BAB 3

1114 Words
Camilla dan Danieru baru saja tiba di mansion, mereka tidak bicara selama di perjalanan, dan wajah Camilla juga masih terlihat masam. Keduanya melangkah dengan jarak sekitar satu meter, membuat para pelayan yang ada di sana memilih diam dan menatap ke arah lain. Selama satu bulan ini mereka melihat pasangan itu baik-baik saja, dan hari ini mereka terlihat sedang bertengkar. Camilla yang melangkah lebih dulu daripada Danieru langsung saja menuju lantai atas, sedangkan Danieru yang melihat kelakuan istrinya tak bisa berbuat apa-apa. Ketika Danieru ingin melangkah ke arah tangga, ia segera berhenti. Matanya kini tertuju pada seorang wanita yang sedang duduk sambil memerhatikan Camilla yang sudah lebih dulu naik ke lantai atas. Danieru segera menuju ke arah wanita itu, ia juga memerhatikan arah pandangnya dan juga melihat Camilla yang gusar. “Rachel, kapan kau datang?” tanya Danieru yang terlihat mengabaikan kemarahan istrinya. Sepanjang yang ia tahu Camilla akan membaik beberapa saat ke depan. Rachel yang sedang terfokus jelas saja kaget. Ia segera menatap ke arah Danieru. “Ahhh ... aku sudah menunggumu sekitar satu jam. Ada apa? Kelihatannya Camilla sedang merajuk padamu.” Danieru tak langsung menjawab, ia memilih duduk dan menatap para pelayan yang sesekali berlalu-lalang di ruangan tengah. “Kalian bertengkar hebat?” tanya Rachel. Danieru menggelengkan kepala, ia kemudian menarik dan mengembuskan napasnya dengan tenang. “Hanya masalah kecil. Tapi ... yahhh ... semenjak Camilla hamil, ia punya tingkat emosi yang tinggi dan juga sangat sensitif.” Rachel mengangguk. “Kali ini masalah apa? Apa Camilla marah karena kau ingin mulai bekerja dan tidak bisa menemaninya setiap waktu?” Danieru menggeleng. “Aku bahkan belum membicarakan tentang hal itu kepadanya.” Rachel yang mendengar ucapan mantan kekasih sekaligus adik iparnya terlihat bingung. “Kau ... apa yang membuatnya menjadi gusar seperti itu?” Danieru yang baru saja ingin menjawab cukup kaget saat melihat satu buah bantal yang di lemparkan dari tingkat atas. “Untuk membujuk istrimu saja kau tak bisa. Sekarang kau malah bicara dengan mantan pacarmu. Dasar pria sialan, pria b******n, pria menyebalkan!” Brak ... Rachel yang melihat dan mendengar semua itu diam, ia menatap Danieru yang hanya diam dan mencoba untuk lebih tenang. “Aku akan pulang,” ujar Rachel. Ia segera berdiri, tetapi berhenti di saat Danieru menahan tangannya. “Jangan dengarkan Camilla. Ia memang sedang begitu aneh belakangan ini. Duduklah, kau sudah datang begitu jauh, dan aku yakin ada hal yang juga tak kalah penting.” Rachel terlihat ragu, ia berusaha untuk berpikir cara yang baik dan benar untuk keluar dari situasi itu. “Rachel, kau juga sedang mengandung. Aku tahu tak mudah bagimu untuk menyetir seorang diri, mengurusi urusan kantor, dan menyempatkan diri datang ke tempat ini.” Danieru menarik tangan Rachel, ia lantas tersenyum saat Rachel kembali duduk. “Jangan khawatir, Camilla tak akan marah kepadaku dalam waktu yang lama.” “Baiklah ... aku harap kau bisa menenangkannya.” Rachel mencoba untuk tersenyum. “Apa yang membawamu datang ke sini?” tanya Danieru. “Aku hanya ingin memintamu secara langsung untuk mengurusi perusahaan keluarga. Tetapi ... melihat reaksi Camilla sepertinya akan sangat sulit bagimu,” ujar Rachel. Danieru tersenyum. “Aku akan datang bekerja besok.” Rachel menatap tak percaya. “Tap-” “Aku yakin Camilla akan mengerti,” ujar Danieru yang memotong ucapan Rachel dengan cepat. Rachel yang mendengar ucapan Danieru juga bingung harus mengatakan apa. Ia ingin meminta Danieru untuk tetap berada di samping Camilla, tetapi Rachel juga tahu jika Danieru sudah mengambil keputusan maka semuanya tak akan bisa dibantah lagi. “Baiklah ... aku mengerti. Kalau begitu, aku akan segera kembali,” ujar Rachel. Danieru kembali menahan tangan Danieru. “Aku akan mengantarmu, aku juga ingin meminta beberapa nasihat dari ibu ketika sampai di rumah.” Rachel yang mendengar keinginan Danieru tak tahu harus bagaimana. “Bahaya bagi seorang wanita hamil untuk mengemudi terlalu lama. Tempat ini juga cukup jauh dari pusat kota,” ucap pria itu lagi. Rachel mengangguk, ia juga malas untuk berdebat. Kedua orang itu kemudian pergi, mereka segera menuju ke ruang depan dan menggunakan mobil Rachel untuk kembali ke rumah keluarga besar Malaike. ... Camilla menatap kepergian Danieru dan Rachel dari jendela kamarnya. Ia tak terima dengan kepergian suaminya dengan wanita lain dan hanya bisa menangis. Rasa sakit hatinya begitu saja meninggi, lalu dengan cepat rasa sakit itu membuat napasnya sedikit sesak. Camilla menghapus kasar air mata yang menggenang di pipinya, ia segera berlalu ke atas ranjang dan membaringkan tubuhnya. Dia hanya ingin Danieru ada di dekatnya untuk sekarang, ia juga ingin menagih janji pria itu untuk memanjakannya di atas ranjang. Seandainya saja ia tak kembali kepada Danieru ... yaaa ... seandainya saja ia tak memikirkan tentang anaknya, ia tak akan melakukan hal bodoh dengan menangisi pria itu sekarang ini. Sejenak Camilla menyesali keputusannya, ia merasa dirinya terlalu lemah karena seorang anak yang bersarang di dalam rahimnya. “Apa dia juga akan mengabaikanku jika anak ini mati?” tanya Camilla dengan suara parau. Ia merasa kecewa karena suaminya sama sekali tak memedulikan keadaannya. “Ini baru sebulan, ia bahkan lebih memerhatikan wanita lain daripada aku.” Camilla memeluk gulingnya, ia merasa semakin tertekan dengan tingkah suaminya itu. “Apa aku katakan saja jika ingin berpisah dan akan menggugurkan anak ini agar ia puas?” Camilla menjambak rambutnya sendiri, ia kemudian mengelus perutnya yang masih rata. “Aku akan merasa lebih bahagia jika ini anak salah satu dari gigolo sewaanku. Setidaknya aku tak perlu tahu siapa ayahnya, dan aku bisa mengatasi kehidupanku sendiri.” Camilla menelentangkan tubuhnya, air matanya kembali mendesak untuk keluar. Ia bersedih, ia merasa dunianya runtuh. “Kenapa wanita itu harus datang di saat yang salah,” ujar Camilla dengan nada pasrah. Wanita itu kemudian duduk, ia meraih ponselnya dan menatap nomor Zinan. Ingin sekali ia meminta pria itu untuk menyembunyikannya, atau bahkan meminta pria itu untuk menggantikan Danieru. Tetapi ... “Aku mencintainya,” gumam Camilla. Diletakkannya ponsel itu perlahan, lalu menarik napasnya panjang. Camilla kemudian mengingat semua kebaikan suaminya, dan itu juga bertujuan agar ia tak memikirkan sakit hatinya. Camilla yang termenung kemudian tertawa, ingat saat dirinya dan Danieru bersama lalu melakukan hal-hal konyol. “Pria bodoh!” ujar Camilla dengan suara parau. Jujur saja ia rindu dengan kehidupannya yang dulu, tetapi semuanya tidak terlalu sama lagi. “Aku merindukan masa-masa bertengkar setiap waktu dengannya.” Camilla menatap foto pernikahan mereka, ia kemudian berdiri dan menghampiri foto itu. Di raihnya bingkai foto yang berisi foto dirinya dan Danieru, lalu melangkah ke arah balkon kamar untuk menikmati udara dingin pada malam hari. Camilla segera duduk pada sofa yang ada di balkon kamarnya dan Danieru, ia memeluk bingkai foto itu dan menarik napasnya panjang. Ia harus tenang, ia harus mencoba untuk lebih mengerti Danieru dan tidak meminta hanya Danieru yang mengerti dirinya. Setelah beberapa saat Camilla menjadi lebih tenang, ia kemudian menatap cincin pernikahan mereka. “Aku menunggumu kembali.” Wanita itu kemudian kembali masuk ke dalam kamarnya, ia menutup pintu kaca dan langsung menutupi pintu itu dengan tirai. Camilla yang sudah lebih tenang segera melangkah ke arah ranjang, ia berbaring dengan benar, menarik selimut, lalu memejamkan matanya untuk tidur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD