Pernyataan Cinta

1081 Words
REVANO 'Kamu pulang jam berapa? Mau aku jemput?' Pesan wa terkirim ke nomor Randita. Beberapa menit kemudian gue dapat balasan. 'Nggak perlu. Makasih. Aku nggak tahu pulang jam berapa. Pekerjaanku masih banyak.' Gue mengetik balasan lagi. 'Nggak apa-apa, kamu kasih tau aku saja kalau sudah mau pulang. Aku pasti jemput.' Gue menengok jam yang menempel pada dinding. Sudah pukul lima sore. Gue alihkan pandangan ke layar ponsel kembali. Randita belum membalas chat gue. Dia mungkin sedang sibuk. Sehabis mahgrib gue keluar  dan  naik menuju unit Randita. Memastikan dia pulang atau belum. Beberapa kali gue tekan bel unitnya, tidak ada reaksi apa pun dari dalamnya. Akhirnya gue putuskan keluar apartemen menuju rumah Rio. Jarak antara rumah Rio dengan tempat kerja Randita lebih dekat. Jadi, barang kali Randita minta dijemput, dia tidak perlu nunggu lama. Astaga, gue terlalu percaya diri. Herio alias Rio terkaget-kaget dengan kedatangan gue. Pasalnya gue memang sudah jarang main ke rumahnya. Tidak ada siapa pun di rumahnya. Hanya ada adik dan pembantunya. "Tumben lo malam-malam ke sini? Ada angin apa nih?" Gue nggak terlalu peduli dengan pertanyaannya. Yang jadi puasat perhatian gue sekarang adalah meja belajar Rio yang penuh dengan buku berserakan. Tumben sekali dia mau membuka buku? "Lo lagi belajar?" Rio terlihat salah tingkah, dia lalu bergerak menutup buku-buku belajarnya. "Hehe, ya gue kan pengin pinter kayak lo, makanya belajar." "Goodboy!" "Lo mau ajarin gue nggak?" "Wani piro?" "Ah elo. Ini kan nggak lagi ulangan. Gue boleh dong tanda-tanya. Punya otak jenius itu bagi-bagi jangan pelit." Rio memang pintar bicara. Kadang gue sendiri mengakui sering terprovokasi olehnya. Dia berbahaya juga. Kalau sudah menginginkan sesuatu hanya modal bersilat lidah, maka keinginan itu sudah pasti didapatnya. Pokoknya dia itu sudah seperti  MLM lagi cari member kalau sudah bicara. "Oke." Apa salahnya mengajari sesuatu yang belum dia pahami? Sukanya gue dari Rio tuh gini, dia mau berjuang keras. Nggak seperti anak-anak yang lain, kalau nggak bisa ya sudah nggak mau belajar lagi. Tak terasa gue sudah mengajari Rio lebih dari dua jam, sampai gue lupa tujuan ke sini itu untuk menjemput Randita. "Sial! Gue lupa kalau harus menjemput Randita." Rio terbelalak. "Progress lo udah sejauh itu? Wah, wah lumayan cepet juga gerakan lo." Gue cuma bisa nyengir. Nggak mungkin kan gue ceritain yang sebenarnya. Sudah pukul sembilan malam, semoga saja Randita belum pulang. Aku mengeluarkan ponsel dan menghubungi nomornya. Pada deringan ketiga baru diangkat. "Randita, apa kamu udah pulang?" tanya gue langsung. "Ini baru akan siap-siap pulang, sedang beberes dulu." "Jangan kemana-mana ya. Aku jemput kamu." "Nggak perlu, Revan. Aku--" Klik. Gue mutusin sepihak, nggak mau mendengar kata penolakan lagi darinya. Segera gue pamit pada Rio dan melesat menuju kantornya. "Semangat, Bro!" seru Rio saat mengantar gue keluar. Tidak memerlukan waktu lama. Hanya, sekitar sepuluh menit. Jarak rumah Rio dan kantor Randita memang dekat. Lobi kantor terlihat sepi. Hanya ada petugas keamanan yang wira-wiri berjaga. Gue duduk di salah satu kursi tunggu yang ada di situ. Tidak berapa lama gue bisa lihat, sosok Randita yang baru keluar dari lift. Dia tidak sendiri ada dua orang lainnya. Cowok dan cewek. Mereka terlihat akrab. Gue melambai pada Randita ketika dia menyadari keberadaan gue. Mereka seperti terlibat obrolan kecil, apa yang sedang mereka diskusikan? Gue langsung berdiri saat langkah Randita kian mendekat. Di sebelahnya, cowok dan cewek yang gue duga temannya tampak senyum-senyum nggak jelas. "Kita duluan ya, Ran," kata si cewek. "Hati-hati ya, udah malam. Pulang-pulang langsung bobo aja. Biar besok pagi nggak telat," ujar si cowok membuat Randita mendelik ke arahnya. Kemudian mereka berlalu keluar lobi. "Kok kamu udah sampai aja? Jarak apartemen ke sini kan lumayan jauh."  Wajah Randita tetap berbinar meskipun jejak lelah jelas terlihat. "Kebetulan aku habis ke rumah teman. Rumahnya lumayan dekat sini. Ayo pulang." "Oke." "Kamu udah makan?" "Tadi udah makan roti sih." "Cuma roti? Emangnya kenyang?" "Nggak sih." "Kalau gitu kita makan. Kamu nggak papa makan makanan berat malam-malam?" tanya gue seraya membuka pintu mobil untuknya. "Nggak masalah sih. Badanku susah gemuk. Thank you." Dia naik dan duduk. Setelah itu gue memutar menuju pintu kemudi. "Oke, kamu mau makan apa?" "Apa aja lah." "Gimana kalau makanan yang mamaku kirim?" "Boleh, di unitku masih ada." Gue mulai menjalankan mobil meninggalkan pelataran parkir kantor. "Di unitku aja. Kebetulan aku sudah menanak nasi. Jadi bisa langsung makan." Sumpah malam ini, gue bahagia banget bisa menjemput Randita di kantornya. Dia nggak nolak sama sekali. Bahkan ketika gue membawanya masuk ke unit apartemen yang gue tinggali. "Ini unit milik kamu?" "Bukan, ini punya kakakku. Dia sekarang ada di UK ikut suaminya. Jadi , aku yang menempati unitnya daripada dibiarkan kosong." Gue mulai memanaskan lauk ke microwave. "Biar aku bantu." "Nggak kamu duduk aja di situ. Biar aku yang bekerja. Ok?" Randita tersenyum lantas menurut duduk. Nggak lama kemudian, gue sudah selesai menyiapkan semuanya. "Wah, jadinya nasi bebek. Aku suka. Terima kasih ya." Randita menggosok-gosokkan telapak tangannya, seolah telah melihat makanan terlezat di dunia. Gue bahagia banget melihat senyum Randita yang merekah. "Makanlah." Randita mengangguk antusias dan mulai melahap makanannya. "Wah, pedasnya mantap. Mama kamu jago bikin pedesan bebek. Daging bebeknya empuk lagi. Aku nggak susah ngunyahnya." "Mama memang pandai memasak menu apa pun." Setelah selesai makan, kami duduk di ruang tengah menghadap tv. Gue nggak terlalu peduli acara siaran tv. Yang gue lakuin saat ini hanya puas-puas memandangi wajah Randita yang cantik. "Boleh nanya sesuatu?" "Ya?" Randita menoleh sekilas lalau matanya fokus kembali pada siaran tv. "Apa kamu sudah punya pacar?" Randita nampak tertegun, kini perhatiannya tertuju ke gue, penuh. "Kalau sudah kenapa, kalau belum kenapa?"  "Kalau sudah, putusin aja. Terus pacaran sama aku. Kalau belum, ya berarti sama. Jadi, gimana kalau kita pacaran aja?" Mata Randita berkedip lucu mendengar jawaban gue. Apa gue terlalu to the point ya? Tapi beberapa detik kemudian, tawa Randita meledak. Apanya yang lucu coba? "Aku serius." Tawanya kontan terhenti. Sejurus kemudian dia menatapku lurus. "Jangan ngaco, Revan. Umur kita itu terpaut jauh. Emang kamu mau  punya pacar yang lebih tua? Nggak kan?" "Aku nggak masalah. Aku sudah suka sama kamu sejak pertama kali bertemu." "Aku yakin itu cuma perasaan sesaat. Kalau kamu bergaul sama teman-teman sebaya kamu, kamu pasti lupa soal perasaanmu." "Ini bukan hanya perasaan sesaat. Aku sangat yakin dengan perasaanku. Banyak teman cewek di sekolah yang terang-terangan suka padaku. Tapi di antara meraka belum ada yang membuatku sekonyol ini." Randita menggeser duduknya. Sepertinya dia mulai terintimidasi. Ini bahaya, jangan sampai setelah ini dia malah menjauhi gue. "Aku pulang ya, ini sudah malam." Tuh kan? Lu bodoh Revan, harusnya lu bisa nahan diri. Pasti Randita sekarang mikir gue cuma cowok ABG labil yang lagi ngobrol cinta tanpa mau berkaca. Baiklah, gue harus mengalah dulu dan membiarkan dia pulang. "Ya sudah, aku akan mengantarmu." 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD