Si Penderita Charley Horse -0-

1021 Words
Seorang gadis biasa dengan pakaian kasual berupa kaos dan celana panjang dengan riasan natural di wajah manisnya, sedang sibuk mengetik di papan Keyboard. Jika dilihat maka gadis itu akan terlihat sama dengan gadis biasanya. Namun dia berbeda. Hidupnya yang sempurna dengan paras manis yang menawan, tinggi ideal, tubuh langsing, pendidikan tinggi hingga S1 Sastra Indonesia di Universitas Negeri terbaik di Jakarta, dan terlahir dari keluarga golongan atas, menjadi tidak sempurna bahkan takdirnya dikatakan buruk oleh orang sekitarnya karena satu keluarga yaitu penyakit Charley Horse atau kram bagi orang awam. Bukan kram biasa karena kram ini bisa sampai berhari-hari bahkan berminggu-minggu, biasanya bagian tubuh tertentu tak akan bisa digerakkan secara tiba-tiba dan tanpa sebab. Entah itu kaki, tangan, kepala, atau bahkan ketiganya secara bersamaan sehingga ia sudah biasa menjadi lumpuh dadakan. Namun kekurangan yang kata orang asing bahkan keluarganya sendiri adalah aib, baginya adalah kekuatannya untuk menghadapi Dunia yang penuh cemoohan ini. Ia lahir dari keluarga Melike yang merupakan keluarga cukup tersohor di Negeri ini, ayahnya adalah seorang direktur di perusahaan swasta, ibunya adalah seorang aktris terkenal pada masanya, kakak laki-lakinya adalah pengacara di firma hukum terkenal. Hingga beban keluarga sempurna itu jatuh padanya, ia dianggap benalu di keluarganya sendiri ketika hanya mampu berakhir jadi penulis biasa, entah itu di aplikasi menulis online atau Website, Blog, dan lain-lain. Hingga akhirnya Dunia tak mengenal Lunara Melike sebagai anak bungsu keluarga ini. Mereka mengucilkan dirinya bersama dengan kekurangannya. Dunia hanya tahu bahwa keluarga Melike hanya memiliki satu anak yaitu Akran Melike yang merupakan putera tampan dan membanggakan dengan sejuta prestasi. Walaupun begitu, Luna masih bisa tersenyum manis saat menjalani hidupnya, dia sangat suka dengan pekerjaannya karena ini merupakan hobinya sejak kecil. "Sebentar lagi jam makan siang, aku harus segera menyelesaikan novelku ini agar bisa aku kirim ke penerbit setelah itu akan mengisi perutku yang sudah berbunyi sedari tadi." Luna begitu semangat mulai mengetik kembali ketika tahu tinggal lima belas menit lagi sebelum jam dua belas siang. Namun tiba-tiba gerakan tangannya terhenti, tangannya tiba-tiba kaku dan tidak bisa digerakkan dengan posisi mengetik. Ia menghela nafas kasar ketika tahu penyakitnya sudah mendatanginya dan ia tak bisa lanjut menulis lagi. "Bibi Yanti!" Untung saja hanya tangannya yang kram, tidak dengan kakinya sehingga ia masih bisa berjalan ke arah kasur untuk duduk sambil menunggu pembantunya datang. Akhirnya pembantunya datang dan tersenyum tipis ketika melihat posisi tangannya, ia sudah sangat dekat dengan pembantunya sehingga pembantunya ini tak akan lagi bertanya dengan posisi tangannya yang aneh. "Kambuh lagi ya, Non?" "Iya, tolong buatkan s**u cokelat dan bawakan makan siangku ke kamar. Jangan lupa bawa obat kramnya." "Baik, Non." Setelah dia mengerti akan tugasnya, dia pun keluar dari kamarku. Aku hanya duduk diam dengan tenang sambil menunggu dia datang. Sejak umur lima tahun, penyakit ini menemaniku, berarti sudah lima belas tahun. Awal merasakan tangan dan kakiku tak bisa digerakkan membuat aku dan seluruh keluarga panik, kami pun berobat ke rumah sakit hingga aku divonis memiliki Charley Horse. Awalnya kami bingung dengan nama penyakit itu karena tak pernah mendengarnya hingga dokter menjelaskan dengan kata-kata lebih mudah seperti kram. Orang tuaku yang hidup dengan sempurna berusaha menyembuhkan penyakit ini dengan berbagai cara mulai dari membawaku ke dokter terhebat di kota bahkan Negeri ini. Sampai membawaku berobat ke Luar Negeri. Namun percuma karena semua dokter yang kami kunjungi selalu mengatakan hal yang sama bahwa penyakit ini tidak memiliki obat, hanya bisa hilang sendiri, bahkan tak perlu di uji Laboratorium. Aku pun pasrah menerima takdirku. Sejak saat itu, orang tua dan kakakku menjauhiku, mereka bilang malu dengan penyakitku karena aku pernah mengalami kram terparah di umur sepuluh tahun, kepalaku tak bisa digerakkan, begitu pun dengan tangan dan kaki, sehingga aku seperti mayat hidup. Orang tuaku memapahku pulang dari sekolah lalu mengomeliku sepanjang hari, bukannya membantu aku untuk menghilangkan kram ini. Sejak saat itu mereka memutuskan agar aku Home Schooling. Aku setuju saja dengan keputusan mereka. Aku cukup sadar diri bahwa aku ini merepotkan bahkan aku pernah berada di titik di mana aku ingin mati saja dan pergi dari Dunia ini daripada hanya bisa menjadi beban orang tuaku. Namun aku sadar akan mimpiku sebagai penulis hingga aku kembali keluar rumah untuk menempuh pendidikan di Universitas setelah delapan tahun dalam sangkar emas. Banyak cobaan saat masa kuliahku namun untungnya aku memiliki teman-teman yang baik yang mau membantuku saat penyakit ini kambuh sehingga aku tak perlu merepotkan orang tuaku. Sejak saat itu hubunganku dengan keluarga ini renggang. "Non Luna." "Iya, Bi?" Aku menoleh padanya saat sadar jika sedari tadi aku melamunkan penyakitku ini, pembantuku itu tersenyum maklum ketika melihat aku tidak konsentrasi. Dia pun meletakkan nampan berisi makanan, minuman, dan obatku di atas kasur. "Ini makanan, minuman, dan obatnya. Bibi suapkan ya?" "Iya, Bi." Akhirnya pembantuku pun mulai menyuapiku dengan perlahan-lahan dan lembut. Aku pun menerima setiap suapannya dengan senang hati, walaupun sebenarnya dalam hati aku mengutuk diriku sendiri yang tak bisa mengurus hidupku sendiri. "Non, katanya novelnya mau diterbitkan ya?" "Iya, Bi. Doakan saja yang terbaik untuk n****+ pertama Luna." "Pasti, Non. Nanti pinjamkan Bibi bukunya ya? Soalnya Bibi mau baca." "Pasti, Bi." Setelah selesai makan, aku pun meminum s**u cokelat lalu menelan obat-obatan ini yang sebenarnya tak berguna karena selama lima belas tahun mengkonsumsi obat, tetap saja aku masih mengalami penyakit ini. "Bibi taruh dulu nampan, piring, dan gelasnya ke dapur. Nanti Bibi kembali lagi buat pijat Non Luna ya?" "Iya, Bi." Pembantuku kembali keluar kamar dan aku menunggu lagi, dia pun kembali dengan minyak kayu putih untuk memijat tanganku. Walupun rasanya sakit karena saat mengalami penyakit ini maka otot-otot tanganku akan menegang namun aku tetap membiarkan Bibi Yanti memijat tanganku karena biasanya ini akan sedikit membantu untuk merilekskan otot tanganku. "Sudah selesai, Non. Sekarang berbaring dulu, nanti juga kramnya sembuh sendiri seperti biasa." "Iya, Bi. Makasih." "Sama-sama, Non." Bi Yanti pun meninggalkan aku sendirian di dalam kamar dan sedang berbaring di atas kasur. Aku menatap sendu ke arah tanganku, mataku menjadi berkaca-kaca saat mengingat kekuranganku ini yang membuat keluargaku tidak menganggapku dan membuat aku dijauhi banyak orang. "Hari ini aku menjadi lumpuh tangan, sungguh miris hidupmu, Luna." Tangerang, 05 Januari 2021
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD