Ketika dirinya dipanggil, Rendra merasa enggan untuk meninggalkan Keanu dan Hani. Tetapi sebagai empunya hajat, mau tak mau ia harus menyambut teman dan kolega yang bersedia datang ke kafenya hari ini.
“Aku pergi dulu sebentar, nanti aku akan kembali lagi.” ujar Rendra, setengah berharap Keanu dan Hani masih singgah di kafe hingga dirinya kelar dengan tamu-tamunya yang lain.
“Santai saja, aku tahu kau sibuk. Sudah pergi sana. Akan kukabari lewat chat jika aku pulang nanti.” usir Keanu berkelakar.
Rendra hanya tertawa mendengar perkataan Keanu. Di balik kelakaran itu, Rendra tahu pesan tersirat di dalamnya.
Aku tidak akan menunggumu kembali.
Memang agak disayangkan, tetapi Rendra juga tidak dapat berbuat apa-apa jika mereka ingin pulang, jadi Rendra pun tidak berharap banyak. Sebelum pergi, Rendra menoleh ke Hani, yang sedang mengamatinya. Saat pandangan keduanya bertemu, Hani melempar senyum simpul ke Rendra.
Rendra tahu persis, senyum itu hanya sekadar untuk basa-basi. Tetapi ia tidak dapat memungkiri kalau ia merasakan kesenangan tersendiri saat melihat senyum Hani.
Rendra pun tersenyum balik kepada Hani.
Tak ingin membuat koleganya menunggunya lebih lama lagi, setelah bertukar senyum dengan Hani, Rendra langsung pergi.
Dengan langkah lebar-lebar, Rendra menuju meja yang memanggilnya, yang berisi pemeran dan staf di salah satu film yang pernah ia mainkan. Ia duduk serta di meja tersebut dan obrolan mengalir tanpa henti.
“Ahahaha! Aku ingat, aku ingat!”
“Iya ‘kan? Kau seharusnya ikut dengan kami waktu itu, Rendra!”
“Hei, dia itu sibuk! Memangnya dia pengangguran sepertimu!”
Rendra dan kolega di sekitarnya larut dalam senda gurau.
Detik demi detik berlalu, setelah berbincang cukup lama, Rendra pamit lalu menuju dapur untuk mengecek situasi di sana. Rendra melanjutkan pengecekannya ke konter bar yang terhubung dari dapur.
Beberapa orang menikmati alkohol di depannya. Rendra sempat berpikir untuk mengambil segelas untuk dirinya sendiri, sebelum pandangannya jatuh ke meja Keanu dan Hani, yang kini sudah kosong.
Rendra mengangkat kedua bahunya, lalu ia menuangkan segelas alkohol untuk dirinya dan menenggaknya. Sembari menyesapi rasa alkohol di lidahnya, sesosok figur dengan senyum manis muncul di otak Rendra.
Rendra tertawa kecil, mengira dirinya mulai mabuk hanya dari segelas alkohol. Melirik kursi yang diduduki Hani tadi, Rendra kembali menenggak alkohol di tangannya.
“Aku hanya tidak begitu menyukai orang yang berada di bawah kendali alkohol.” papar Hani.
Rendra mengamati sisa alkohol di gelasnya.
Ia jadi teringat dengan raut wajah Hani yang perlahan berubah. Meski Hani berusaha menutupinya, Rendra bisa melihat Hani mulai merasa tidak nyaman. Terutama setelah melihat kelakuan sekelompok orang yang mabuk berat tadi.
Rendra jadi bertanya-tanya apa setidak suka itukah Hani dengan alkohol.
‘Sayang sekali, padahal aku sangat menyukai minuman beralkohol ini.’ batin Rendra.
Rendra menghabiskan sisa alkohol di tangannya. Tak lama kemudian, sebuah sahutan terdengar memanggil namanya.
“Rendraaaa!”
Rendra menegakkan bahunya dan berjalan menuju pemanggilnya itu.
Malam masih panjang.
***
Here ‘n There baru tutup pukul 2 pagi. Setelah memastikan semua pengunjung pulang dan papan ‘CLOSE’ terpampang di pintu, Rendra membantu pegawainya membereskan kafe dan bar tersebut.
“Terima kasih semuanya untuk kerja kerasnya hari ini! Segera pulang dan beristirahat yang cukup. Semangat semuanya!!” seru Rendra memberikan semangat kepada para pegawainya.
Para pegawai kafe tersebut pun ikut berseru, meneriakkan semangat, sembari bertepuk tangan. Rendra tertawa melihat keriuhan pegawainya ini. Berangsur-angsur, pegawainya pulang. Kafe yang tadinya ramai itu pun kini terlihat lenggang meninggalkan Rendra seorang diri.
Berjalan perlahan ke ruang istirahat bersama, Rendra menghempaskan dirinya ke sofa. Menatap langit-langit, Rendra mengistirahatkan tubuhnya. Hari ini ia berlarian ke sana ke sini, berbincang, dan tertawa di berbagai sudut.
Lelah, tentu saja. Tetapi tak ayal, ia merasa senang.
Dan Rendra tak bisa untuk tak mengingat Hani.
Pertemuannya dengan Hani hari ini cukup membuatnya terkejut. Sejujurnya, ia tidak pernah menyangka akan bertemu Hani lagi. Ketika pertama kali bertukar kata dengan Hani di Malang, Rendra cukup penasaran dengan sosok Hani, tetapi ia tidak berharap banyak. Berangsur-angsur, ia mulai melupakan Hani.
Tahu-tahu, perempuan dengan senyum manis itu datang ke kafenya dengan salah satu sahabat baiknya.
Tetapi ada beberapa hal tentang Hani yang mengusiknya sekaligus membuatnya penasaran.
Hani mengembuskan napas lega saat Harry pergi. Ya, setelah bertanya pada Hani, Rendra jadi tahu jika Hani tidak menyukai pria mabuk.
Tetapi ketika Hani memerhatikan Keanu bersama Harry di konter bar, atau saat melihat kegaduhan dari sekelompok orang yang mabuk berat, raut wajah Hani menjadi pucat dan ia menggigit bibirnya erat-erat. Kedua tangannya terkatup rapat.
Ketika Rendra ingin bertanya mengapa Hani bertingkah seperti itu, Rendra menelan pertanyaannya kembali. Ia tidak tega menanyakan hal tersebut, setelah melihat wajah pucat dan kedua mata Hani yang terlihat kalut.
Mungkin Hani tidak terbiasa dengan suasana bar. Atau, Hani betul-betul tidak menyukai orang mabuk.
Rendra menyisir rambut dengan jari-jarinya. Gusar sendiri dengan asumsinya.
Menolak untuk larut dalam kegalauan yang tak pasti, Rendra bangkit. Ia mengitari kafenya, berpikiran untuk mengecek kotak review yang ia tempel sebelum soft opening malam tadi.
Rendra tahu, tidak banyak orang yang cukup peduli dan mau bersusah payah menuliskan pendapat di sebuah lembar kertas. Rendra sendiri juga sudah mengantisipasi hal tersebut dengan mencantumkan link survei di plang di beberapa titik dalam kafe. Tetapi, Rendra sedikit berharap masih ada barang satu-dua orang yang mau menulis pendapat mereka.
Mungkin ia termasuk orang yang sentimental. Entahlah. Yang pasti, Rendra memang lebih menyukai tulisan tangan dibandingkan tulisan ketikan.
Ia menempel beberapa kotak review di dinding. Setelah mengitari beberapa titik lokasi, Rendra duduk di salah satu kursi dalam kafe dengan membawa lembaran kertas. Sesuai dugaannya, ia hanya mendapatkan lima kertas review.
Kertas pertama dari penulis naskah film yang kerap bekerja bersamanya. Penulis tersebut berkata bahwa suasana kafenya bagus, membuatnya betah berlama-lama di sana.
Rendra tersenyum, dengan sedikit rasa bangga, saat membaca review tersebut.
Kertas kedua dari seseorang yang namanya tidak Rendra kenal. Rendra pikir mungkin orang ini adalah kolega dari orang yang ia undang hari ini. Orang ini menulis bahwa ia pasti akan ke sini lagi.
Kali ini Rendra tertawa. Lebih tepatnya, tawa tidak percaya. Bagaimana tidak, orang ini turut menuliskan nomor telepon dan ID media sosialnya.
Rendra menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kertas ketiga dari seseorang yang tidak Rendra duga. Tulisannya panjangnya, hampir memenuhi selembar kertas itu. Lalu ternyata, ada selembar kertas lagi di baliknya, yang merupakan kelanjutan dari lembar sebelumnya. Ketika selesai membacanya, Rendra tertawa lepas.
“Ah… Hani.” bisik Rendra.
Kertas selanjutnya dari Keanu. Rendra menaikkan salah satu alisnya, tidak menyangka Keanu mau memberikan review-nya. Kali ini Rendra tersenyum membacanya.
Kau masih ingat dengan kata ‘tidur’ dan ‘istirahat’ bukan? – Keanu
Rendra membuka kertas terakhir, yang ditulis oleh produser dari salah satu film pendek yang pernah ia lakoni. Isinya singkat dan jelas, yaitu mengatakan kalau produser tersebut menyukai tempat ini.
Rendra kembali mengambil lembaran kertas yang ditulis oleh Hani. Rendra tersenyum geli ketika ia membacanya lagi.
“Sudah jelas aku tertarik padanya. Haruskah aku mendekatinya?” guman Rendra sembari memandangi kertas berisi tulisan Hani.
***
Pertama, aku suka dengan pemandangan alam di kafe ini. Kebetulan aku juga suka pemandangan pagi, mungkinkah kafe ini nanti akan membuka jam pagi?
Kedua, aku cukup menyukai desain interior dan suasana di kafe ini. Lampunya tidak menyilaukan tetapi tidak terlalu redup juga. Makanan dan minumannya juga enak. Pesananku juga datang cukup cepat.
Ketiga, aku membutuhkan waktu cukup lama untuk bisa membaca tulisan menu di dinding karena jenis font-nya terlalu rumit. Aku menyarankan untuk menggunakan jenis font seperti rollergirls, majel, catbox, atau advert.
Keempat, aku tidak suka saat ada keributan dari orang-orang mabuk di bar.
– Hani