Anak-anak TK berlarian di taman. Sebagian bermain di permainan yang tersedia. Syifa kembali menghirup udara segar di sekolah setelah beberapa hari libur merawat neneknya. Ia bisa kembali menikmati tawa riang anak-anak didiknya, yang membuat hari-harinya penuh warna.
“Bu Syifaa ...!” Suara murid yang tak asing lagi berteriak memanggilnya. Hanan berlari setelah turun dari mobil dan langsung memeluk guru kesayangannya.
Syifa tersenyum dan membalas pelukan muridnya.
“Apakah Nek Imah sudah sehat?” tanya Abrar menghampiri Syifa.
“Alhamdulillah, Pak.”
“Kalau begitu, apa kamu mau terima tawaran saya?”
Syifa mengernyit tanda heran. Ia tidak paham apa yang dimaksud lelaki di hadapannya.
“Jadi pengasuh anak-anak saya. Saya menunggu jawaban.”
Mendengar pernyataan Abrar, Syifa lantas menoleh kanan kiri. Ia takut ada orang tua murid atau guru lain yang mendengarnya.
“Bagaimana?” Abrar tampak tak sabar menunggu jawaban Syifa.
“Maaf, Pak. Saya tidak bisa. Sepulang mengajar saya harus merawat nenek saya.”
“Saya bisa mencarikan dokter terbaik untuk nenek kamu. Tidak perlu khawatir tentang biaya.”
Ucapan Abrar membuat Syifa semakin merasa tidak enak. Ia tak ingin meneruskan pembicaraan ini. Ada banyak pasang mata dan telinga yang siap menimbulkan kesalahpahaman.
“Maaf, Pak. Saya harus segera ke kelas.”
Tanpa basa-basi lagi, Syifa segera meninggalkan Abrar sambil menggandeng Hanan menuju kelas. Ia benar-benar tidak mengerti mengapa orang tua Hanan sangat menginginkannya untuk menjadi pengasuh anak-anaknya. Padahal, ada banyak pengasuh berpengalaman yang bisa lelaki pekerjaan, dibanding dirinya yang hanya sekadar menjadi guru TK.
***
“Syifa, ikut ke ruangan saya,” perintah kepala sekolah begitu Syifa tiba di ruangan guru saat jam istirahat mengajar. Ia pun bergegas menuju ruangan yang dimaksud.
“Syifa, apa benar gosip yang beredar tentang kamu?” tanya wanita berkacamata itu tanpa basa-basi setelah Syifa duduk di depannya, yang hanya dihalangi oleh sebuah meja kerja.
“Maaf. Gosip apa, ya, Bu?” tanya Syifa heran. Ia sama sekali tak mengetahui apa pun dan tak mengerti mengapa kepala sekolah memanggilnya.
“Kamu pura-pura tidak tahu, atau memang tidak mau tahu?” Ucapan kepala sekolah yang terasa seperti sindiran itu membuat Syifa semakin bertanya-tanya.
“Saya mendengar kabat akhir-akhir ini. Kamu dekat sekali dengan salah seorang murid dan orang tuanya. Apa itu benar, Syifa?” tanya kepala sekolah lagi.
“Saya dekat dengan semua murid, Bu,” jawab Syifa dengan tetap tenang.
“Dengan Hanan?”
“Termasuk Hanan.”
“Tidak lebih?”
“Maaf, Bu. Saya tidak mengerti maksud Bu Kepala.”
“Semua orang membicarakanmu, Syifa. Termasuk guru-guru dan orang tua murid. Katanya kamu terlalu dekat dengan Hanan, beda dengan murid lain. Jangan sampai kamu pilih kasih.”
“Astaghfirullah. Itu tidak benar, Bu. Saya tidak pilih kasih. Saya dekat dengan anak itu karena dia berbeda, Bu. Dia tidak bisa bersosialisasi, jadi saya mencoba untuk mengajarkannya agar mulai membuka diri.”
“Bukan karena papanya?” selidik kepala sekolah.
“Maksud Ibu?”
“Semua orang tahu kalau papanya Hanan itu seorang duda, Syifa. Jangan bilang kamu juga tidak tahu. Jadi, bukan tidak mungkin orang-orang mengira ada hubungan khusus kamu dengan wali murid, papanya Hanan.”
Penjelasan kepala sekolah bagai batu besar yang menghantam d**a Syifa. Bagaimana mungkin orang-orang mengira ia ada hubungan dengan papanya Hanan.
“Bu, bagaimana bisa gosip seperti itu beredar?”
“Harusnya saya yang tanya itu ke kamu, Syifa!”
“Tapi saya benar-benar tidak tahu, Bu. Dan saya sama sekali tidak ada hubungan apa pun dengan orang tua Hanan atau wali murid lainnya.”
“Lalu, mengapa kamu sering terlihat berbicara berdua dengan Pak Abrar di sekolah? Ada juga yang melihat kamu dan Abrar di rumah sakit. Kamu mau menyangkal apa, Syifa?”
Syifa tak mampu lagi berkata-kata. Ia tidak tahu harus menjelaskan apa kepada kepala sekolah. Tidak mungkin ia mengatakan terus terang bahwa Abrar memintanya menjadi pengasuh. Juga perihal pertemuan mereka di rumah sakit. Syifa benar-benar bingung saat ini.
“Kamu tidak bisa menyangkal?” Kepala sekolah tampak semakin memojokkannya.
“Saya hanya bisa bilang, semua gosip itu tidak benar, Bu. Saya bersumpah.”
“Baiklah. Saya tidak akan memaksamu menjelaskannya sekarang. Saya harap kamu bisa lebih profesional dan menjaga sikap sebagai seorang guru, dan menjaga nama baik sekolah.”
***
Syifa pulang ke rumah sang nenek dengan wajah sendu. Ia tak menyangka kedekatannya dengan Hanan akan menimbulkan kesalahpahaman di sekolah, bahkan hingga para wali murid. Ia hanya ingin membuat Hanan bisa menerima dirinya sendiri dan bisa bergaul seperti anak-anak lainnya.
“Kamu kenapa, Nak?” tanya Nek Imah, melihat cucunya lesu sepulang mengajar.
“Tidak kenapa-kenapa, Nek.”
“Kamu tidak bisa menutupi kebohongan dari Nenek.”
Syifa tertunduk dan mengangguk pelan.
“Coba cerita pada Nenek,” pinta Nek Imah. Syifa pun akhirnya jujur dan menjelaskan semua hal yang membuatnya tampak tidak bersemangat.
“Syifa bingung harus bagaimana, Nek.”
“Jika kamu tidak mau, kamu harus tegas menolak permintaan wali muridmu.”
Syifa hanya bisa mengangguk. Ia sendiri tidak yakin orang seperti Abrar akan menyerah meski ia menolaknya dengan tegas.
“Ya sudah, kamu makan dulu, lalu istirahat,” ujar Nek Imah.
Baru saja Syifa bersiap meletakkan tasnya di kamar, ponselnya berdering. Sebuah nomor telepon rumah tertera di layar.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam. Neng Syifa, ini Bi Sumi.” Suara di seberang telepon terdengar panik, membuat Syifa khawatir seketika.
“Ada apa, Bi?”
“Hanan, Neng. Hanan jatuh dari tangga!”
“Apa?!”
“Tolong ke sini, Neng. Hanan manggil-manggil Neng Syifa terus.”
“I-iya, Bi. Saya akan segera ke sana!” Syifa menutup telepon. Wajahnya tampak sangat khawatir.
“Ada apa, Nak?” tanya Nek Imah yang turut khawatir.
“Hanan jatuh dari tangga, Nek. Dia manggil-manggil Syifa terus.”
“Ya sudah, kamu cepat ke sana.”
“Nenek tidak apa-apa Syifa tinggal sendiri?”
“Tidak apa-apa. Nenek sehat. Pergilah.”
“Syifa pergi dulu, Nek. Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.”
Gadis itu segera meluncur ke rumah Abrar menggunakan kendaraan roda dua yang selalu menemani ke mana pun ia pergi. Jantung berdetak cepat. Ia sangat mengkhawatirkan kondisi anak muridnya itu.
Sesampainya di rumah Abrar, Syifa segera menghampiri Hanan yang terus mengigau, memanggil-manggil namanya.
“Hanan kenapa, Bi?” tanya Syifa yang sangat khawatir dengan kondisi Hanan.
“Tadi bermain dengan Faqih saat Bi Sumi ke dapur. Tau-tau Hanan sudah jatuh dari tangga dan tidak sadarkan diri, Neng. Bi Sumi tidak tahu harus berbuat apa.”Bi Sumi yang tak kalah khawatir, sampai meneteskan air mata menjelaskan pada Syifa.
“Apa sudah menghubungi Pak Abrar?”
“Sudah, tapi kata sekretarisnya, Pak Abrar sedang rapat.”
“Lalu bagaimana, Bi? Kita harus bawa Hanan ke rumah sakit!”
“Ikut denganku!” Ezra tiba-tiba masuk ke kamar Hanan dan bergegas menggendong keponakannya itu. Bi Sumi sebelumnya juga menelepon Ezra untuk meminta bantuan karena Abrar tak bisa dihubungi. Pemuda itu pun segera meninggalkan pekerjaannya menuju rumah sang kakak.
Syifa bergegas mengikuti Ezra, sementara Bi Sumi menjaga Faqih di rumah.
Dengan motornya, Ezra membawa Hanan bersama Syifa ke rumah sakit. Ia lajukan kendaraannya dengan kencang menembus jalanan ibukota. Hatinya tak kalah panik melihat keponakannya terbaring dengan memar di kepala dan terus mengigau.
Dokter memeriksa kondisi Hanan dari kepala hingga kaki, memastikan tidak ada cedera fatal yang dialami oleh anak malang itu.
“Dari hasil pemeriksaan, tidak ada cedera serius yang dialami Adik Hanan. Tubuhnya hanya syok akibat benturan,” jelas dokter.
Ezra dan Syifa sedikit tenang mendengarnya. Namun, Hanan masih menyebut-nyebut nama Syifa. Gadis itu pun segera memeluk muridnya untuk memberikan ketenangan.
“Hanan, ini Bu Syifa. Bu Syifa ada di sini, sama kamu. Ayo bangun, Sayang,” rintih Syifa. Air mata menggenang di pelupuknya. Syifa berusaha menahan tangis agar tidak tampak lemah dan rapuh.
“Ini Bu Syifa. Tenang, ya, Sayang. Jangan takut ....” Syifa terus berusaha menenangkan Hanan sembari mengelus lembut kepala anak itu.