6

1052 Words
Mas Al? Satu nama panggilan itu cukup menjadi alasan Shei susah tidur malam ini, alhasil kantung matanya semakin tebal efek begadang dan hanya sempat tidur beberapa menit. Sementara Alden berhasil ngorok di sofa tempat Shei menulis semalam. Memang ia cukup tegang ketika dirinya masuk ke kamar lebih dulu untuk tidur, dan apa yang akan ia lakukan ketika Alden juga masuk ke kamarnya. Pura-pura tidur kah? Atau pura-pura pingsan aja deh. Untungnya pria itu tidak juga menunjukkan batang hidungnya, tapi justru membuat Shei jadi susah tidur. Jam masih menunjukkan pukul lima pagi, Shei segera ke dapur membuat hot matcha favoritnya, tak lupa ia menyiapkan roti isi selai matcha juga untuk sarapannya. Ia membuka kulkas, hanya berisi selai matcha, berbagai minuman dingin, ice cream matcha, beberapa butir telur. "Tuh bocah sarapan apa ya biasanya?" Shei berpikir keras. Karena biasanya ia hanya menyiapkan sarapan sederhana untuk dirinya, sedangkan sekarang ia punya kewajiban menyiapkan sarapan untuk Alden juga. Apalagi Alden dokter, pasti makanannya gak sembarangan. Jauh berbeda dengan Shei yang pemakan segalanya. Setelah berpikir lama, Shei segera membuat telur mata sapi yang kemudian ia letakkan diatas roti tawar, tidak lupa beberapa potong tomat ia sematkan disana. Terakhir ia tuangkan saos dan menutupnya kembali dengan roti tawar. Ia tersenyum getir. Entahlah yang penting ia sudah menyiapkan sarapan. Terserah mau dimakan atau tidak. Tak lupa segelas fresh milk ia siapkan, siapa tau Alden tidak suka s**u dingin apalagi matcha favoritnya Shei. Setelah selesai, Shei segera menghabiskan sarapannya kemudian mencuci muka, menggosok giginya, mengambil laptopnya dan pergi ke taman yang tidak jauh dari apartemennya. Mumpung udara pagi ini cukup bagus. Setelah sepertinya semalam hujan rintik, membuat udara pagi ini terasa jauh lebih segar. Sangat bagus untuk meningkatkan moodnya. Inilah rutinitas asli Shei jika pagi harinya tidak turun hujan. Sekitar setengah jam setelah Shei pergi, Alden terbangun. Ia mengucek matanya dan merenggangkan otot-ototnya. Ia merasa pegal di seluruh tubuhnya akibat tertidur di sofa. Entah sejak kapan. Ia pun memperhatikan sekelilingnya yang terasa masih asing lalu menghela nafas. Lagi-lagi ia harus kembali ke realita hidupnya dengan status baru sebagai seorang suami. Ia pun beranjak dan menuju kamarnya, tak ada tanda-tanda keberadaan Shei. Ia pun melangkahkan kakinya menuju dapur, disana sudah tersedia roti isi ala kadarnya diatas piring dan segelas s**u. Tanpa note atau apapun itu. Akhirnya karena lapar, ia menyantap roti buatan Shei itu. Lumayan untuk mengganjal perutnya. Alden duduk di kursi kecil samping meja tempat Shei meletakkan makanannya, berpikir kemana kiranya wanita itu pagi-pagi begini. Mereka memang tidak saling tau kesibukan masing-masing. Alden hanya tau jika Shei- istrinya itu adalah seorang penulis yang cukup terkenal. Sering ia lihat buku-buku karya Shei yang terpajang di toko buku walaupun letaknya bukan di rak bestseller, tapi ia tidak pernah sekedar membaca sinopsis apalagi membelinya. Shei juga kelihatan mandiri dan agak pekerja keras, dilihat dari waktunya mengerjakan tulisan yang tidak kenal waktu. Walaupun pola hidupnya terlalu bebas, bisa dipastikan wanita itu hanya sarapan dengan matcha-matcha favoritnya. Bahkan isi kulkasnya pun tidak ada yang menarik. Pria itu segera mandi dan bersiap kerumah sakit karena ia praktek pagi hari ini. Tak lupa jas putih kebanggaannya. Ya walaupun baru menikah, Alden tidak mengambil cuti. Rasanya akan sangat membosankan menghabiskan sehari penuh disini, bersama Shei yang entah ada dimana. Jadi lebih baik ia membuka praktek seperti biasa. Toh ini hanya pernikahan terpaksa. Alden mengendarai BMW-nya menuju gerbang keluar apartemen, sekilas ia melihat sosok Shei dengan penampilan sederhanya sedang fokus pada laptop. Dari jauh pun Alden tau kalo Shei pergi begitu saja keluar tanpa mandi lebih dulu. Penampilan asal-asalan Shei dengan rambut dikuncir asal malah menambah aura tersendiri pada wanita itu. Pria 27 tahun itu menggeleng cepat. Tidak lagi. Ia tidak mau hancur untuk kedua kalinya. Sebuah mobil pajero berpapasan dengannya didepan gerbang, membuatnya sedikit membelokkan mobilnya agar pajero itu dapat masuk. Kaca mobilnya terbuka menampakkan wajah Bian yang menatap Alden datar. Dari awal Alden sadar ada yang berbeda dari sahabat istrinya itu. Jelas mungkin dia punya perasaan tersendiri pada Shei. Ia berusaha tidak peduli dan kembali melajukan mobilnya menuju rumah sakit. "Shei. Udah sarapan belum?" Shei mendongakkan kepalanya, manik hitam milik Bian menatapnya. Penampilan pria itu tampak seperti biasa, rapih dengan setelan kemeja dan celana bahannya." Udah sih tadi makan roti. Lo belum berangkat?" Bian hanya menggeleng kemudian duduk disamping Shei." Suami lo mana?" Agak janggal ketika dirinya menyebut kata "suami". Shei membulatkan matanya, ia pun melihat jam di layar laptopnya. Saking larutnya dalam cerita, ia lupa kalo dirinya sudah tidak sendiri lagi. Alden yang belum tau kebiasaannya pasti kebingungan mencarinya. Dan apakah pria itu hari ini kerja? Bodohnya Shei tidak menanyakannya. Sedetik kemudian Shei sadar, bukankah sudah perjanjian mereka berdua untuk tidak saling mengusik kehidupan masing-masing? "Gue balik dulu deh." Ucap Shei yang langsung membawa laptopnya kembali ke apartemen. Bian masih tak bergeming. Jelas ia sangat cemburu. Tapi ia tidak bisa melakukan apa-apa. Ia harus tau batasan. Ia memang menyukai Shei sejak dulu, sayangnya wanita itu tidak pernah melihat kearahnya, tepatnya ke lelaki mana pun. Dunianya hanya seputar tokoh-tokoh fiksi. Bagaimana pun juga Bian tidak ingin disebut pebinor. Cukup berada disamping Shei dan selalu ada untuknya, hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang. Sebuah kemunafikan terbesar dalam hidupnya. Kosong. Shei tidak melihat Alden dimana pun. Ia melihat piring kosong diatas meja beserta gelas kosongnya. Berarti Alden menyantap sarapannya. Syukurlah. "Untung dia kerja." Merasa seakan bebas kembali, Shei membaringkan tubuhnya di sofa. Ada sedikit wangi aroma tubuh Alden yang khas. Pria maskulin itu selalu menjaga kebersihan dan kewangiannya. Parfumnya aja bisa ketinggalan di sofa gini. *** "Loh pengantin baru udah masuk aja." Ledek Aldo, salah satu dokter spesialis kandungan yang juga sahabatnya waktu sama-sama masih kuliah kedokteran dulu. "Bosen dirumah terus." Jawab Alden seadanya. "Gimana sih masa istri lo dicuekin. Beruntung lo dapet kayak Shei, udah cantik, mandiri, penulis pula." Aldo memang mengetahui sosok Shei. Bahkan segala sesuatu soal Alden, ia sangat paham. Termasuk masa lalu sahabatnya itu. Alden hanya diam. Siapapun juga akan merasa seperti itu. Pria mana yang tidak bangga memiliki istri cantik dan punya penghasilan sendiri. Ia yang sudah dokter spesialis aja masih tinggal dengan orangtuanya dulu. Sementara Shei sudah menginvestasikan uangnya untuk apartemen sederhana yang mereka tempati. Ya tetap saja namanya hati. Ia hanya perlu membatasi diri, karena ia dan Shei hidup di dunia yang berbeda. "Nikmatin hidup lo. Hidup tuh cuma sekali. Berhenti hidup di masa lalu." Kata-kata Aldo cukup telak untuk dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD