Aslan Envelar -2-

1557 Words
Senyum miring yang terlihat menakutkan dengan tatapan setajam elang seakan siap membakar siapa pun lewat tatapannya, perpaduan yang cocok untuk menggambarkan kekejaman seorang Aslan Envelar. Pria itu sedang memegang pisau yang sudah diasah sehingga ujungnya begitu lancip dan sudah dipastikan, satu kali tusukan maka lawannya akan meninggal, apalagi ia adalah tipe yang suka menusuk di bagian jantung dan tak memberi kesempatan pada lawannya untuk melawan. "Jadi, kau musuh pengusaha tambang itu?" "Kau siapa? Kenapa .... kenapa kau ada di rumahku?" Pria tua dengan perut buncit itu jalan mundur perlahan-lahan ketika melihat ada pria tampan, muda, dan gagah masuk ke dalam rumahnya tanpa izin. Kenapa pria itu bisa masuk sedangkan penjagaan di rumahnya sudah ketat. Pria tua itu terlihat ketakutan saat melihat ada pisau di tangan pria asing di depannya. "Aku kematianmu." Matanya melotot sempurna karena terkejut mendengar jawaban mengerikan itu. Belum sempat ia merespon, pisau itu dilempar ke arahnya, walaupun jarak mereka terlalu jauh namun pisau itu berakhir tepat di jantungnya. Seketika tubuhnya pun tumbang di lantai dengan darah yang keluar dari jantungnya dan membasahi kemeja serta jasnya. Bukannya merasa bersalah, pria asing itu malah tersenyum senang seakan melihat mainan baru padahal ia baru saja menghabiskan nyawa seseorang. Tugasnya sudah selesai. Pria itu sudah mati. Waktunya dia pergi dari sini sebelum ada yang melihatnya. Namun sebelum itu ia menghapus semua rekaman CCTV di rumah ini dan membersihkan semua bukti di rumah ini, termasuk mayat pria tua ini, ia mencincang tubuh pria itu dengan tangannya sendiri menggunakan pisau yang ia gunakan untuk menusuk jantung pria tua itu. "Sayang sekali, jantungnya tak bisa aku jual." Sudah menjadi kebiasaannya menjual organ tubuh korbannya, selain untuk membuang semua jejak kejahatannya, harga organ tubuh ini sangat mahal seperti hati, mata, dan lain-lain. Ia memasukkan organ tubuh pria itu ke dalam koper yang ia bawa. Lalu pergi dari sini untuk selamanya. Tinggal lihat besok bagaimana gemparnya Negeri ini saat tahu salah satu penjabat tertinggi Negeri ini menghilang tanpa jejak. [][][][][][][][][][][][][][][][][][][] Pagi ini, aku terbangun dengan posisi terkapar di kasur, kepalaku terasa begitu pusing setelah melakukan pesta sendirian dengan mabuk sepanjang malam dan merokok tanpa henti sebagai bentuk perayaan akan keberhasilanku. "Masih pukul lima pagi." Walaupun mabuk semalaman, hal itu tak akan membuat aku terlambat bangun pagi karena hanya orang pemalas yang akan bangun siang dan dia bukan pemalas. Ia pernah masuk akademi kepolisian, ia sudah didik keras untuk menjadi orang yang displin dan teratur sehingga hal itu sudah menjadi kebiasaannya saat dewasa. "Ternyata ajaran akademi kepolisian itu sangat berguna untukku sehingga aku sudah tahu taktik para polisi dalam menangani kasus pembunuhan." Aku berbicara sendiri sambil menatap pantulan diriku di depan kaca kamar mandi, lalu mulai sikat gigi dan cuci muka. Sebelum akhirnya meluangkan waktu sejenak untuk bersantai dengan duduk di depan televisi dan sarapan sambil menonton berita pagi ini. Ternyata para pengawal bodoh penjabat itu sudah melaporkan kehilangan bos mereka dan melaporkan kejadian tadi malam. Percuma mereka melapor karena mereka tak tahu apapun malam itu. Mereka sudah aku dibius dengan suntikan malam itu. "Negeri ini kembali dihebohkan dengan hilangnya salah satu Aparat Negara, semalam dia masih ada di rumah. Namun menurut keterangan pengawal, dia menghilang tiba-tiba dan tidak bisa dihubungi. Bahkan tak ada kabar tentangnya setelah malam itu. Lalu kemana perginya dia?" "Mayatnya sudah aku jual dan rohnya sudah tinggal di Neraka." Aku pun langsung mengganti Channel saat merasa bosan dengan berita pembunuhan semalam di saat aku adalah orang yang paling tahu apa yang terjadi semalam. Gerakan jariku di atas tombol remot terhenti ketika melihat berita tentang seorang gadis cantik yang aneh. "Penulis baru dan berbakat, Lunara Melike akhirnya mengeluarkan n****+ inspiratifnya mengenai kisah hidupnya yang memiliki banyak hambatan dalam meraih kesuksesan dalam bidang menulis. Dia adalah penderita Charley Horse atau orang awam kenal dengan kram dadakan. n****+ ini meraih Best Seller dengan cetakan pertama sejumlah 5000 buku habis dalam dua hari. Para pembaca dibawa hanyut dalam kisahnya." Gadis itu terlihat normal seperti gadis biasanya. Namun ada yang menarik perhatianku ketika jari lentiknya yang sedang menandatangani n****+-n****+ yang dibeli oleh pembaca tiba-tiba melepaskan pulpen, jari-jarinya jadi kaku dan tak bergerak, namun tetap di posisi memegang pulpen. Seketika semua agensi penerbit dan editor langsung menghentikan acara Meet & Great dan langsung membantu gadis itu berdiri, menjauh dan meninggalkan acara itu, bahkan mereka berusaha menutupi jari-jari itu. Mungkin jika orang lain yang melihat tayangan ini tak menyadari hal itu termasuk reporter, namun aku sadar karena mataku terlalu jeli untuk melihat hal sekecil apapun. "Gadis cacat, dia pasti merepotkan orang lain. Kenapa tidak mati saja sekalian?" Komentar pahit itu langsung kwluar dari bibirku begitu saja karena aku merasa jika kekurangannya adalah hal yang fatal bagi hidupnya dan hidup orang lain. Aku ini tipe perfeksionis dimana aku ingin semua yang ada padaku sempurna termasuk orang-orang di sekitarku harus sempurna. Membayangkan memiliki gadis itu di hidupku membuatku langsung bergidik ngeri. Aku pun langsung mematikan televisi karena merasa tak ada siaran yang bagus. Dering panggilan dari ponselku membuat aku mengambil ponselku yang ada di sampingku lalu mengangkat panggilan itu saat melihat nama salah satu rekan kerjaku yang menjadi dalang di balik pembunuhan semalam. "Kau memang pantas untuk diandalkan, kerjamu begitu bagus. Selamat untuk keberhasilanmu dan juga keberhasilanku menyingkirkan Si Pembuat Kerusuhan itu." "Aku sibuk." Aku pun langsung mematikan panggilan itu karena merasa hal itu tidak penting, aku bukan orang yang suka berbasa-basi, lagi pula urusan di antara kami sudah selesai jadi tak perlu berhubungan dengannya. Aku tak peduli jika dia tersinggung dengan tingkahku yang tak sopan tadi atau tidak karena aku pun tahu jika dia takut jika berurusan denganku karena jika aku marah maka aku bisa melakukan apapun. "Lebih baik aku bersiap-siap untuk pergi keluar sejenak." Aku pun langsung berjalan ke arah kamar mandi dan dengan cepat berganti pakaian dengan memakai kaos putih dipadu jaket kulit hitam dan celana Jeans hitam. Lalu pergi dengan mobilku yang berwarna hitam legam. Masih terlalu lagi untuk jalan-jalan di luar karena jalanan masih sepi bahkan para pekerja kantoran pun pasti belum berangkat. Namun aku suka dengan suasana seperti ini sehingga tidak perlu merasakan keributan saat kemacetan terjadi. "Sepertinya segelas kopi bisa menemani pagiku." Saat melihat ada kedai kopi sudah buka, aku pun langsung membelokkan mobilku ke arah kedai itu lalu masuk ke dalamnya setelah memarkirkan mobilku. Suasana masih sepi dan hanya ada satu pengunjung di sana, aku melihat seorang gadis cantik duduk di pojok belakang bagian kiri sedang menangis sendirian sambil menatap ke arah jendela yang menampakkan suasana jalan raya. "Selamat pagi, mau pesan apa, Pak?" "Satu gelas Vanilla Latte." "Baik, Pak." Pandanganku langsung teralih ke arah pria penjaga kasir saat mendengar sapaan dan pertanyaannya mengenai pesananku karena aku terlalu lama mengamati gadis cantik itu sehingga lupa jika sudah berdiri di depan kasir. Aku pun langsung mengambil tempat duduk di pojok belakang bagian kanan. Sambil menunggu pesananku, aku masih memperhatikan wajah cantik gadis itu yang sepertinya tak asing di penglihatanku. "Aku baru ingat, dia kan penulis di televisi tadi." "Astaga, pasti pagiku akan sial karena gadis cacat ini." "Semoga saja hariku tak akan buruk karenanya." Aku langsung mengalihkan pandanganku saat ingat siapa gadis itu. Aku pun memilih sibuk dengan ponselku yang penuh dengan banyak pesan dan panggilan karena semalam aku tidak mematikan ponselku. Pelayan pun datang dan mengantar pesananku. "Selamat menikmati Vanilla Latte, Pak." "Gadis di pojok itu, kenapa dia belum kunjung pulang?" Sebenarnya ini bukan tipeku yang bertanya dan penasaran tentang hidup orang namun gadis itu terlihat begitu tertekan dan banyak masalah. Apalagi sedari tadi dia tidak mengalihkan pandangannya dari jendela. Seharusnya dia sedang berpesta dan senang karena Novelnya sukses besar di pasaran. Pelayan itu pun mengikuti arah pandanganku dan langsung mengerti ketika melihat gadis itu. "Oh dia, gadis itu sudah ada di sini hampir sejam bahkan dia sudah datang sebelum kedai di buka. Penyakitnya kambuh, kaki dan tangannya tidak bisa digerakkan, kami tak bisa menolongnya karena harus kerja. Kami sudah membantunya dengan menelepon keluarganya namun belum ada yang datang untuk menjemputnya. Kasihan sekali dia." "Kau bisa pergi." Dia mengangguk mengerti dan tak terlihat tersinggung dengan sikap tak sopanku karena tak mengucap terima kasih sehabis bertanya karena memang dia sudah kenal aku sebagai langganan tetap di sini. Kalau kalian pikir aku akan kasihan pada gadis itu setelah mendengar penjelasan pelayan tadi, maka kalian salah karena aku adalah manusia tanpa hati, aku tidak pernah kasihan pada siapa pun. Kehidupan yang keras membuat aku melupakan rasa peduli pada sesama karena hidup ini mengajariku untuk tidak peduli pada orang lain karena orang lain pun tak peduli padamu. Aku pun mulai menyesap kopi pesananku dengan perlahan-lahan karena masih panas. Seperti biasa hidupku akan berjalan teratur seperti hari-hari sebelumnya. Namun semua itu berantakan ketika aku mendengar panggilan lembut dari gadis yang tadi aku perhatikan, aku menoleh padanya dan dia juga dengan menatapku dengan tatapan memohon. "Pak." "Bisa minta tolong? Kaki dan tanganku tak bisa digerakkan sehingga aku tidak bisa pulang. Aku butuh bantuanmu untuk mengantarku pulang." Mungkin dia berharap penuh padaku saat ini karena tak ada pilihan lain namun dia salah memilih orang untuk diminta bantuan karena setelahnya aku malah mengalihkan pandanganku dan kembali meminum kopiku dengan santai tanpa mempedulikan ucapan permintaan tolongnya itu. Dia sepertinya mengerti dan tak lagi berkata, memilih kembali menatap ke jendela hingga keajaiban datang menjemputnya. Aku hanya tersenyum miring melihat fisiknya yang lemah, untung dia bukan keluargaku. Jika dia keluargaku, maka aku bisa malu dan lelah berurusan dengannya. Tangerang, 05 Januari 2021
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD