Aku benar-benar iri dengan kucing di rumahku.
Dia tidak perlu bekerja banting tulang mencari uang untuk hidup.
Cukup datang ke rumah, mengeong dengan wajah memelasnya pada salah satu anggota keluarga, dan voila, kucing kecil itu mendapatkan makanannya. Menunya bervariasi, mulai dari ikan, ayam, hingga dry food. Keluargaku paling sering memberinya yang terakhir kusebut belakangan itu.
Enaknya kucing itu. Tidak perlu pusing-pusing harus memikirkan harus makan apa, menyiapkan bahan masakan dulu, ataupun sibuk menyalakan api kompor dahulu.
Aku tidak terlalu paham dengan urusan kakusnya. Mungkin selama ini dia keluar rumah untuk menumpang mandi di rumah orang lain. Aku tidak tahu. Yang jelas, aku yakin dia tidak perlu uang dua ribu untuk bisa mandi.
Intinya, segala yang dilakukan oleh kucing satu itu pasti menggunakan trik muka memelas miliknya itu. Senjata andalan, huh.
Dulu sekali, sewaktu aku kecil, wajah memelasku bisa diandalkan. Semakin beranjak dewasa, wajah memelasku sudah tidak bisa diandalkan. Justru aku terkadang dimaki-maki kalau memasang wajah memelas.
Padahal aku hanya ingin bertahan hidup seperti kucing itu. Beruntung sekali kucing itu karena senjata andalannya tak lekang dimakan waktu seperti wajahku ini.
Ah, irinya diri ini.
Satu lagi. Dia tidak perlu menahan emosinya saat berhadapan dengan seseorang yang menjengkelkan.
Sejujurnya, untuk yang satu ini aku hanya iri dengan tingkahnya saja yang kulihat kebanyakan hanya golar-goler saja di sofa rumah. Mungkin saja dibalik keirian dan ketidaktahuanku, sebenarnya kucing itu memiliki musuh di luar sana.
Kuharap begitu. Kuharap minimal dia memiliki teman sejawat yang tidak sefrekuensi yang sering bertengkar dengannya.
Ah, tapi, lagi-lagi. Kucing itu, sepengetahuanku, kalaupun bertengkar mereka langsung ya, bertengkar. Face-to-face. Langsung menggerung satu sama lain dan melayangkan cakaran ke tubuh lawan.
Enaknya kucing itu. Bisa langsung main cakar.
Aku juga ingin menjadi kucing.