Seperti biasanya, setiap hari minggu aku akan mengunjungi panti asuhan tempat aku berasal dan dibesarkan. Baru saja aku keluar dari mobilku, ibu panti yang sudah aku anggap ibuku sendiri menghampiriku dan memelukku dengan hangat.
"Ibu sangat takut saat mendengar Aparat Negara itu menghilang. Ibu bersyukur kau selamat, Nak."
"Aku pasti akan selamat, Ibu tenang saja. Ayo kita bertemu anak panti lainnya, aku membawakan mereka mainan dan makanan yang enak."
"Baiklah."
Ibuku akhirnya mau melepaskan pelukannya, aku pun mengambil semua barang yang aku bawa untuk anak panti asuhan lalu menutup pintu mobil dan berjalan bersamanya masuk ke dalam panti asuhan.
Melihat panti asuhan ini, hatiku jadi tenang saat ingat masa kecilku yang sederhana dan bahagia, tanpa ada dendam, pengkhianatan, dan pembunuhan, namun aku lebih menyukai hidupku yang sekarang karena aku mampu menemukan jati diriku yang sebenarnya.
"Anak-anak, lihat aku bawa apa untuk kalian."
"Kak Aslan!"
"Ada Kak Aslan di Panti!"
"Akhirnya, Kakak Aslan datang!"
Anak-anak panti begitu senang saat tahu apa yang aku bawa, mereka berteriak kegirangan dan meloncat-loncat senang lalu menghampiriku dan berebutan meminta barang yang aku bawa. Ibu panti hanya tersenyum melihat anak-anak yang bahagia dengan kehadiranku. Sedangkan aku berusaha menenangkan mereka.
"Semuanya tenang, berbaris dulu. Kalian semua pasti akan mendapat bagian masing-masing."
"Siap, Kak!"
Meskipun terlahir tanpa kenal orang tua atau bahkan orang tuanya sudah tidak ada, namun mereka dapat diatur dengan mudah dan tak banyak mengeluh. Mereka mulai berbaris dengan rapi dan aku pun mulai membagikan semua barang-barang yang aku bawa. Setelah semua anak mendapat mainan dan makanan masing-masing, mereka mulai makan dengan tenang sambil bercerita tentang apa yang mereka dapat dan tak sabar mendapat mainan.
"Lihat aku dapat boneka barbie."
"Aku dapat robot, aku tak sabar memainkan robot baruku."
"Makanannya enak sekali, Kak Aslan baik sekali."
"Anak-anak, sekarang kalian bilang apa sama Kak Aslan?"
"Terima kasih Kak Aslan!"
"Sama-sama anak-anak."
Mereka begitu polos dan lugu, hanya dengan pemberian sederhana mereka begitu senang. Seperti itu juga masa kecilku. Tanpa tahu kerasnya kehidupan. Ibu panti mengajakku keluar sejenak yaitu ke taman untuk bicara berdua agar pembicaraan kami tak didengar anak panti.
"Berhenti dari pekerjaanmu, Nak. Ibu selalu khawatir dan takut jika suatu waktu kau terluka dan meninggalkan ibu dan anak-anak panti. Kamu sudah seperti anak ibu sendiri, Nak."
Aku memeluk ibu panti dengan lembut dan berusaha menenangkannya lalu menghapus air mata di pipinya, aku mengerti dia begitu menyayangi aku melebihi dirinya sendiri namun tak bisa mundur dari pekerjaan ini atau nyawa taruhannya.
"Ibu, percaya sama aku. Aku engga akan celaka, engga ada yang bisa membunuh puteramu."
"Kau tidak pernah mau mendengarkan aku."
"Aku harus terus bekerja sebagai pembunuh bayaran sampai akhirnya aku akan membunuh Kakek Tua itu."
Aku menggenggam tangannya berusaha meyakinkan ibu panti yang masih risau dengan pekerjaanku, dari awal dia melarang keras aku untuk bekerja seperti ini, awalnya aku bekerja agar mendapat uang banyak agar bisa membantu panti asuhan yang saat itu ingin digusur karena pemilik tanah yang memberikan sumbangan berupa tanah untuk membangun panti meninggal dan keluarganya ingin mengambil lagi tanahnya. Namun kebenaran terungkap dan membuat aku melanjutkan pekerjaan ini hingga namaku sudah terkenal di kalangan para Klan Mafia atau para pejabat.
"Ibu hanya bisa berdoa jika kau akan selamat. Jaga dirimu baik-baik."
"Pasti, Bu."
"Ibu panti."
Ibu panti dan aku sontak menoleh ke samping saat ada yang bersuara. Seorang gadis datang dengan membawa banyak barang sepertiku, dia sepertinya sudah sering datang ke sini hingga ibu panti langsung berdiri dan menyambutnya dengan hangat. Aku tak tahu apa maksud takdir mempertemukan aku dengan gadis cacat ini lagi. Dia pun terkejut saat melihat siapa yang sedang bersama ibu panti yaitu aku.
"Nak Luna, bagaimana kabarnya? Pasti mau menemui anak panti ya?"
"Iya, Bu. Maaf Luna engga bisa datang hari sabtu soalnya ada masalah kecil. Jadi Luna datangnya hari minggu."
Terjawab sudah kenapa aku tak pernah melihat gadis cacat ini, ternyata dia memiliki hari kunjung yang berbeda denganku. Dia menyadari kehadiranku, dia menatap aku namun langsung mengalihkan pandangannya dalam detik itu juga. Sepertinya dia cukup sadar diri jika aku tak suka dengan perempuan cacat.
"Engga apa-apa. Oh ya, kenalkan ini putera Ibu, namanya Aslan Envelar."
"Aslan, ini Nak Lunara, dia sering mengunjungi panti. Ayo kenalan dulu."
Baik aku maupun gadis itu tidak ada yang mau memulai perkenalkan, kami masih diam dan tak ada yang mau mengulurkan tangan terlebih dahulu. Ibu panti sampai bingung dengan kami yang sepertinya terlibat perang dingin.
"Kalian sudah saling kenal ya?"
"Engga, Bu. Saya engga kenal sama anak Ibu."
"Saya juga engga kenal dengan gadis ini, Bu."
Walaupun kami saling mengucap kebohongan yaitu saling tak mengenal namun ibu panti sepertinya tak percaya dengan ucapan kami. Namun ibu panti mengerti jika kami tak suka saling berdekatan.
"Oh begitu. Ayo, Nak Luna masuk ke dalam panti."
"Iya, Bu."
"Bu, Aslan mau pulang dulu."
"Iya, hati-hati di jalan. Pikirkan apa yang Ibu katakan tadi."
Aku mengangguk mengerti lalu mencium punggung tangannya dan pergi dari sini. Sekilas aku bisa melihat gadis itu terlihat terkejut saat aku melakukan tindakan itu. Dia pasti mengira aku adalah pria kejam dan tak punya hati, namun nyatanya aku masih punya hati, namun hati itu hanya untuk segelintir orang.
[][][][][][][][][][][][][][][][][][][]
Aku memeriksa kulkas yang ada di apartemenku namun semua bahan makanan sudah habis karena lenyap ke perutku dan aku lupa membeli bahan makanan baru jadi aku memutuskan untuk keluar dan makan di restoran saja.
Entah keberuntungan atau kesialan karena setelah aku sampai di restoran, aku melihat salah satu orang penting yang akan berurusan dengan kasusku selanjutnya yaitu Adli Amar Gafni. Dia sepertinya sedang menunggu seseorang di restoran ini. Ini adalah kesempatan untuk mengintainya dan mengetahui sekilas tentangnya karena kehidupannya itu penuh dengan rahasia yang sulit terungkap.
Untung aku memakai jaket yang memiliki penutup kepala sehingga aku bisa menutupi kepalaku agar wajahku tidak terlalu terlihat olehnya karena pasti setelah aku melenyapkan keluarga Melike, dia akan menjadikan aku tersangka utama karena aku juga pernah jadi rekan kerja Klan Mafia Italia dimana ayahnya menjadi ketua.
"Mau pesan apa, Pak?"
"Spaghetti dan jus mangga."
"Baik, Pak."
Pelayan itu pun pergi setelah mencatat pesananku. Aku memperhatikan anak ketua mafia itu dengan seksama, sambil pura-pura sibuk dengan ponselku. Tak lama kemudian, aku melihat perempuan cacat yang paling aku hindari masuk ke dalam restoran.
"Kenapa gadis cacat itu selalu ada dimana pun aku berada?"
Aku mendengus sebal melihat kehadirannya. Namun tak bisa aku pungkiri jika dia terlihat cantik, anggun, dan menawan dengan gaun panjang berwarna biru laut dengan bagian sampingnya terbelah hingga lutut dan hiasan bunga putih di bagian pinggang, tak lupa rambutnya yang diurai dengan pita di sisi kiri, namun sayang kesempurnaan fisiknya langsung hilang saat siapa pun tahu kekurangannya.
"Hai, Adli."
"Hai, Luna. Senang akhirnya kita bisa bertemu, kau lebih cantik dari apa yang media tunjukkan padaku."
Astaga, aku sungguh tak menyangka jika gadis itu akan menemui Adli. Apa gadis itu gila dengan berurusan dengan pria bahaya dan kejam seperti Adli? Apa dia tak punya otak? Satu lagi berarti kekurangannya, dia tidak punya otak untuk bisa membedakan mana pria baik atau pria kejam untuk dijadikan pasangan hidup.
"Gadis bodoh. Dia seakan menghampiri Neraka sendiri."