Jenazah Suamiku
Bab 3 : Titipan
"Wulan, ini untuk kamu. Terima, ya." Wanita bergamis putih itu berbalik ke arahku dan memberikan sesuatu di tangan ini.
"Apa ini, Bu? Saya tak mau menambah hutang, sudah cukup hutang Bang Wawan yang sudah terpendam itu .... " jawabku dengan menatap amplop di tangan ini.
"Ini bukan pinjaman, anggap aja sebagai bentuk belasungkawa dari kami, buat jajan Winka. Salam, ya, untuk dia." Wanita itu segera membalikkan badan dan melangkah cepat menuju mobilnya.
Aku tertegun, bagaimana dia bisa tahu nama putriku--Winka? Perasaan tadi aku tak ada menyebutkan namanya.
"Bu, siapa orang-orang tadi?" Suara Winka juga genggamannya di tangan ini segera membuatku tersadar, ternyata mobil mewah tadi juga sudah berlalu dari depan rumah.
"Ibu nggak kenal mereka, Nak. Ya sudah, aku kita masuk!" Kurangkul pundak putri kecilku itu, lalu menutup pintu.
Winka melangkah menuju dapur, sedangkan aku berbelok menuju kamar lalu menyelipkan amplop dari wanita tadi di antara lipatan baju.
***
Usai sarapan, Winka kusuruh belajar sebab hari ini hari minggu jadi ia tak ke Sekolah tapi tetap kuwajibkan untuk belajar di rumah. Apalagi besok sudah masuk waktunya ulangan, jadi ia memang harus belajar extra agar mendapatkan nilai bagus dan juara kelas. Iya, putriku ini termasuk siswa cerdas di sekolahnya, dari kelas 1 - kelas 3 ini dia selalu mendapatkan rangking satu dan membuat bangga aku dan Bang Wawan.
"Winka, belajar sendiri dulu, ya, Ibu mau ke kamar sebentar. Nanti Ibu temani belajar," ujarku kepadanya.
Winka mengangguk dan mulai membuka buku paket pembelajarannya. Aku melangkah menuju kamar.
Aku masuk ke kamar, sedikit penasaran akan uang duka di dalam amplop itu. Kira-kira isinya berapa ya?
Dengan tangan yang bergetar dan berdebar-debar, kuraih amplop itu dan membukanya perlahan. Ya Allah, isinya lembaran uang berwarna merah yang jumlahnya mungkin di atas sepuluh lembar.
Apa maksud wanita itu memberikan uang sebanyak ini, sedangkan mereka datang ke rumahku untuk menagih hutang almarhum. Lalu bagaimana bisa dia malah memberikan uang sebanyak ini? Semua itu sungguh membingungkan. Apa ini jebakan biar hutang suamiku semakin banyak lagi? Ya Allah, ujian apalagi ini? Sudah cukup ujian ini, Tuhan, jangan membuat akalku semakin pendek.
Satu, dua, tiga, ..., sepuluh, sebelas, ... Dua puluh. Jumlah uang di dalam amplop ini ada dua juta. Ini jumlah uang yang sangat banyak, seumur-umur aku belum pernah memegang uang sebanyak ini. Paling banyak lima ratus ribu saja uang yang pernah kupegang, jemari ini semakin gemetar saja saat menyimpan kembali uang itu ke dalam amplop.
Aku tertegun sejenak, sebagai wanita miskin yang tak pernah pegang uang banyak, jelas aku senang melihat uang sebanyak itu tapi ini bukan uangku. Jadi, aku takkan mengambilnya sepeser pun.
Setelah menyimpan uang itu, aku kembali ke dekat Winka yang terlihat sedang membaca buku pelajarannya.
***
Sejak hari ini, aku mulai menghitung hari karena seminggu lagi rombongan penagih hutang itu akan dapat kembali ke rumah.
Pagi ini Winka sudah berangkat ke Sekolah, aku masih duduk termenung di depan rumah, menatap ke arah tiang nisan dengan tulisan Muhammad Setiawan Bin Alm.H. Setiawan Effendi.
Bang Wawan, dia sudah tenang beristirahat di sana, hanya aku saja yang masih tak tenang di sini. Memikirkan nasibku dan Winka tanpanya, juga hutang yang tak pernah kuketahui itu.
Bang, kamu berhutang apa dengan orang kaya itu? Lalu dengan apa aku harus membayarnya? Kuusap nisan almarhum suamiku itu, air mata kembali luruh tak tertahan. Bayangan almarhum menghembuskan napas terakhirnya kembali berputar di kepala ini. Aku ingat betul waktu itu, ia masih sempat menunaikan sholat subuh walau dalam keadaan berbaring.
"Wulan ... Sayang ... Abang rasa ... Saatnya akan segera tiba. Abang ... sangat bahagia ... Menjalani rumah tangga bersamamu. Maaf ... Abang takkan bisa membantumu mengurus putri kita lagi." Bang Wawan menyentuh ujung jemariku, tangannya sudah terasa dingin waktu itu.
"Abang jangan berkata demikian, kita akan mengurusi Winka sampai dia dewasa. Bukannya kata Abang ... Abang sendirilah yang akan menikahkannya nanti." Air mataku mulai luruh tak tertahan.
"Abang takkan mau menjadi bebanmu selamanya, Sayang. Abang ... Capek ... Abang nggak kuat lagi. Abang mau tidur saja." Bang Wawan hendak memejamkan matanya.
Perasaanku semakin tak tenang, aku selalu takut jika dia izin tidur karena takut ia tak bangun-bangun lagi. Sesungguhnya aku belum rela ditinggalkan olehnya, suami yang amat kucintai.
"Bang, jangan pergi!" ujarku sambil memeluknya.
"Terima kasih atas keikhlasanmu mengurus Abang selama ini, Wulan. Abang tak menyangka akan bisa hidup selama ini, semua karenamu juga Winka." Bang Wawan berkata lirih.
"Aku ikhlas merawatmu, Bang, tapi jangan pernah berpikir untuk meninggalkan aku dan Winka, Bang. Kami takkan bisa hidup tanpamu, kamu akan sembuh, Bang." Aku menggenggam tangan Bang Wawan yang semakin dingin, sedangkan dahinya terlihat berkeringat.
"Winka, Ayah titip Ibu. Kalian harus tetap baik-baik saja ... Walau tanpa Ayah." Bang Wawan membuka matanya dan menoleh ke arah putri kami yang duduk di sisi kirinya berbaring.
Bang Wawan terlihat memegangi dadanya, ia terlihat kesusahan bernapas. Wajahnya memerah seperti menahan rasa sakit, keringat semakin membanjiri dahinya.
"Bang, apanya yang sakit?" tanyaku dengan mengeratkan genggaman tangan ini.
Bang Wawan menggeleng, ia lalu tersenyum tipis.
" Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah". Bang Wawan berkata lirih, genggaman tangannya melemah.
"Bang!" teriakku panik.
"Ayah!" Winka pun menjerit kala melihat ayahnya sudah memejamkan mata dengan wajah tersenyum, ia terlihat seperti sedang tertidur.
Aku segera meletakkan kepala di d**a suamiku untuk merasa detak jantungnya dan sudah tak terdengar apa pun lagi. Dia telah pergi ke Rahmatullah, meninggalkan aku dan Winka.
"Wulan, tak terasa, ya, sudah dua minggu kepergian suamimu. Tetap kirim doa untuk dia, dia sudah tenang di alam sana." Sebuah suara segera membuatku tersadar dari lamunan panjang tadi.
"Eh, Bu RT .... " ujarku saat menoleh ke arah suara.
"Wulan, ini ada titipan untukmu dan Winka." Bu RT mengulurkan dua kantong plastik hitam ke arahku. "Terimalah."
"Apa ini, Bu RT? Titipan dari siapa?" tanyaku kaget saat dua kantong itu telah berpindah ke tangan ini.
"Saya tak tahu, Wulan, tadi Pak RT yang nyuruh ngantar ini ke rumahmu. Terima saja, ini rezeki untukmu dan Winka." Bu RT tersenyum.
"Apa ini dari Pak RT atau dibeli dari uang kas desa lagi? Saya tak enak, Bu RT, kalian sudah banyak membantu. Maaf ... Saya tak bisa lagi menerima semua ini .... " Aku menatapnya sedih dan benar-benar tak enak hati atas budi mereka ini.
"Bukan dari Pak RT, Wulan, ini dititipkan seseorang kepada suami saya dah disuruh buat disampaikan kepada kamu. Terimalah, anggap saja ini rezeki dari Allah. Saya permisi dulu." Bu RT membalikkan badan dan melangkah cepat meninggalkanku yang masih tertegun di dekat makam almarhum Bang Wawan.
Bersambung .....