Masa Lalu Syifa

1192 Words
“Ada penculik di sekolah kita!” jawab Syifa dengan napas terengah-engah. Sejujurnya, ia masih takut atas kejadian barusan. Bahkan, Syifa tak menyangka ia berani menggigit tangan lelaki itu. Padahal, bisa saja si penculik membawa senjata tajam dan menusuknya. Pikiran-pikiran seperti itu mendadak berkelebat di benak Syifa. “Di mana penculiknya?” tanya rekan Syifa yang tak kalah terkejut mendengar kabar itu. Belum sempat Syifa menjawab, sosok yang sedang dibicarakan muncul di depan kelas. “Penculiknya di sini,” ucap lelaki itu dengan senyum yang teramat lebar, membuat Syifa bergidik ngeri. “Om!” teriak Hanan seketika. “Hah?” Syifa terperangah mendengar Hanan memanggil lelaki itu dengan sebutan ‘Om’. “O-Om?” Syifa tergagap, sambil memandang Hanan dan lelaki yang berdiri di depan pintu kelas, bergantian. “Bu Syifa, Hanan mau pulang sama Om Ezra.” Anak itu berlari menghampiri lelaki yang ia sebut Om. “Maaf, Anda ….” “Saya Ezra, adik papanya Hanan,” ucap lelaki itu dengan senyum ramah yang tak lepas dari wajah tampannya. Berbeda sekali dengan sang kakak—Abrar, yang terlihat sangat dingin dan kaku. Jika Abrar berpenampilan begitu rapi khas pekerja kantoran, Ezra justru tampak seperti seorang mahasiswa abadi, yang tak lulus kuliah bertahun-tahun dan hanya gemar berkumpul-kumpul bersama temannya. “Saya diminta Kak Abrar untuk menjemput Hanan karena sopirnya lagi ditugaskan ke tempat lain.” Lelaki itu menunjukkan pesan di aplikasi w******p dari Abrar. Rekan Syifa menghampiri Ezra dan melihat isi pesan tersebut. Ia kemudian berbalik dan menggerakkan bibirnya tanpa suara, memberi kode bahwa lelaki itu tidak berbohong. Seketika Syifa merasa ingin berlari sekencangnya, meninggalkan sekolah itu dan orang-orang yang kini menatapnya dengan senyum yang membuat ia merasa lebih baik pingsan saat itu juga. Rekannya juga tak luput menertawakannya meski tanpa suara. “Maaf, Mas. Kami salah paham,” ujar rekan Syifa. “Gak apa-apa. Justru saya senang karena guru-guru di sekolah ini sangat peduli pada muridnya,” jawab lelaki bernama Ezra itu sambil melirik Syifa. Sejenak pandangan mereka bertemu, membuat Syifa semakin tak berani memperlihatkan wajahnya. “Kalau begitu saya permisi dulu,” pamit guru tersebut sebelum kembali memandang Syifa dengan senyum mengejek. Syifa memberanikan diri menghampiri Ezra dan Hanan. “Saya minta maaf. Kalau masnya terluka, saya akan bertanggung jawab,” ucapnya gugup. Ia berbicara pada Ezra, tetapi matanya malah terus memandang Hanan. Syifa masih malu untuk menatap lelaki itu atas perbuatan yang ia lakukan tadi. “Ah, aduh! Kepala saya masih sakit. Mungkin karena dipukul tadi.” Ezra tampak meringis sambil memegangi kepalanya. “A-apa kita perlu ke rumah sakit?” tanya Syifa yang masih tampak gugup dan semakin merasa bersalah. “Saya takut rumah sakit, Bu Guru. Apa Bu Guru ada waktu luang besok?” tanyanya. Besok adalah hari Sabtu. Anak-anak libur sekolah di akhir pekan. Syifa memang tak ada kegiatan mengajar, tetapi ia harus membuat bolu pesanan pelanggannya. “Kalau Bu Guru sibuk, gak apa-apa. Saya cukup istirahat saja juga sudah tidak sakit lagi,” ucap lelaki itu dengan lirih, membuat Syifa tak kuasa menolak. “Sa-saya luang besok,” sahutnya. Membuat bolu bisa ia kerjakan malam ini, pikirnya. Lelaki itu langsung menampakkan deretan gigi-giginya yang putih dan rapih. “Kalau begitu, saya tunggu besok pagi di rumah Hanan, ya, Bu Guru.” Ezra melambaikan tangan dan berbalik tanpa menunggu jawaban Syifa. Ia menoleh sejenak dan kembali tersenyum pada gadis itu saat sampai di gerbang sekolah, lalu kembali melangkah bersama Hanan menuju motornya yang terparkir di luar. Syifa tampak seperti orang linglung yang belum sadar sepenuhnya. Ia terperangah beberapa saat, lalu menyadari apa yang terjadi. “Ya Allah, rasanya ingin pingsan saja, terus yang terjadi tadi cuma mimpi,” gumamnya. *** Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 00.15. Di saat orang-orang sudah terlelap dalam mimpinya, Syifa masih sibuk berkutat dengan mixer dan oven untuk membuat bolu pisang dan pandan pesanan pelanggannya. Selain mengajar, ia juga mencari uang tambahan dengan cara membuat bolu berdasarkan pesanan, yang ia pasarkan lewat media sosial. Tubuhnya sudah mulai lelah dan matanya berat untuk dibuka. Ia melirik sepuluh bolu pisang yang sudah siap untuk dimasukkan ke dalam kotak. Sementara, masih ada delapan delapan bolu pandan yang masih belum diselesaikan. Jika bukan karena kecerobohannya siang tadi di sekolah, ia tak harus menemui Ezra di rumah Hanan besok pagi. Waktunya bisa digunakan untuk menyelesaikan sisa bolu yang belum dibuat. Syifa menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Ia menepuk-nepuk pelan kedua pipinya dan tak ingin menyesali apa yang telah terjadi. “Ya Allah, kuatkan aku,” doanya dengan lirih, lalu ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya agar ngantuknya hilang. Ia menyalakan mixer untuk membuat adonan lagi, lalu memasukkan adonan yang sudah jadi ke dalam cetakan, lalu memasukkannya ke oven kompor berukuran sedang. Semua peralatan itu ia beli dari hasil menabung sedikit demi sedikit saat kuliah. Sambil menunggu adonan jadi dan matang, Syifa mengingat kembali masa lalunya. Ia merasa beruntung bisa mendapatkan beasiswa saat kuliah hingga meraih gelar sarjana di jurusan pendidikan guru TK. Syifa sangat menyukai anak-anak hingga ia memutuskan mengambil jurusan tersebut agar bisa selalu dekat dengan mereka. Ia bahagia setiap kali melihat senyum dan tawa anak-anak polos itu. Hal itu sedikit mengobati luka hatinya akibat masa kecil yang suram, tanpa kasih sayang orang tua. Hanya sampai usia lima tahun ia bisa merasakan kasih sayang ayahnya sebelum bercerai dengan sang ibu dan meninggalkan mereka. Sementara, setahun kemudian ibunya juga meninggalkannya setelah menikah dengan lelaki lain. Syifa kecil hanya tinggal berdua dengan sang nenek yang bekerja sebagai penyapu jalanan. Neneknya—Nek Imah lah yang selama ini membesarkannya, merawatnya dengan penuh cinta. Nek Imah yang membuat Syifa kuat dan bertahan hingga saat ini. Mengenang semua hal yang terjadi di masa kecilnya, tanpa sadar air matanya mengalir. Ia tak berniat untuk mengusapnya dan membiarkan kedua pipinya basah. “Syifa ….” Sebuah suara mengejutkannya. Syifa segera menghapus air matanya. “Nenek. Apa nenek terganggu dengan suara mixer?” tanyanya. Wanita tua itu menghampiri sang cucu yang sangat ia sayangi. “Enggak.” “Terus, kenapa Nenek bangun? Nenek harus banyak istirahat. Ayo Syifa antar lagi ke kamar.” Nek Imah menggeleng. Ia mengusap pipi cucunya. “Kamu nangis, Nak?” “Enggak, Nek. Mata Syifa pedih karena mengantuk.” “Jangan bohong sama nenek.” “Enggak. Syifa gak bohong,” jawabnya dengan memaksakan senyum. Ia selalu berusaha tampak tegar di hadapan neneknya. Syifa tak ingin beban sang nenek bertambah lagi. Baginya, Nek Imah merupakan orang yang paling berharga dalam hidupnya. Ia ingin membahagiakan orang tua itu. Nek Imah mengangguk percaya. Namun, dalam hatinya ia tahu bahwa cucunya itu selalu saja menyembunyikan kesedihan darinya. “Nenek bantu kamu, ya.” “Jangan. Tadi kan Nenek sudah bantu Syifa juga sampai larut. Nenek kembali tidur saja. Syifa gak mau nenek sakit.” “Kamu juga harus jaga kesehatan. Jangan terlalu dipaksakan jika tidak sanggup.” Syifa mengangguk dan tersenyum. “Tenang, Nek. Syifa kan gadis yang kuat!” Ia menepuk satu lengannya untuk menunjukkan ototnya pada sang nenek, membuat Nek Imah tertawa kecil. Setelah neneknya kembali ke kamar, Syifa kembali sibuk dengan bolu-bolu di depannya. Semangatnya kembali muncul setelah mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari lisan wanita penyayang itu. “Terima kasih, Nek,” gumamnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD