Jenazah Suamiku
Bab 5 : Dijemput Tuan Rentenir
"Maaf, Mbak Wulan dan Dik Winka ... Kami datang ke sini untuk menjemput kalian ke rumah .... " ujar Pria paruh baya dengan seragam biru, mungkin dia adalah supir dari rentenir itu.
"Jemput ke mana?" tanyaku sambil memeluk Winka dari belakang, putri kecilku ini sudah setinggi dadaku ternyata.
"Ke rumah kami, segeralah berkemas!" Pria yang tak pernah melepas kacamata hitamnya itu mendekat dan menjawab dengan nada ketus seperti kemarin.
"Mau apa ke rumah kalian? Kami tidak mau!" jawabku tak kalah ketus karena tak ingin dianggap lemah olehnya.
"Jangan membantah, sebaiknya menurut saja!" Dia kembali berkata dengan nada memerintah.
"Maaf, Pak Penagih Hutang ... Saya tak mengenal anda, jadi mana mungkin saya mau ikut ke rumah anda begitu saja. Masalah hutang almarhum suami saya, katakan saja berapa ... Tapi maaf ... Saya belum bisa membayarnya sekarang," jawabku tegas.
"Hutang suamimu sangat banyak, Wulan, dan kamu takkan sanggup untuk membayarnya, baik sekarang atau juga nanti. Hmm ... Pak Jaja, saya tunggu di mobil saja." Pria itu terlihat menahan kata-katanya, lalu menatap tajam ke arah pria yang ia panggil Pak Jaja itu.
Pak Jaja yang kemungkinan besar adalah supirnya itu mengangguk, lalu menatap ke arahku dengan wajah ramah.
"Begini, Mbak Wulan ... Di rumah itu lagi ada acara. Jadi Nyonya ... Hmm ... Maksud saya ... Mamanya Tuan Restu ... Mau minta bantu-bantu sama Mbak Wulan. Begitu ceritanya." Pak Jaja menjelaskan dengan nada lembut dan sopan, gaya bicaranya mengingatkanku kepada almarhum Bang Wawan.
Untuk beberapa saat, aku terdiam, berusaha mencerna omongannya. Maklum, aku ini SMA aja nggak tamat, jadi otak agak lola. Mana sering diomelin terus waktu masih gadis dulu dan agak tenang setelah diperistri oleh Bang Wawan. Aku menikah di usia 22 tahun dulu, sedangkan Bang Wawan 25 tahun. Ah, suamiku, dia memang meninggal muda, di saat usianya baru menginjak 35 tahun.
"Bagaimana, Mbak Wulan?" tanya Pak Jaja yang membuat kesadaranku segera kembali.
"Hmm ... Maksudnya ... Saya mau dijadikan pembantu di rumah Tuan Rentenir itu?" tanyaku tanpa basa-basi sambil melirik ke arah mobil hitam, di mana pria arrogant itu berada.
"Tuan Rentenir ... Siapa?" Pak Jaja terlihat menggaruk kepalanya.
"Itu ... Yang tadi ... Yang pakai kacamata hitam. Yang gaya bicaranya bernada perang," jawabku sambil menatap tajam ke arah mobil di pinggir jalan sana.
"Oh ... Tuan Restu maksudnya. Hmm .... " Pak Jaja kembali menggaruk kepalanya dan tersenyum tak enak. Entah ekspresi apakah itu.
"Baiklah, saya akan ikut ke sana tapi setelah acara selesai, segera antar kembali saya pulang. Saya mengerti ... Dia ingin saya mencicil hutang itu dengan menjadi pembantunya, sebab dia tahu saya miskin dan nggak punya uang. Hmm ... Pak Jaja ... Saya mau ikut ke sana ... Karena saya percaya Bapak ini orang baik dan takkan berbuat jahat kepada janda miskin seperti saya." Kuacungkan jari telunjuk ke arah pria berambut klimis itu.
"Iya, Mbak Wulan, saya akan segera mengantar Mbak pulang setelah acara selesai. Mbak Wulan dan Dik Winka akan aman dan saya bisa jamin takkan terjadi hal buruk apa pun." Pak Jaja berkata dengan wajah serius dan entah kenapa juga, aku percaya dengannya.
"Tunggu sebentar, ya, Pak, saya dan Winka mau ganti pakaian dulu," ujarku akhirnya dan menggandeng putriku menuju kamar.
Saat menoleh ke belakang, terlihat Pak Jaja melangkah mendekati makam suamiku. Heran juga, kok orang-orang asing itu suka sekali mendatangi makam almarhum. Apa menurut mereka makam di depan rumah itu aneh dan bisa dijadikan tontonan?
***
"Kita mau ke mana, Bu?" tanya Winka saat dia sudah kupakaikan jilbab dari gamis lebaran dua tahun lalu, yang dibelikan oleh almarhum Bang Wawan saat izin ke Kota untuk menemui temannya dulu.
"Kita akan pergi ke suatu tempat, Nak, dan Ibu akan kerja di sana. Tapi ... cuma hari ini aja kok, sore nanti kita akan diantar pulang. Nah ... Kamu udah cantik, tinggal Ibu lagi yang harus ganti pakaian." Aku tersenyum kepadanya.
"Apa kita akan pergi naik mobil pria mirip Ayah, Bu?" Raut wajah Winka terlihat senang sekali.
"Dia tak mirip Ayahmu, Ayah orang baik ... Sedangkan pria itu ... dia orang jahat. Kita harus hati-hati, Nak!" jawabku sambil menarik baju dari dalam lemari plastik yang sudah sobek-sobek itu.
"Oh ... Dia orang jahat." Wajah Winka langsung berubah murung sambil melangkah keluar dari kamar.
Aku menghela napas berat, dia masih sangat kecil dan takkan mengerti jika kujelaskan maksud pria itu menjemput kami. Ah, sudahlah, aku harus cepat berkemas.
Oh iya, amplop uang itu ... Mataku langsung tertuju pada amplop yang diberikan wanita bergamis putih beberapa minggu yang lalu. Bisa jadi, dia adalah mamanya Si Tuan Rentenir yang dimaksud 'Nyonya' oleh Pak Jaja.
Dengan dahi yang berkerut, kuhitung kembali jumlahnya karena takut berkurang. Walau aku tak ada mengambilnya barang sehelai pun, kalau hilang berarti ada tuyul yang ambil ini. Aku jadi risih campur takut juga, jantung jadi berdebar tak karuan. Aku paling takut dengan masalah yang melibatkan uang ini, sebab aku takkan mampu untuk menggantinya.
Satu, dua, tiga, empat, ... Sepuluh, sebelas, dua belas, tiga belas, ... Dua puluh. Alhamdulillah, jumlahnya masih dua puluh lembar, kudekap amplop itu di d**a dengan hati yang lega.
Mataku kini mencari tas kecil yang bisa kugunakan untuk menempatkan amplop tebal ini agar aman. Pokoknya uang ini harus kukembalikan kepada wanita itu, sudah cukup hutang Bang Wawan yang ada padanya dan aku tak mau menambahinya lagi.
Aku segera keluar dari kamar lalu menutup pintu dapur juga jendelanya. Winka sudah tak ada lagi di ruang tengah ini, ke mana dia?
"Pak Jaja, lihat putri saya?" tanyaku kepada Pak Jaja yang ternyata duduk di depan pintu.
"Dik Winka sudah di mobil, Mbak," jawabnya sambil bangkit dari duduknya dan berdiri.
"Oh .... " Aku segera menoleh ke arah mobil hitam itu, artinya putriku ada di dalam sana bersama pria arrogant itu.
"Mbak Wulan, biar saya bantu buat gembok pintunya." Pak Jaja membantuku memasangkan gembok kecil pada pintu rumah gubukku.
Aku mengangguk dan membiarkan pria paruh baya itu membantuku.
"Ayo, Mbak, kita segera berangkat!" ujar Pak Jaja.
Aku melangkah di depannya lalu berbelok ke arah makam Bang Wawan. Aku harus pamit dulu dengannya, walau ia kini sudah tiada, tapi aku tetap menganggapnya ada.
"Bang, aku dan Winka pamit pergi dulu. Aku akan mencicil hutangmu pada orang kaya itu, aku ... Takkan marah atau juga menyalahkanmu atas hutang-hutang ini. Aku yakin ... Kamu orang yang baik, dan jika benar kamu berhutang kepada mereka pun ... Semuanya pasti ada alasannya." Kuusap nisan almarhum suamiku.
Entah cuma perasaanku atau cuma halusinasi, aku seperti melihat jenazah Bang Wawan tersenyum di dalam kuburnya. Dia seperti melambaikan tangan dan mengucapkan 'hati-hati di jalan.'
"Mbak Wulan, ayo!" Suara Pak Jaja mengagetkan dan membuat buyar acara pamitanku kepada Bang Wawan.
"Hmm ... Ayo, Pak!" Aku mengangguk dan mengikuti langkahnya menuju mobil.
Pintu mobil terbuka dan Pak Jaja mempersilakanku untuk masuk.
"Ibu .... " Winka berteriak kepadaku, ternyata ia sudah duduk di samping pria berjaket hitam, celana hitam dan kacamata hitam. Tak salah lagi, dia ini memang penjahat karena selalu berpakaian serba hitam. Hitam itu identik dengan kejahatan. Sayangnya, kenapa juga wajahnya mesti mirip suamiku. Itu yang sangat kusesalkan.
Melihat kedatanganku, Tuan Rentenir alias penjahat berpakaian serba hitam itu segera berpindah duduk ke kursi depan, di samping supir.
"Ayo, Bu, duduk di dekat Winka." Winka menarikku masuk.
Aku duduk di sampingnya dan mobil berhawa sejuk ini mulai melaju. Ya Tuhan, aku menggigil.
"Bu, itu rumah Bu RT, itu Kakek dan Nenek. Itu rumahnya teman Winka ... Bla ... Bla ... Bla .... " Winka tak hentinya mengoceh, dia terlihat begitu senang dan aku hanya mengangguk saja.
Usai menunjuk rumah orang-orang yang ia kenal, Winka melanjutkan dengan memuji mobil yang sekarang sedang membawa kami. Ia tak hentinya berceloteh.
Aku yang memang tak pernah naik mobil, mulai merasakan kepalaku pusing dengan perut yang terasa diobok-obok. Ya Allah, aku mabuk sepertinya. Woeekk ... Aku berusaha menahan rasa mual.
"Ibu kenapa? Pak supir, Om Restu ... Tolong ... Ibunya Winka sakit .... " teriak Winka sambil meraih tanganku.
"Kepala Ibu pusing, Nak," jawabku dengan memejamkan mata.
"Menepi dulu, Pak!"
"Baik, Tuan."
Mobil berhenti dan pintunya terbuka. Aku segera keluar dan menumpahkan isi perut. Ya Allah, lagi dan lagi, aku terus menguras isi perut hingga terasa agak lega walau kepala masih terasa berputar-putar.
"Ibu ... Ibu nggak kenapa-kenapa 'kan?" Terdengar isak tangis dari Winka di belakangku.
Aku memegangi d**a dengan napas yang tersengal-sengal, perutku terasa plong.
"Ibu nggak apa-apa, Nak." Aku segera menoleh ke belakang.
Winka langsung memelukku, ternyata ia berdiri di belakangku sedari tadi.
Tuan Rentenir turun dari mobil dan mengulurkan sebotol air mineral ke hadapanku.
"Apa ini?" tanyaku basa-basi, padahal aku sudah tahu kalau itu air.
"Racun!" jawabnya ketus dan memberikan air itu kepada Winka.
Aku melengos kesal, dasar penjahat! Maunya apa sih tuh orang!
"Minum dulu, Bu!" Winka mengulurkan botol air minum itu kepadaku.
Kutatap botol air minum itu sebelum menenggaknya. Bagaimana mungkin ia mengatakan ini racun? Dasar orang aneh!
"Mbak Wulan, ini obat mabuk kendaraan dari Tuan. Langsung diminum saja sebelum kita lanjutkan perjalanan," ujar Pak Jaja seraya memberikan obat kepadaku.
"Berapa lama lagi kita akan sampai, Pak?" tanyaku sambil membaca nama obat dari Pak Jaja.
"Masih satu jam lagi, Mbak, ini baru setengah jalan," jawabnya.
"Emangnya ... Berapa lama perjalanan dari desa saya ke rumah Nyonyanya Pak Jaja?" tanyaku lagi.
"Kurang lebih dua jam-an, Mbak. Buruan diminum obatnya, Mbak Wulan, biar kita bisa lanjutkan perjalanan." Pak Jaja berkata lembut.
Aku mengangguk dan segera meminum obat anti mabuk itu, lalu masuk kembali ke dalam mobil dengan harapan tak lagi mengalami sakit yang tadi sebab ternyata perjalanan masih panjang. Satu jam itu lama bagiku yang pemabuk ini. Ya Allah, kuatkan hamba.
***
"Akhirnya sampai juga, Alhamdulillah."
"Winka, sini, Sayang!"
"Gimana keadaan Wulan?"
"Mbak Wulan tertidur itu, saya nggak enak buat bangunin."
Begitulah suara samar-samar yang terdengar saat aku hendak membuka mata.
Aku mengerjap beberapa kali sambil memegangi kepala yang terasa masih berat. Ya Allah, penyakit mabuk kendaraan ini rasanya seperti mau mati saja. Pulang nanti aku nggak mau diantar naik mobil lagi, mau minta dipanggilin ojek saja.
Setelah kepala terasa agak enak, aku segera turun dari mobil yang ternyata hanya tinggal aku seorang diri saja di dalam kendaraan yang sudah membuatku menggigil juga mabuk ini.
Winka--putriku, ada di mana dia?
Masyallah ... Ada di mana aku sekarang? Masa iya ini mimpi? Lalu bangunan megah di depanku ini ... Apa? Aku terbengong, sebab rumah-rumah di desaku tak ada yang seperti istana begini.
Bersambung ....