Hari berjalan begitu cepat. Atau setidaknya, itulah yang dirasakan Rendra. Ia masih ingat dengan rasa kopi yang dicicipinya tadi pagi, dan seperti sihir, matahari sudah terbenam. Rendra memutuskan untuk beristirahat sejenak menikmati pemandangan malam Kota Bandung, setelah sepanjang hari berkutat di kafenya.
Dengan segelas kertas berisi kopi hangat di tangannya, Rendra duduk di salah satu kursi panjang yang tersedia di halaman kafe. Rendra memilih duduk di kursi yang letaknya hampir berada di belakang kafe karena ingin menikmati waktu sendiri.
Mungkin karena Bandung malam ini terasa lebih dingin dari biasanya, selain Rendra, tidak banyak pengunjung kafe yang duduk di halaman. Hanya ada dua lelaki yang asyik bercengkerama sembari merokok.
“Haruskah aku menambahkan meja di sini? Tetapi aku ingin kafeku memiliki halaman terbuka dan berkesan luas.” gumam Rendra. Tanpa disadarinya, ia sudah larut tenggelam memikirkan cara untuk meningkatkan kualitas kafenya.
Usai menyesap kopi untuk kesekian kalinya, tiba-tiba seseorang datang dan menghalangi Rendra yang sedang asyik menikmati pemandangan kota di depannya. Rendra menengadahkan kepalanya dan melihat Diana, aktris yang pernah beradu akting dengan Rendra, tersenyum manis kepadanya.
Dengan dress sweater berwarna putih yang turun hingga ke paha, dipadukan dengan coat wool berwarna putih bermotif kotak-kota biru yang panjangnya hingga ke lutut, Diana terlihat cantik dan imut.
“Boleh aku duduk di sini?” tanya Diana seraya menunjuk sisi kiri Rendra yang kosong.
Dengan senyum sopan, Rendra mengangguk. “Tak usah sungkan, Diana. Duduklah di mana pun kau mau.”
Diana yang mungil makin terlihat mungil saat duduk di samping Rendra yang tinggi. Perempuan tersebut menyandarkan tubuhnya ke Rendra sembari meminum sekaleng bir.
“Rendra.”
“Ada apa?”
“Lihat aku.” pinta Diana.
Rendra menuruti kemauan Diana. Keduanya kini hanya saling menatap satu sama lain.
“Kau sudah minum berapa banyak?” tanya Rendra.
“Ini kaleng bir keduaku.” jawab Diana. Tangan Diana sibuk mengusap-usap lengan pria di sampingnya itu.
“Sebelum itu?”
“Wiski. Segelas.” ujar Diana dengan nada menggemaskan. Banyak penggemar Diana yang jatuh hati dengan persona Diana yang mungil dan menggemaskan.
Tetapi tidak bagi Rendra. Ia sudah tahu sikap asli di balik persona tersebut dan memilih untuk berteman sewajarnya saja dengan Diana. Pertemanan yang sesekali diselingi nafsu berahi.
Setelah menjawab pertanyaan Rendra, Diana berdiri lalu duduk di pangkuan Rendra. Melihat Diana yang agresif, Rendra hanya bisa tertawa dengan suara rendahnya. Kedua tangan Rendra, secara otomatis, berpindah untuk memeluk pinggang perempuan di pangkuannya itu.
“Kiss me.” ujar Diana pelan kemudian ia mendekatkan wajahnya ke Rendra.
Rendra tentu tak menyia-nyiakan kesempatan di depannya. Dia langsung mencium bibir Diana. Keduanya kini memejamkan mata dan fokus dengan lawan mereka.
Ciuman yang awalnya hanya sekadar kecupan, kini mulai berubah menjadi lebih ganas. Baik Rendra dan Diana, terlihat lapar dan ingin memangsa bibir satu sama lain. Tangan Rendra sibuk menjamah tubuh Diana. Diana juga tampak mempererat tangannya di sekitar leher dan bahu Rendra.
Setelah beberapa saat, keduanya mau tak mau berhenti karena perlu memasok oksigen ke tubuh mereka. Diana tampak terengah-engah dan Rendra tersenyum miring.
Setelah napas Diana kembali, perempuan tersebut menempelkan bibirnya ke telinga kiri Rendra dan membisikinya sesuatu.
Entah hal apa yang dibisiki Diana, karena setelah itu Rendra tertawa pelan.
“Aku masih punya urusan di kafe, Diana.”
“Ayolah! Biar pegawaimu saja yang mengurus kafemu!” sahut Diana setengah merajuk.
Rendra menggelengkan kepalanya. “Masih ada kolega yang belum kutemui tadi. Aku harus menyapa mereka.”
Melihat raut wajah Rendra yang tegas, Diana tahu bujukan seperti apa pun tidak akan mempan kepada Rendra. Menyadari hal itu, Diana tak tahan untuk tidak memasang wajah cemberut.
Rendra tersenyum melihat raut wajah cemberut Diana. Dalam hati, ia tak dapat memungkiri kalau Diana memang terlihat menggemaskan. Tak lama kemudian, sebuah gagasan muncul di kepala Rendra. Kini giliran Rendra yang berbisik di telinga Diana.
Diana yang tadinya cemberut, raut wajahnya langsung berubah menjadi cerah. Ia pun membuka ponselnya dan mengetikkan sesuatu. Setelah selesai dengan ponselnya, Diana mengecup bibir Rendra beberapa kali.
“Sudah kukirim. Aku menunggumu.” Usai mengucapkan kalimat tersebut, Diana turun dari pangkuan Rendra dan pergi.
Selepas ditinggal Diana, Rendra kembali asyik menikmati waktunya. Objeknya pandangannya kini berpindah ke langit malam. Berbeda dengan Jakarta, yang langitnya dipenuhi dengan cahaya dari gedung-gedung tinggi, Bandung terasa spesial karena hanya berisikan bintang, bulan, dan awan.
“Lucu sekali.” decak Rendra, teringat dengan perilaku agresif Diana barusan.
Rendra berdiam diri untuk beberapa menit, sebelum akhirnya ia bangkit. Gelas kertas di tangannya yang sudah kosong langsung ia buang saat melewati tong sampah. Rendra masuk ke kafe melalui pintu belakang. Ia meninjau dapur dan berkoordinasi dengan para pegawainya, memastikan kegiatan operasional kafenya berjalan lancar.
Mengetahui tidak ada kendala berarti, Rendra memutuskan untuk memeriksa situasi dan kondisi di area makan. Dengan langkah tenang, mata Rendra menyapu ke segala penjuru kafe. Sesekali ia membalas sapaan yang ditujukan kepada dirinya. Saat sedang asyik memperhatikan sekelompok pengunjung yang asyik bersenda gurau dari sudut ruangan, ada objek lain yang menangkap perhatian Rendra.
Sebuah papan menu yang terpampang tak jauh dari mereka.
‘… aku membutuhkan waktu cukup lama untuk bisa membaca tulisan menu di dinding karena jenis font-nya terlalu rumit.’
Rendra memiringkan kepalanya, teringat dengan review Hani kemarin malam. Jika dilihat dari jauh, memang benar tulisannya tampak agak rumit. Rendra sendiri bisa langsung membacanya, tetapi bisa jadi karena ia hapal dengan menu di kafe.
“Tidak terbaca jelas, ya.” gumam Rendra, menganggukkan-anggukan kepalanya pelan. Dalam hati ia mengingatkan dirinya sendiri agar tidak lupa untuk mengganti jenis font di papan menu tersebut secepat mungkin.
Rendra beralih ingin mengecek hal lain di kafe yang sekiranya bisa ia perbaiki. Niatnya begitu, tapi tahu-tahu, mata Rendra kini memerhatikan meja tinggi yang diduduki Keanu, Hani, dan dirinya kemarin malam. Ia teringat akan pertemuannya dengan Hani kemarin. Mereka hanya berbincang dalam hitungan jam, tetapi Rendra sudah melihat beragam ekspresi Hani.
Ketika Hani tersenyum dan tertawa.
Ketika ia ragu-ragu memanggil Rendra dengan sebutan ‘Kak’.
Atau ketika Hani terlihat tak nyaman saat melihat sekumpulan orang mabuk berada tak jauh dari dirinya.
Oh, dan jangan lupakan selembar review dari Hani yang membuat Rendra tertawa sendiri saat membacanya.
Seutas senyum tipis tercetak di wajah tampan Rendra.
Rendra jadi ingin melihat Hani saat ini juga. Tetapi Rendra tahu hal itu tidak mungkin. Jadilah, ia hanya bisa menghela napas panjang. Meskipun helaan napas tersebut terlihat tidak cocok di wajah Rendra, karena matanya terlihat senang sampai-sampai tulang pipinya tertarik ke atas.
Aneh. Hanya dengan mengingat Hani saja membuat Rendra serasa mendapat energi tambahan. Rendra menegakkan tubuhnya. Ia berniat menuju ke ruang manajer untuk mencatat hal-hal apa saja yang bisa diperbaiki dari kafe. Tepat di detik itu juga, ponsel Rendra bergetar menandakan pesan masuk.
Rendra merogoh kantong celananya dan membuka ponselnya. Seraya membaca pesan tersebut, kening Rendra perlahan berubah menjadi berkerut.
‘Daripada foto ini, aku lebih senang jika bisa melihat Hani sekarang juga.’ batin Rendra.
Tanpa membuang-buang waktu, Rendra segera membalas pesan tersebut, masih dengan kerutan di dahinya. Setelah itu, Rendra memasukkan ponselnya kembali ke kantong celana dan melangkah pergi ke ruang manajer.
***
Libur akhir pekan sudah usai. Artinya, Keanu, Hani, dan Shaina sudah harus kembali ke Jakarta hari ini juga. Mereka bertiga memutuskan untuk pulang di hari Minggu malam karena perjalanan mobil rute Bandung-Jakarta tidak membutuhkan waktu seharian penuh.
Pemandangan jalan tol di sekitar mobil tampak gelap gulita. Satu-satunya penerangan adalah dari lampu mobil Keanu dan mobil lain. Keanu melirik Hani melalui kaca spion dalam dari bangku setirnya. Hani tampak tertidur pulas di jok belakang. Setelah itu Keanu melirik Shaina, yang duduk di jok sebelahnya, asyik bermain ponsel.
“Kau tidak tidur juga?” tanya Keanu.
Shaina menoleh ke Keanu dan menyahut balik. “Kenapa aku harus tidur?”
“Sebab matamu semakin menghitam. Tidak butuh waktu lama untuk kau berubah menjadi panda.” ujar Keanu sembari menyeringai jahil.
Shaina, yang sangat memerhatikan penampilannya, langsung naik pitam mendengar perkataan Keanu. Langsung saja, jurus andalannya keluar yaitu cubitan di pinggang ala Shaina.
“AKH! HEI!” jerit Keanu.
Tidak perlu tenaga besar dan terbukti efektif.
Senyum jumawa terpatri di wajah Shaina, tetapi perempuan berambut panjang itu langsung menaruh telunjuknya di mulutnya.
“Salahmu karena mencemoh wajahku dan jangan berisik! Hani sedang tidur.” bisik Shaina.
“Gila?! Aku sedang menyetir!” desis Keanu kepada Shaina dengan suara rendah. Tubuh Shaina bergetar karena menahan tawa melihat murka Keanu. Selang beberapa detik kemudian, Shaina menengok ke jok belakang dan menemukan Hani masih tertidur pulas.
Setelah Shaina kembali menghadap ke depan, Keanu berkata, “Biasanya Hani akan terjaga menemaniku mengobrol agar aku tidak bosan saat menyetir. Tumben sekali, belum ada separuh perjalanan, Hani sudah tidur. Apa kalian berdua keasyikan mengobrol hingga lupa waktu tadi malam?”
Shaina menggelengkan kepalanya.
“Kami hanya bercengkerama sampai tengah malam. Setelah itu aku tidur,” Shaina terdiam sesaat. “tetapi Hani tidak.”
“Maksudmu kau tidur terlebih dahulu?” tanya Keanu.
“Itu juga, tetapi maksudku, Hani terjaga semalaman sampai tadi pagi.”
Keanu mengerutkan keningnya. “Kau tahu dari mana?”
“Saat aku bangun tadi pagi, aku melihat Hani sedang memegang ponselnya. Aku menghampirinya dan ketika memerhatikan wajahnya, aku langsung tahu.” terang Shaina.
“Jadi, Hani kecapaian terjaga semalaman.” ujar Keanu mengambil kesimpulan.
Shaina mengangguk. “Wajahnya pucat tetapi matanya terlihat segar. Segar seperti orang yang belum tidur sama sekali.”
Setelah itu Shaina menceritakan apa alasan Hani terjaga dan bagaimana Hani sempat tertidur saat ia menyisiri rambut Hani. Keanu, sembari menyetir, mendengarkan Shaina dengan seksama.
“Aku merasa ada alasan lain mengapa Hani terjaga semalam.” seloroh Shaina menutup ceritanya dengan nada kekhawatiran.
Keanu hanya diam. Ia tampak berpikir sejenak, sebelum akhirnya bersuara. “Apa mungkin karena semalam aku dan Hani duduk di dekat konter bar?”
Shaina menoleh dengan cepat ke Keanu. “Bar? Bukankah semalam kau ke kafenya Rendra?”
“Lebih tepatnya, kafe dan bar.”
Shaina tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya setelah mendengar ucapan Keanu.
“Kafe dan bar?!” sembur Shaina. Ia melirik ke arah Hani, yang untungnya, masih tertidur pulas, lalu langsung menumpahkan amarahnya ke Keanu.
“Kau tahu kalau Hani tidak bisa berada di dekat orang mabuk, dan gilanya, kau membawanya ke sana?! Apa kau lupa apa yang-“
“Aku tahu dan aku tidak akan pernah lupa, Shaina.” ujar Keanu dengan tenang. Ia memberhentikan mobilnya di bahu jalan kemudian menghadap ke arah Shaina.
“Semalam aku dan Hani memang duduk di dekat konter bar. Tetapi hanya itu. Kami tidak punya pilihan lain karena kafe penuh dan yang tersedia hanya meja deret tinggi di dekat konter bar. Itu pun posisinya membelakangi. Jadi, aku dan Hani tidak menghadap langsung ke bar.” papar Keanu.
Shaina masih memandangi Keanu dengan tajam. Keningnya berkerut dalam menahan amarah sekaligus bingung dengan sikap Keanu.
“Aku juga menjauhkan kolegaku yang mabuk dari Hani. Lalu, Hani tidak pernah ditinggal sendiri. Aku dan Rendra selalu menemaninya semalam.” cetus Keanu.
“Apa kau sempat meninggalkan Hani?” tanya Shaina dengan nada menuntut.
Keanu diam.
“Hanya satu kali. Itu pun tidak lama dan ada Rendra yang menemaninya.” jawab Keanu.
Shaina memicingkan matanya ke Keanu. “Apa Rendra bisa dipercaya?”
“Aku tidak akan mengatakan kalau Rendra adalah orang yang suci dan sebagainya, tetapi aku tahu kalau dia tidak akan menyentuh perempuan yang tidak tertarik pada dirinya.” pungkas Keanu.
Kemudian keduanya larut dalam keheningan. Hanya suara halus mesin mobil yang terdengar.
“Hani tahu kalau dia akan mendatangi kafe dan bar.” ucap Keanu memecah keheningan.
Mata Shaina melebar, kaget sekaligus tidak percaya. Keanu membalas dengan mengangkat kedua bahu, lalu memegang setir mobil.
“Mari kita bicarakan hal ini ketika kita sudah sampai Jakarta, dan ketika Hani sudah bangun.” ujar Keanu seraya kembali menjalankan kendaraan roda empat tersebut.
Shaina menyandarkan kepalanya ke jok mobil keras-keras. “Oke. Maaf tadi aku meluapkan amarahku kepadamu.”
“Tidak masalah. Aku tahu kau hanya mau menjaga Hani.” sahut Keanu dengan nada ringan.
“Karena aku juga merasa seperti itu.”
***
Dari : Diana
[View Photos]
Hadiah kecil untukmu. Aku sudah tak sabar menunggumu di sini.
Reply:
Untuk : Diana
Maaf, aku tidak bisa ke hotelmu. Ada urusan lain yang harus kubereskan malam ini. Sampai bertemu di lain hari.