PP-06

1269 Words
Dua hari sudah Nadien menginap di rumah ayahnya. Dan dua hari ini pula ia tidak bertemu dengan Daniel. Tapi, hari ini kondisinya sudah mulai membaik. Nadien tak lagi dapat bisa beralasan tidak mau menemui Daniel karena keadaannya yang kurang sehat. "Maaf ya, Pa, kerjaan kantor jadi terbengkalai berhari-hari karena Nadien sakit," ujar Nadien setelah menelan suapan terakhir makan paginya hari ini. "Kan kamu sakit juga bukan kemauan kamu. Tapi benar, hari ini kamu sudah baik-baik saja? Kalau memang belum siap, jangan dipaksakan, Nak!" balas Adam sembari menatap prihatin ke arah putrinya. Andai saja ia masih sehat seperti sedia kala, pasti saat ini Nadien tidak terbebani dengan perusahaan besar yang berkali-kali diterjang badai itu. Seperti saat ini. Lagi dan lagi, perusahaan yang Adam kelola sejak masih duduk di bangku kuliah itu mengalami pailid. Dan dia sudah tidak bisa lagi berbuat banyak. Karena penyakit jantung dan livernya yang sudah tak mengizinkannya berpikir terlalu keras. Jadilah semua tanggung jawab itu harus dipikul Nadien sendirian. "Soal perusahaan-" "Pa, Papa nggak usah pikirin itu, ya! Nadien bisa, kok. Semua akan baik-baik saja dan kembali seperti sedia kala. Papa jangan terlalu memikirkannya! Nanti Papa sakit," potong Nadien lembut. Adam meraih jemari putrinya, kemudian menggenggamnya erat. "Papa beruntung punya putri seperti kamu, sayang," ungkap Adam. Nadien bangkit berdiri, kemudian memeluk ayahnya dari belakang. "Nadien juga merasa sangat beruntung punya Papa yang baik hati dan selalu sayang sama Nadien," balas Nadien. * Ini adalah hari pertama Nadien kembali masuk kantor setelah tiga hari beristirahat karena gangguan kesehatannya. Amat banyak berkas yang harus ia pelajari, belum lagi keluhan beberapa pegawai yang gajinya telat perusahaan bayarkan. Itu semua karena kegagalan produksi yang sempat terjadi beberapa minggu lalu, menyebabkan keuangan perusahaan terguncang dan Nadien harus pintar-pintar memutar uangnya. Kali ini, Nadien sedang berbicara dengan sekretarisnya dan salah satu staf keuangan perusahaannya. "Tapi kas perusahaan harusnya nggak segini, dong. Kemarin sempat saya hitung harusnya masih bisa untuk bayar biaya produksi dan gaji pegawai untuk dua bulan ke depan," ujar Nadien sembari membolak-balik laporan keuangan yang baru saja pegawainya terangkan. "Di situ sudah jelas, Bu, ada pembelian beberapa material yang dilakukan di luar rencana karena kegagalan produksi kemarin. Dan saya-" "Tunggu! Kenapa anggaran di tanggal 4 November ini bisa membengkak? Ini kalian beli stock untuk beberapa bulan ke depan?" selidik Nadien sambil menunjukkan bagian yang terlihat janggal. "Itu bukan saya yang menangani, Bu. Tapi memang saat itu saya dengar kepala pabrik yang di Palembang meminta biaya produksi lebih, karena mereka sedang ada pesanan dalam jumlah banyak," terang staf keuangan Nadien yang bernama Sekar. Nadien kembali membaca laporan keuangan itu. Kepalanya sampai terasa nyeri karena dipaksa berpikir terlalu keras. "Bu, Ibu tidak apa-apa?" tanya sekretaris Nadien khawatir.  Nadien menggeleng. Setelah memijat sebentar pelipisnya, ia kembali membaca laporan keuangan itu. "Memangnya pesanan untuk kapan? Yang mana DP nya, kok nggak jelas? Tolong tunjukkan income dari project itu!" pinta Nadien. Kali ini giliran staf keuangan itu yang membaca laporannya. Wajahnya terlihat kaku, kemudian dengan ragu ia memperlihatkan kembali laporan itu pada Nadien. "I.. ini, Bu. Tanggal 2 ada income senilai-" "Tunggu, Sekar! Itu DP nya? Bahkan itu tidak sampai sepertiga dari modal yang kita keluarkan," potong Nadien. Sekar menelan salivanya kasar. Nadien pun semakin merasa ada kejanggalan di sini. Bagaimana bisa perusahaannya menerima project dengan uang muka yang bahkan tidak sampai untuk membiayai sepertiga biaya produksi? "Saya-" "Panggilkan Pak Raihan ke sini! Saya mau dengar langsung dari Beliau," pinta Nadien. Raihan adalah manajer keuangan yang biasanya menangani urusan biaya produksi. Pasti Beliau tahu lebih banyak dari pada Sekar. Sekar tak menjawab. Ia malah saling lirik-lirikan dengan Nuraini, sekretaris Nadien. "Kenapa? Tolong cepat! Saya masih harus mengecek banyak laporan hari ini," ujar Nadien tegas. "Begini, Bu. Sebenarnya sejak kemarin Pak Raihan tidak masuk kantor. Saya juga sudah beberapa kali menghubunginya tapi nomornya tidak aktif," timpal Nuraini. Kepala Nadien semakin nyut-nyutan rasanya. "Oke, kalau begitu kirimkan alamatnya! Biar saya coba mencarinya ke sana," Nadien. "Rumahnya sudah dijual, Bu. Kemarin sepulang kerja saya sudah ke sana, tapi katanya sudah dijual. Dan dijualnya melalui perantara jadi saya kesusahan melacaknya," jawab Sekar. Sekarang Nadien mulai curiga sengan manajer keuangannya itu. Apakah Beliau yang ada di balik semua ini? "Ssshhh..." Nadien meringis. Kepalanya kembali terasa pening. "Ibu tidak apa-apa? Apa perlu saya antar ke dokter?" tawar Nuraini. Nadien menggeleng. "Ambilkan saja saya obat dan minum. Saya masih banyak pekerjaan yang tidak bisa saya tinggalkan," balasnya. "Lalu, Sekar, coba ajukan pinjaman ke bank untuk menutup gaji pegawai bulan ini, dan biaya produksi di pabrik-pabrik yang masih bisa dipercayai!" imbuhnya. "Baik, Bu," jawab Sekar dan Nuraini serentak. Setelah kedua pegawainya pergi, Nadien kembali membaca tumpukan berkas di hadapannya. Ia harus bisa menyelesaikannya hari ini. Supaya besok ia bisa fokus mencari tambahan uang untuk menutup kekurangan perusahaannya. Apakah kali ini ia harus meminta bantuan pada Daniel? Perusahaan suaminya itu sedang berkembang pesat sekarang. Pasti tak sulit mendapat pinjaman dari perusahaan Daniel. Atau mungkin, malah sekalian menawarkan kerja sama agar Daniel mau berinvestasi di perusahaan Nadien. Tapi, mengingat hubungan mereka yang masih renggang seperti ini, Nadien ragu. Bahkan, dua hari ini Daniel sama sekali tak menjenguknya. Jangankan menjenguk, mengangkat teleponnya saja tidak pernah. Namun pesan yang Nadien sampaikan selalu dibaca oleh laki-laki itu. Menunjukkan jika ia sepertinya memang sengaja menghindar dari Nadien. "Setelah kerja aku harus menemui dan bicara dengannya. Kali ini, hanya dia yang bisa menolongku," gumam Nadien membulatkan tekadnya. * Waktu menunjukkan pukul 15.28. Nadien pulang lebih cepat agar ia bisa ke kantor Daniel terlebih dahulu. Tapi, baru saja masuk ke gedung perusahaan Daniel yang ukurannya hampir dua kali lipat dari miliknya itu, seorang pegawai sudah menghalangi jalannya. "Maaf, Pak Danielnya sedang tidak di tempat, Bu," ujar pegawai itu. "Di mana, ya? Kalau cuma meeting atau cari makan, saya bisa tunggu di ruangannya kok," balas Nadien. "Bukan, Bu. Pak Daniel sedang ada dinas ke Kalimantan dari kemarin sore, Bu. Sepertinya besok siang sudah kembali, karena besok lusa ada meeting intern kantor," terang pegawai itu panjang lebar. Nadien mengangguk paham. Hatinya sedikit kecewa. Bahkan, pergi ke luar kota saja Daniel sama sekali tidak basa-basi meminta izin padanya. "O.. oh, ya sudah, Mbak. Kalau begitu saya pamit pulang, ya?" Cepat-cepat, Nadien memutar badannya dan berlari kecil menuju parkiran. Hatinya terasa sesak. Apakah setidak berarti itu Nadien di mata Daniel? Sementara pegawai yang tadi sempat berbincang dengan Nadien hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya karena heran. "Aneh sekali, masak suaminya ke luar kota nggak tahu. Apa jangan-jangan mereka sedang ada masalah dan tidak tinggal seatap ya? Wah.. kalau benar, pasti itu masalah besar. Bisa jadi bahan gosip, nih," ujarnya sambil berjalan riang menuju ruang kerjanya. Berbeda dengan pegawai yang sedang gembira itu, sampainya di mobil, Nadien tak bisa lagi membendung air matanya. Ia benar-benar merasa diabaikan oleh suaminya sendiri. Setidaknya, walau Daniel belum bisa mempercayai Nadien, tidak bisakah Daniel bersikap biasa saja? Bisakah laki-laki itu tidak menghindarinya seperti ini? Nadien mencengkram erat kemudi mobilnya. Wajahnya bahkan sampai memerah menahan emosi yang meluap-luap. Ia marah, ia kecewa mengetahui Daniel tidak mempercayainya dan tega melakukan ini padanya. Tapi, memangnya dia bisa apa? Ia bahkan tidak bisa menyalahlan Daniel, karena semua masalah ini sebenarnya hanya karena sebuah kesalah pahaman. Ia yakin, suatu hari kalian akan semakin besar.  *** Bersambung... Kenapa cerita ini slow banget updatenya seperti nggak ada kepastian? Teman-teman semuanya, sebenarnya aku sudah punya stock bab cerita ini banyak. Cuma, masalahnya cerita ini belum kontrak sama Innovel, dan ada beberapa hal uang membuat aku ragu untuk lanjut sekarang, jadi nunggu itu dulu, yaa...aku malah berencana buat cetak dulu sebelum kontrak di Innovel. Karena kalau besok-besok sudah nggak bisa cetak. Adakah yang mau beli semisal Pemeran Pengganti aku cetak sekitar awal tahun depan? Jangan lupa masukkam ke library agar mudah nyarinya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD