Bab 11 Kontrak Dimulai

1051 Words
Sella menghampiri kulkas lalu menarik map itu dari atasnya. Dia membuka dan membaca kembali lembaran berkas di dalamnya. Jarinya mulai mengelus permukaan kertas di mana terdapat kolom untuk membubuhkan tanda tangan miliknya. "Oh, Tuhan. Semoga aku berada di jalur yang tepat," gumam Sella seraya mengembuskan napas berat. Tangannya mulai menarik pena dari dalam rak di sebelahnya, lalu menempatkan ujungnya untuk membuat coretan berupa tanda tangan ke atas permukaan kertas. Sella menutup lagi map itu lalu menaruhnya dalam kamar. Lamunannya teralihkan suara dering ponsel yang berada di atas meja. Nama Moris tertera pada layarnya. Sella memutuskan untuk tidak mengangkat panggilan itu dan memilih membenamkan kepalanya pada bantal. "Ck, ada apa lagi dengan manusia itu, Ya Tuhan," geramnya. "Sella! Buka pintunya sekarang! Aku tahu kau ada di dalam!" Teriakan dari luar membuat Sella kaget. Jantungnya berdegup kencang. Buru-buru dia menghampiri pintu, untung saja dia tadi tidak lupa sudah menguncinya. Sella duduk di depan pintu dengan membawa pemukul bisbol. Dia akan memukul pria itu kalau sampai berani mendobrak pintunya. "Sella! Apa-apaan kau meminta putus dariku? Kau pikir bisa semudah itu menyingkirkan aku, hah!" pekik pria itu lagi, seraya menggedor pintunya dengan hentakan keras. Sella berlari ke arah kamar lalu mengambil ponselnya untuk menghubungi Moris. Akan sangan merepotkan kalau sampai rumahnya didatangi warga sekitar akibat ulah memalukan pria itu malam ini. "Kau sudah melecehkan aku, Moris. Aku tidak terima!" balas Sella melalui pesan teks, seraya mengambil pemukul bisbolnya lagi. Sella kembali duduk di depan pintu. "Melecehkan? Hei, harusnya kau bersyukur! Kalau tidak ada aku, memangnya siapa yang bakal menerima wanita rusak seperti kau!" Moris membalas pesan Sella melalui teriakan. Sungguh, Sella dibuat mendidih karena ketidaksopanan itu. Kalau bukan karena sudah malam, Sella pasti akan menghempaskan pria itu tanpa ampun. Lamat-lamat, Sella mulai mendengar suara beberapa laki-laki menuju ke ruamhnya. Jantungnya dibuat berdegup tidak karuan. Dia takut warga sekitar akan menyuruhnya untuk keluar menemui Moris. "Pergi dari sini!" "Heh, apa-apaan kalian! Jangan menyeretku seperti ini, heh! Lepaskan!" "Kau membuat keributan malam-malam begini." "Lepaskan!" Suara Moris terdengar menjauh. Beberapa suara laki-laki pun saling berbincang. Sella mengintip dari balik jendela kaca yang terletak di sebelah pintu. Mulutnya mengucapkan syukur tatkala melihat tiga orang pria membawa Moris pergi dari teras. Kemungkinan pemuda yang berjaga di pos, tidak jauh dari rumahnya. Hati Sella menjadi lega. "Putus darimu ternyata tidak semudah yang aku bayangkan, Moris," batin Sella seraya berjalan kembali ke kamar. *** Keesokan harinya Sella datang ke kantor lebih awal. Dia sudah mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Erick. Rasa canggung pun mulai datang menyergap. Namun, sebisa mungkin dia menutupinya dengan sering tersenyum seraya mengembuskan napas. "Sell, sampel yang kemarin kau ajukan, diterima baik oleh tim penguji. Nanti siang mereka ingin membahas lebih jauh dengan kepala produksi," ungkap Nena, salah satu rekan satu divisinya. "Oke, Nen. Makasih," sahut Sella seraya mengedipkan sebelah matanya. Moris dan Rosy terlihat berjalan berbarengan membuat Sella segera menundukkan kepala. Dia sok sibuk, pura-pura mengecek file sampai kedua makhluk menyebalkan itu melewatinya. "Hei, Moris. Kenapa dengan wajahmu?" tanya salah satu rekannya, saat melihat pipi pria itu memerah karena memar. Sella tidak mendongak, terkesan tidak acuh dan memilih segera menemui Erick saat melihat pria itu sudah datang, dan langsung memasuki ruangannya. Semua orang menatap heran ke arah Sella. Sebagai karyawan yang dikenal sebagai kekasih Moris, tentu ketidakpedulian Sella membawa arti yang mendalam. "Apa kau bertengkar dengannya?" tanya pria itu lagi pada Moris. "Haish! Dia meminta putus tanpa aku tahu kesalahanku di bagian mana," desis Moris tampak emosional. Apalagi saat menoleh pada ruangan Erick dan mendapati perempuan itu ada di dalam sana. Jiwa persaingan Moris seraya terlecut begitu saja. "Wah, jangan-jangan kau tertangkap tangan sedang selingkuh, jadi Sella memukul wajahmu?" "Haih, sudahlah! Padahal aku cuma ingin bersenang-senang dengannya. Tapi, dia merasa aku sudah melecehkan," gerutu Moris sambil menyalakan layar monitor di hadapannya. Rekan-rekannya saling berbisik-bisik begitu mendengar ocehan Moris yang terakhir. Tentu saja, mereka mendukung keputusan Sella meminta putus. Sella kini sedang duduk berhadapan dengan Erick. Pria itu akhirnya selesai membaca map yang baru disodorkan padanya. Penambahan pasal di dalamnya membuatnya tersenyum. "Apa ini?" Erick mendongak, tatapannya begitu jelas menampakkan sinyal keingintahuan. "Itu ... bagian dari perlindungan diri dari kerugian sebagai pihak perempuan," kata Sella dengan wajah serius. "Tidak boleh ada sentuhan fisik? Wah, sangat menarik." "Jadi, bagaimana? Apa kau setuju?" tanya Sella memastikan segala kesepakatan berakhir dengan sama-sama saling menguntungkan. "Baiklah, muali hari ini kontrak kita telah dimulai. Siang nanti, kau pergi denganku." "Untuk?" Kening Sella berkerut dalam, mencoba mencerna permintaan apa yang diberikan pria itu padanya. "Kencan pertama kita, setelah resmi berpacaran," tukas Erick berhasil membuat Sella hampir tersedak ludah sendiri. Buru-buru Sella pamit keluar ruangan, sebelum pria itu semakin membuatnya menggila. "Tunggu!" "Soal undangan pernikahan temanmu, apakah kau berniat untuk datang?" tanya Erick lugas. Sella langsung tertegun, langkahnya terhenti seketika di ujung ruangan. Tangan yang sedianya telah memegang handel pintu pun akhirnya terlepas begitu saja. Perempuan itu pun segera menoleh lagi ke arah Erick. "Kenapa kau bisa tahu, tentang undangan itu?" "Tidak penting darimana aku bisa tahu. Yang pasti, aku mendukungmu untuk datang dan memperbaiki apa yang dulu tidak pernah bisa kau lakukan, untuk memperbaiki nama baikmu," ujar Erick. Menampakkan keseriusan yang menaikkan kepercayaan diri Sella. Awalnya dia sangat ragu, apakah memang kali ini dia mampu mengambil kesempatan ini. Mengingat, dirinya saat itu diperlakukan sangat tidak baik, dan namanya kian buruk saja. Namun, dukungan dari Erick tentu saja membawa perbedaan itu dalam dirinya. "Aku bingung, dari mana aku bisa memulainya," ungkap Sella, terlihat putus asa. "Dari kebenaran yang kau punya," jawab Erick seraya mengedipkan sebelah matanya. Sella keluar dari ruangan Erick dalam kebisuan. Rekan-rekannya pun hanya bisa menatap perubahan pada wajah Sella tanpa berani mempertanyakan masalahnya. "Sell, ditunggu di ruangan rapat." Panggilan dari rekan kerja akhirnya membawa kesadaran Sella kembali seperti sedia kala. Dia menanamkan diri untuk profesional saat di kantor dan tidak akan terbawa masalah personal. *** Sella menunggu Erick di pinggiran jalan raya. Dia sengaja mencari tempat agar bisa berbarengan makan siang bersama Erick, tanpa diketahui Moris dan Rosy. Kedatangan keduanya semalam benar-benar membuatnya badmood. "Kita ke mana?" tanya Sella begitu menaiki kendaraan yang dikemudikan Erick, tidak lupa memasang sabuk pengaman. "Ke Butik langganan adik sepupuku," sahut Erick, tanpa menoleh. Dia fokus menyetir karena arus lalu lintas memang sedang padat pada jam makan siang seperti sekarang. "Butik?" Mata Sella membelalak, "untuk apa?" "Kau tadi bertanya, dari mana memulainya 'kan?" cetus Erick sambil tersenyum tipis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD