Bab 18 Langkah Antisipasi

1176 Words
Sella berangkat ke kantor lebih pagi dari biasanya. Dalam perjalanan ia sengaja mampir membeli dua cup kopi hitam dan Butter Croissant untuk sarapan. Beberapa rekan kerja yang kebetulan juga baru datang menyapa begitu memasuki lobi kantor. Sella menanggapinya dengan wajah cerah disusul senyuman simpul. Sella menggunakan lift, kebetulan belum banyak yang datang sehingga cukup lengang. Baru pintu hendak ditutup, sebuah tangan menahannya dari luar sehingga pintunya tidak jadi tertutup. Penampakan sosok tegap Erick di depan lift membuat Sella spontan mundur untuk memberikan ruang. Rasa segan memang kerap kali hadir dalam diri Sella. Seramah apa pun sikap Erick padanya, tetap saja kehadirannya yang tiba-tiba membuat Sella butuh penyesuaian diri. "Kau belum sarapan?" Erick melirik ke arah barang bawaan Sella. "Belum. Aku sengaja ingin sarapan Croissant. Apa kau mau? Kebetulan aku membeli dua," tawar Sella terlihat tulus, bukan basa-basi semata. "Tentu saja aku mau." Erick tersenyum senang. "Ini, kopinya sekalian," tambah Sella, seraya menyerahkan sekotak roti dan satu cup kopi kepada Erick. "Terima kasih, kebetulan aku juga belum sarapan." Erick menyambut hangat pemberian Sella. Sella dan Erick saling melemparkan senyuman. Namun, sikap mereka berubah serius begitu lift berhenti dan beberapa karyawan masuk. Sella maupun Erick hanya bisa saling mencuri pandang, tetapi tidak melanjutkan obrolan. Sampai tiba di ruangan yang menjadi tujuan, mereka pun berpisah, seolah tidak begitu akrab satu sama lain dari pandangan orang-orang. Gadis itu segera duduk lalu membuka menu sarapan, tidak lupa arah matanya beralih pada Erick yang bisa dilihatnya dari dinding kaca. Ternyata pria itu juga sedang menikmati sarapan pemberiannya seraya menatap Sella dari dalam sana. Keramaian yang timbul dari para rekan kerja yang mulai berdatangan membuat Sella fokus lagi pada menu sarapannya, tidak lupa menyalakan laptop dan membuka berkas kerjaan. Nena tersenyum pada Sella begitu tiba di mejanya. Moris membuang muka, entah bagaimana hubungan mereka saat ini, Sella masih juga serasa menggantung. Kecentilan Rosy pun sepertinya kambuh. Perempuan itu datang dengan suara manja nan ceria, seperti biasanya. Namun, bagi Sella, sikap itu kini dianggapnya agak lebay. "Terima kasih, Rosy. Dalam rangka apa ini?" Rosy membagi-bagikan kopi hangat kepada rekan-rekan divisi produksi. Tampak sangat antusias dan penuh kesengajaan saat Sella merasa Rosy memperkecualikan dirinya. Benar-benar sangat menyebalkan bagi Sella tentunya. "Eh, ternyata kurang satu," cetus Rosy seraya menoleh pada Sella yang sudah duduk di kursi kerjanya. "Apa punyaku ini biar diminum Sella saja," ucap Nena tidak enak hati seraya berdiri lalu menghampiri meja Sella. "Eh apaan?" Sella mendongak, menatap kedatangan Nena yang membawa serta kopi yang dibelikan Rosy untuknya. Buru-buru Sella mencegah, dengan menaikkan segelas kopi miliknya agar bisa dilihat Nena. "Aku sudah beli! Minum aja kopinya untukmu," tegur Sella dengan tatapan serius. "Serius?" "Iya, nih sambil makan Butter Croissant. Kau mau?" tawar Sella merasa sangat beruntung, karena rencana Rosy agar membuatnya tersisih ternyata gagal total. Dalam hati, Sella geli sendiri. Sikap seperti anak kecil yang ditunjukkan Rosy baginya sangat sangat memalukan dan tidak pada tempatnya. "Mau!" seru Nena seraya mengambil satu potong lalu memakannya sambil tersenyum senang. "Enak tidak?" goda Sella, mencoba memanasi Rosy yang terlihat sangat jengkel saat menyadari dia pun sudah membeli sendiri kopi dan Croissant—merupakan menu yang cocok untuk sarapan pagi. "Enak banget ini. Beli di mana?" Nena tampak sangat antusias memakan potongan roti dan itu bukan sebuah akting. Karena sebenarnya tidak ada satupun rekan kerja yang tahu, kalau sebenarnya Rosy dan Sella sedang terlibat perang psikologis. Sella menyerahkan kartu nama toko yang tersedia di dalam kardus pembelian lalu menyerahkannya pada Nena. Percakapan alami yang direspon serius oleh Sella membuat Rosy mati kutu. "Terima kasih, ya, Sell. Janji, aku bakal langsung ke sana." "Oke." Sella mengangguk, membiarkan Nena kembali ke tempatnya kerja. "Kau pikir, aku tidak tahu apa yang coba kau rencanakan, Rosy?" batin Sella kesal. Sella memilih kembali fokus pada kerjaan, tentu saja ketidakpedulian pada Rosy menjadi salah satu misinya. Dia mengingat nasihat Erick untuk tidak terlalu terpaku pada masalahnya dengan perempuan itu. Sella juga ingin sedikit menikmati kehidupan, yang dulu telah direnggut paksa Rosy dengan berbagai kecurangan. "Dia pikir, aku tidak tahu dia akan berbuat ini padaku?" batin Sella lagi, seraya melirik sekilas ke arah Rosy yang terus menatap ke arahnya. Hari ini Rosy memang sengaja membawa beberapa kopi, sebagai pengalihan atas kasus di pesta Elsa. Namun, dia tidak menduga, ternyata gayanya mempermalukan Sella berakhir dengan kegagalan. Perempuan itu hanya bisa menatap Sella dari jauh, dengan perasaan kesal yang sama besarnya. "Kau sudah membaik? Kemarin saat kau sudah masuk kerja, aku ingin menanyakan keadaanmu. Tapi, sepertinya baru hari ini kau terlihat sudah ceria," tukas salah satu rekan kerja satu divisinya saat melewati kubikel Rosy. "Oh, iya. Kemarin aku masih agak emosional. Tapi, membaik setelah pengajuan proposalku diterima atasan," jawab Rosy, langsung mengulas senyuman tipis saat menoleh pada perempuan itu. "Syukurlah. Sangat jahat ya, zaman sekarang masih saja ada pembullyan," ujar perempuan itu sambil menunjukkan simpati. "Iya, benar. Aku juga heran, fitnah memang selalu kejam pada orang tidak berpenghasilan tinggi seperti aku. Bakal kalah sama yang mendapat backingan dari orang berpengaruh," jawab Rosy, mengumbar sindiran yang jelas itu ditujukan untuk Sella. Sella yang mendengar kalimat itu hanya bisa tersenyum. Dia memang tidak menoleh, tetapi tangannya merogoh saku tas lalu mengeluarkan secarik kertas dari dalamnya, bersisi surat yang diberikan Rony padanya. "Kabarnya kau mendapat serangan itu karena membela Sella, ya?" cetus rekan kerja Rosy, membuat tatapan Sella seketika menoleh pada Rosy. Dia merasa penasaran atas jawaban yang diberikan perempuan itu. "Ah, tidak masalah. Bukankah sesama teman harusnya saling membela?" sahut Rosy, sambil tersenyum penuh kebanggaan. "Kau memang keren." Rekan kerjanya pun menatap bangga kepada Rosy. "Dasar rubah menyebalkan," batin Sella seraya mendengus. *** Sella mencegat Rosy di depan pintu masuk ruangan kantor, begitu perempuan itu selesai makan siang. Sella menduga Moris sedang bertugas di luar kantor, itulah kenapa Rosy terlihat makan ke kafetaria sendirian. "Aku ingin menanyakan sesuatu," ucap Sella seraya mempersempit gerak Rosy agar tidak kabur darinya. Tentu saja, gaya Rosy sudah bisa diduga. Perempuan itu bersikap seolah menjadi korban. Sella mendadak muak sendiri berhadapan dengan putri drama satu ini. "Tanya apa?" "Sejak kapan kau akrab dengan orang-orang yang dulu selalu membuat hidup kita berantakan?" cecar Sella, mendadak tidak sabaran. Ingin sekali dia menjambak perempuan satu ini agar lekas mengaku saja. "Kita sudah hidup di zaman modern, Sella. Tidak mungkin aku menyimpan dendam sampai berumur dewasa," kilah Rosy penuh percaya diri. "Lalu, siapa menurutmu, mahasiswi berpakaian Hoodie, yang tega memfitnahku seperti itu?" serang Sella seraya bersedekap tangan. Rosy menatap tajam ke arah Sella. Perempuan itu memberikan tanggapan amarah, seperti biasanya agar dirinya mundur dan mengalah. Tapi tidak, Sella tidak akah semudah itu membiarkan perempuan ini lolos begitu saja. "Apa kau sedang menuduhku, Sella?" Rosy mulai menunjukkan bakatnya dalam berakting, salah satunya dengan mengeluarkan jurus mata berkaca-kaca. Sella membuang muka. Sangat malas dipecundangi terus seperti ini. "Kenapa kau sekarang bertingkah, seolah-olah seluruh dunia berada di belakangmu, Sella?" tegur Moris, seraya menarik lengan Rosy agar menjauhi Sella. "Jangan memperlakukan orang yang baik padamu, hanya karena sekarang kau merasa tidak membutuhkannya lagi." Nada peringatan jelas tertuang langsung dari bagaimana Moris menatap padanya. Perlakuan itu tentu saja membuat hati Sella semakin marah dan kecewa pada pembelaan Moris pada perempuan rubah di hadapannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD