Amplop Merah
"SELAMAT untuk pertunangannya, ya! Semoga pernikahan kalian berjalan lancar."
"Semoga langgeng sampai maut memisahkan."
"Ah, bahkan maut tidak tega memisahkan mereka, Sayang. Kau ini bagaimana?"
Aku tak henti-hentinya tersenyum menanggapi ucapan selamat dari tamu undangan yang hadir. Rata-rata yang memberi ucapan barusan adalah rekan kerja Hugo. Jadi, di saat pria yang kucintai berbasa-basi dengan rekan-rekannya itu, aku hanya diam dengan sesekali tersenyum atau tertawa kecil. Padahal, aku tidak paham dengan perbincangan mereka.
Di acara pertunangan yang istimewa ini, aku merasa bahagia. Seharusnya. Catat, seharusnya. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Aku merasa lelah karena harus bertemu banyak orang yang begitu asing. Sedikit sekali yang aku kenal. Keadaan ini membuat energiku terkuras habis efek dari konsep acara yang tak sesuai harapan. Harapanku tentunya.
Pada saat persiapan acara kemarin, Hugo menawarkan konsep seperti apa yang aku inginkan untuk acara kami nanti, baik pertunangan maupun pernikahan. Aku mengusulkan agar kedua acara istimewa tersebut hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat kami saja agar lebih privasi dan bermakna. Namun, semasuk akal apa pun usulanku, Hugo tetap memiliki pendapat lain yang bertentangan denganku. Baginya, banyak orang yang harus ia undang, terutama rekan-rekan kerjanya karena mereka sudah seperti keluarga sehingga tak enak hati jika tidak mengundang. Katanya, "Berbagi kebahagiaan itu baik." Aku hanya bisa tersenyum dan mengalah. Lagipula, hampir 80% lebih yang mengurus acara pertunangan serta pernikahan kami adalah Hugo karena relasi pria itu cukup luas. Jadi, tak salah jika Hugo yang paling mendominasi. Sisa 20% adalah hakku untuk membantu memberi usulan dan ide. Ya ... walaupun tidak semuanya pasti diterima Hugo.
"Vanya, apa kau baik-baik saja?"
Aku sedikit tersentak merasakan sentuhan hangat di bagian pipi. Pandanganku kini terpusat pada Hugo yang tengah menatapku dengan raut ... khawatir?
"Kau tampak pucat," tambah Hugo.
"O-oh, aku ... baik-baik saja, Hugo."
"Kau pasti lelah, ya? Tunggu sebentar di sini, biar kuambilkan air putih untukmu." Hugo tersenyum sambil mengelus pipiku.
"Tidak perlu, Hugo," cegahku sambil menahan tangannya. Akan tetapi, Hugo tetap melangkah melewatiku. Aku hanya bisa mengembuskan, lalu tersenyum tipis. Sifat Hugo yang seperti ini memang membuatku merasa tersentuh. Hugo adalah pria yang peduli dan perhatian. Ia peka ketika aku tidak baik-baik saja. Rasanya begitu hangat.
Kepergian Hugo membuatku mau tidak mau harus meladeni tamu undangan sendirian. Berbagai ucapan yang mereka berikan aku tanggapi dengan senyuman serta ucapan yang baik pula.
"Apakah lama?" Hugo kembali dan memberikanku sebotol air mineral.
Aku tersenyum dan menggeleng pelan.
"Duduk saja jika kau lelah."
"Tapi—"
"Vanya," tegas Hugo dengan suara pelan.
Aku pun menurut, duduk dan mulai meminum air mineral pemberian Hugo. Rasanya sedikit membuatku tenang. Rasa lelahku pun juga ikut berkurang.
"Vanya, pemilik vendor yang mengurus acara pertunangan dan pernikahan kita ingin bertemu setelah ini. Ada beberapa hal yang ingin dia bahas katanya."
"Di sini?"
"Iya. Toh, dia juga menjadi tamu undangan acara kita hari ini."
Aku mengangguk pelan, menyanggupi.
"Oh,itu dia orangnya!"
Hugo melambaikan tangan pada seorang pria bersetelan jas hitam yang tengah berjalan ke arah kami. Aku sedikit memicingkan mata agar dapat melihat dengan jelas rupa pemilik vendor acara karena aku sama sekali belum pernah bertemu dengannya. Hugo pun sama karena selama ini yang kami temui dan hubungi adalah bawahannya. Katanya, si pemilik vendor sedang ada keperluan di luar kota.
"Tuan Hugo? Wah, selamat untuk pertunangannya, ya!"
Hugo tertawa dengan berwibawa. Ia menyambut jabat tangan dari pemilik vendor acara. "Terima kasih banyak, Tuan Jovan. Ya ... ini juga berkat Anda, kalau tidak acara kami tentu tidak akan berlangsung sebagus ini."
"Ah, Anda terlalu berlebihan, Tuan." Pemilik vendor yang kudengar namanya adalah Jovan beralih menatapku. "Oh, jadi wanita cantik ini yang sukses menawan hatimu?" pujinya dengan senyum lebar.
Aku tersenyum seraya mengangguk kecil.
"Begitulah," balas Hugo. Pria itu menarik pelan pinggangku dari samping, merapatkan posisi kami agar terlihat mesra. Terbukti, aku merasakan sesuatu yang menggelitik dalam diri. Tak ditampik kalau aku tersipu oleh perlakuan Hugo tersebut.
Jovan tersenyum dengan pandangan yang mengarah tangan Hugo yang memeluk pinggangku. Sepertinya, pria itu agak terkejut melihat kemesraan pasangan yang tersaji di depan mata. Mungkin.
"Semoga hubungan kalian langgeng."
"Terima kasih," ucapku dan Hugo bersamaan.
Jovan berdeham singkat. Pria itu memasukkan kedua tangannya ke saku celana. "Sebelumnya, aku minta maaf harus menyampaikan ini kepada kalian." Raut muka Jovan yang semula cerah, kini berubah lebih serius.
Aku melirik Hugo. Raut pria itu juga terlihat lebih serius dari sebelumnya. Jantungku berdegup kencang, mulai berpikir macam-macam. Semengecewakan apa memang kabar yang akan Jovan sampaikan?
"Acara kalian ...." Jovan menatap kami bergantian.
Samar, aku merasakan rangkulan Hugo sedikit mengendur. Pria itu sepertinya tegang oleh kabar dari Jovan. Tak ingin membiarkannya seperti itu, aku segera meraih tangan Hugo dan menggenggamnya erat. Hugo menatapku. Aku tersenyum tipis mengisyaratkan kalau semuanya baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
"Astaga! Kenapa kalian tampak begitu serius, ha?" Jovan tiba-tiba tertawa keras. "Aku hanya ingin mengabarkan kalau acara kalian pasti terlaksana sesuai konsep awal seperti yang kalian harapkan," jelasnya yang diakhiri tawa lagi.
Refleks, aku dan Hugo mengembuskan napas lega. Kami ikut tertawa meskipun agak canggung. Pria bernama Jovan ini ternyata jahil, suka mengerjai orang tak terkecuali yang baru dikenalnya.
"Hei! Kau hampir saja membuatku henti napas. Astaga!" Hugo meninju pelan bahu Jovan.
Jovan masih asyik tertawa. "Itulah kenapa, jangan terlalu serius. Rileks saja. Apa yang diurus olehku, pasti akan terlaksana dengan baik. Percayalah."
"Jadi, acara kami tidak akan ada perubahan apa pun, 'kan?" Aku bertanya, memastikan kembali kabar dari Jovan.
Jovan tersenyum penuh arti padaku. Tatapannya pun entah mengapa ... terkesan begitu lekat. "Tentu. Jika kau yakin," katanya.
Aku mengangguk kikuk dan segera mengalihkan pandang ke arah Hugo. Entahlah, tatapan Jovan tadi begitu misterius dan menciptakan denyutan kecil di dadaku.
"Kalau begitu, maaf, aku tidak bisa lama-lama karena ada urusan lain. Tapi, sebelumnya aku ingin ke toilet dulu. Ke arah sana, 'kan?"
"Iya, lewat backstage."
Jovan mengangguk. Ia berlalu dan meninggalkan kami. Saat melewatiku, aku bertemu tatap dengan Jovan. Pria itu tersenyum kembali padaku. Aku hanya menanggapi dengan anggukan canggung.
Aku dan Hugo kembali fokus pada rangkaian acara hari ini. Satu jam berlalu, acara pun selesai. Akhirnya, aku dan Hugo resmi bertunangan dan tinggal dua minggu lagi, kami akan melangkah ke jenjang terakhir, yaitu pernikahan. Rasanya tak sabar, tetapi juga sedikit takut. Pasalnya, pernikahan bukan hanya sekadar status melainkan tanggung jawab yang harus diemban baik sebagai pasangan maupun saat menjadi orang tua dalam keluarga nanti.
Saat memasukkan ponsel ke tas, aku menemukan sebuah amplop merah. Aku ambil amplop tersebut dengan heran. Seingatku, hari ini bukan hari raya Imlek, tetapi kenapa ada amplop merah di tasku?
"Ayo, Vanya. Mereka sudah menunggu di restoran."
Or
Aku menoleh dan mendapati Hugo berdiri di belakangku. Setelah ini, rencananya kami akan makan bersama dengan keluarga sebagai perayaan atas pertunangan kami. Tepat setelah acara pertunangan.
"Amplop apa itu?"
"Aku ... tidak tau. Tiba-tiba saja ada di tas," jawabku.
"Buang saja, sepertinya juga tidak penting. Ayo, jangan lama-lama!"
Aku mengangguk.
Hugo pergi terlebih dahulu sementara aku masih di tempat. Sebagai seorang yang suka mencari tahu, perintah dari Hugo tidak aku turuti begitu saja. Aku membuka amplop merah misterius tadi. Ternyata isinya sebuah kartu. Di bagian depan, tertera nomor telepon.
"Nomor telepon siapa ini?" gumamku dengan kening berkerut. Aku kemudian membalik kartu tersebut dan membaca kalimat yang tertulis di sana. "Hubungi nomor di balik ini jika kau butuh teman. Kau kesepian. Jangan sangkal itu."
BERSAMBUNG ....
• • • • •
Follow me on i********: @pe.naka and also this account too @penaka