemudian, Dinni menatapnya lekat-lekat. Ada binar berapi-api yang terpancar dari kedua mata itu. “Baiklah... saya akan mengerjakannya.” Reyhan hanya menatap nanar. Senyum di wajahnya kini perlahan surut. Ternyata menyingkirkan Dinni tidaklah semudah yang dia kira. Dengan langkah kesal Reyhan pun keluar dari ruangan itu. Setiba di luar dia berkacak pinggang dan menatap tajam. “Lihat saja... pokoknya aku akan membuat perempuan sialan itu menderita....” _ Dinni menghempaskan tubuhnya ke ranjang dengan napas yang masih tersengal-sengal. Seluruh badannya kini terasa remuk. Padahal ini baru hari pertamanya bekerja di rumah itu. Dinni menghabiskan waktu tujuh jam untuk menyeka dan menata ulang semua buku-buku itu. Pinggulnya kini terasa nyeri karena Dinni juga sempat terjatuh dari tangga yang tidak kuat menopang badannya. Penderitaan yang dilaluinya hari ini tidak sampai disitu saja. Setelah itu Reyhan juga menyuruhnya untuk menguras dan membersihkan kolam renang pribadinya. Meski berukuran kecil, tapi tetap saja hal itu sangat melelahkan. Bahkan menjelang Dinni pulang ke rumah, Reyhan masih sempat-sempatnya menyuruh Dinni untuk pergi berbelanja keperluannya. “K-kamu kenapa jadi kayak gini, sih Din?” tanya Ishaya dengan wajah khawatir. “Dasar pria b******k,” umpat Dinni. “Siapa?” tanya Ishaya. “My Big Boss,” jawab Dinni. Dinni mendesah panjang. Dia bahkan tidak punya tenaga lagi untuk sekedar mengganti pakaiannya. Matanya kini mulai sayu dan menutup pelan. Dinni ingin mengistirahatkan tubuhnya. Tapi, tiba-tiba saja dia tersentak kaget karena suara handphone­-nya yang memekik keras. Dinni lekas mengambil handphone­-nya dan terkejut saat melihat nama yang tertera di layar itu. “R-Reyhan? Ngapain lagi sih, dia?” Dinni pun segera mengangkat panggilan itu dengan perasaan was-was. “H-halo....” “Lama amat sih, ngangkatnya!” Dinni menjauhkan handphone itu dari telinganya. bentakan Reyhan membuat kupingnya terasa sakit. “M-maaf... a-ada apa, ya?” tanya Dinni terbata. “Saya mau kamu membelikan saya Mie Aceh di tempat favorit saya dan mengantarkannya ke rumah,” jawab Reyhan. Dinni melotot tak percaya. “T-tapi bukannya jam kerja saya sudah berakhir?” Reyhan tertawa pelan. “Hahaha. Apa kamu bilang? pekerjaan kamu itu purna waktu. Jadi kamu harus siap kapan aja.” Dinni berusaha menahan diri. Helaan napasnya kini mulai sesak. Handphone di tangannya bisa remuk jika Dinni tidak bisa mengontrol emosinya. “Kok, malah diem, sih!” bentak Reyhan. “I-iya. Saya akan segera membeli dan mengan—” Dinni belum selesai berbicara, tapi Reyhan sudah menutup panggilan itu. Dinni pun mengatupkan bibirnya rapat-rapat untuk menahan diri agar tidak berkata kotor. Dia benar-benar tidak percaya ada mahluk super menyebalkan seperti Reyhan. Tidak lama kemudian Handphone Dinni kembali berbunyi dan itu adalah sebuah pesan dari bosnya itu. Alamatnya di Jl. Mangunkusworo dekat kantor pos. PS: Kedainya tutup jam 10 malam.  “A-apa...!?” Dinni memekik histeris setelah membaca pesan itu. Dia meringis saat melihat jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 10 kurang 15 menit. Dinni menjadi panik. Suhu tubuhnya kini kembali naik. Jarak antara rumah Ishaya dengan kedai itu lumayan jauh. Belum lagi nanti perjalanan dari kedao ke kediaman Reyhan. Gila. Reyhan benar-benar tidak punya hati sama sekali. Dinni pun sadar bahwa Reyhan pasti sengaja melakukan itu. Dia pasti merasa dendam. Dia pasti tidak terima dengan semua yang sudah terjadi. tatapan mata Reyhan saja bahkan sudah menyiratkan segalanya. Dinni tahu bahwa Sang Bosnya itu sangat membencinya. Namun Dinni juga tidak akan menyerah dan kalah. Dia juga ingin memperjuangan kehidupannya. Dia bertekad untuk bertahan bekerja di sana.   “Apa sih, maunya manusia b******k itu?” umpat Dinni. “Apa lagi, Din?” tanya Ishaya. Dinni menatap Ishaya dengan wajah kuyu. “Kayaknya dia sengaja ingin membuat aku tidak betah bekerja di sana.” “Memangnya dia ngapain sih? ini baru hari pertama kamu bekerja lho, Din.” Ishaya menatap heran. “Makanya!” Dinni mengepalkan kedua tangan gempalnya dengan geram. “Emangnya dia ngapain?” tanya Ishaya lagi. “Dia nyuruh aku buat beli makanan yang 15 menit lagi kedainya bakalan tutup. Gila nggak sih?” Dinni memjit pelipisnya yang terasa berdenyut. “Terus kamu bakalan ngelakuin perintahnya itu?” Ishaya juga menatap prihatin atas kemalangan yang menimpa Dinni. Dinni terdiam. Dia merasa sangat jengkel dan marah, tapi kemudian dia menyambar jaket dan kunci motor milik Ishaya. “Is... aku pakai motornya sebentar, ya.” _ Dinni melepas helm-nya dengan tatapan kecewa. Kedai itu kini sudah ditutup. Padahal dia sudah super ngebut menuju ke sana. Bahkan tadi dia sempat dimaki-maki oleh pengemudi mobil karena menyalipn tak beraturan. Dinni menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Dari awal dia sudah menyadari bahwa hal itu tidak mungkin. Tapi, dengan bodohnya dia tetap saja melakukannya. Handphone di sakunya kembali berdering. Lagi-lagi itu pesan dari Reyhan. Kalau kamu nggak bisa ngedapetin Mie Aceh itu... kamu saya pecat. Dinni menatap layar handphone-nya dengan sorot mata nanar. Bagaimana bisa ada manusia sebangsat ini? Kedua bola matanya kini terasa panas. Tak lama kemudian bulir-bulir bening mengalir pelan di pipinya. Dinni memejamkan matanya sejenak sembari membiarkan angin malam menyapu wajahnya. Dia benar-benar lelah dan ingin menyerah saat ini. Tapi kemudian dia kembali teringat pada ibunya. Dia juga teringat pada impian dan keinginanya. Dinni tengah berdebat dengan batinnya sendiri. Sebagian dirinya ingin berhenti dari pekerjaan yang gila itu, tapi sebagian lainnya mengingatkan Dinni akan semua yang sudah dilaluinya. Fakta bahwa mencari pekerjaan bagi seorang seperti dirinya bukanlah sesuatu yang mudah. Dinni menengadahkan kepalanya menatap langit. “Apa yang harus aku lakukan sekarang?” bisiknya lirih. Sementara itu di ujung sana, ada seseorang yang diam-diam memerhatikan Dinni. Sosok itu memantau gerak-gerik Dinni dari dalam mobilnya sambil tersenyum tipis. Sosok pria yang memakai topi hitam dan masker yang menutupi wajahnya itu adalah Reyhan. Dia  merasa puas karena akhirnya bisa menyingkirkan Dinni dengan sangat mudah. Matanya kini beralih menatap bungkusan Mie Aceh yang tadi sudah di belinya. “Perfect,” ucap Reyhan pelan. Reyhan kembali menatap Dinni yang masih terduduk di depan kedai itu. Tapi, kemudian senyum di wajah Reyhan memudar. Dia menatap heran melihat situasi di luar sana. Reyhan melihat Dinni sedang menggedor-gedor pintu kedai itu sambil terus berteriak keras. “Ngapain sih, dia?” Reyhan mengernyitkan dahinya. Tak lama kemudian terlihat pemilik kedai itu keluar dan memarahi Dinni yang terus saja berteriak-teriak. Dinni dan pemilik kedai itu terlihat sedang berbicara, tetapi Reyhan tidak bisa mendengarkan apa yang sedang mereka bicarakan. Reyhan tersentak ketika melihat Dinni tiba-tiba saja bersujud di kaki pemilik kedai itu. “Apa-apaan dia itu?” tanya Reyhan. Reyhan menelan ludah. Dia masih bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Tidak lama kemudian, Dinni dan pemilik kedai itu masuk ke dalam. Setelah cukup lama, Dinni pun keluar dengan membawa kantong berisi Mie Aceh di tangannya. “A-apa...!?” Reyhan tercekat. Dia masih tidak memercayai penglihatannya. Dinni sudah pergi memacu sepeda motornya, sementara Reyhan masih di sana merenungi apa yang baru saja dilihatnya. _ Bersambung...  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD