Hampir tengah malam Shei baru pulang. Karena ia yang memaksa Bian untuk mengajaknya berkeliling kota walaupun hanya sekedar jalan-jalan demi memperbaiki moodnya. Setidaknya dengan melihat keindahan ibukota ini pada malam hari dengan segelas matcha latte dengan whipcream tebal favoritnya, cukup membuat mood Shei meningkat. Ditambah Bian yang memang paling nyambung ngobrol dengannya dibanding Alden. Ya mungkin karena mereka memang baru kenal dan Shei bukan tipikal wanita yang mudah beradaptasi. Sejak jaman sekolah sampai kuliah, sahabatnya ya cuma Bian. Dari jaman Shei ingusan sampe kenal skincare, semua aib-aibnya hanya Bian yang tau. Mirisnya yang tidak Shei ketahui malah perasaan Bian itu sendiri.
Shei dan Bian terpisah begitu Shei sampai di depan pintu apartemennya dan Bian juga didepan pintu apartemennya. Mereka hanya saling tersenyum." Thanks ya, Bi. Lo sahabat gue yang paling baik."
Sahabat.
Sahabat.
Satu kata yang muak Bian dengar. Tapi mau bagaimana lagi. Harapannya sudah pupus. Namun move on pun begitu sulit. Tidak semudah dirinya saat memainkan perasaan wanita-wanita yang dipacarinya. Bahkan kata kutunggu jandamu rasanya amat sangat lama dan tentu tanpa kepastian. Siapa yang tau tentang apa yang akan terjadi kedepannya? Perasaan orang jelas mudah berubah tapi kenapa perasaan Bian ke Shei tidak pernah berubah? Setidaknya berkurang sedikit agar ia bisa menerima bahwa Shei memang tidak ditakdirkan untuknya.
Bian mengusap kasar wajahnya dan masuk ke dalam apartemennya. Sepertinya ia terlalu banyak dekat dengan Shei sehingga kebawa melow seperti cerita-cerita yang Shei buat.
Shei masuk ke apartemennya yang nampak gelap. Sosok Alden nampak meringkuk diatas karpet bulu depan ruang TV. Ia pun mengendap-endap masuk kekamarnya agar tidak mengusik pria itu.
"Jam berapa ini, Shei?" Suara Alden membuat Shei sedikit terjungkit karena kaget.
"Jam setengah sebelas. Kenapa?"
Alden nampak bangun dan merubah ke posisi duduk." Kita emang punya privasi masing-masing tapi setidaknya saling menghargai sebagai... errr pasangan suami istri. Gak baik lo pulang tengah malem sama pria lain sementara lo itu istri gue."
"Orang lain yang lo maksud itu sahabat gue."
"Ya whatever. Tapi kalo orang lain liat mereka bakal mikir jelek soal elo dan gue. Lo ngerti lah pasti. Kehidupan lo kan banyak walaupun cuma dalam bentuk fiksi." Ucap Alden lagi sebelum kembali berbaring.
Shei memutar bola matanya dengan malas, walaupun ruangan ini gelap. Shei bisa tebak bagaimana rupa wajah Alden yang menyebalkan itu.
***
"Loh gak dines?" Tanya Shei begitu melihat Alden masih duduk santai didepan TV dan menonton acara berita pagi seperti biasa. Pagi ini ia sengaja bangun agak siang karena tidur telat semalam dan kemarin memang ia sangat kurang tidur, meninggalkan bekas mata panda di wajahnya sekarang. Padahal biar menghindari Alden juga tapi ternyata tuh orang masih disini.
"Gak. Lagi jatah libur. Lo kalo mau aktifitas ya aktifitas biasa aja." Balas Alden tanpa menoleh sedikitpun ke yang mengajak bicara.
Shei menghela nafas. Beraktifitas seperti biasa yang dikatakan Alden sungguh mudah, padahal kenyataannya itu hal yang mustahil lagi dilakukannya sekarang. Ya biasanya ia akan sarapan roti dengan selai matcha atau sekedar mi instan demi mengganjal perutnya. Atau sambil menyeruput hot matcha disamping jendela dan membaca kembali novelnya yang sudah dicetak. Entah walaupun ia yang menulisnya, ia suka membaca berulang kali isi novelnya dan ikut hanyut dalam cerita. Walaupun ia tau bagaimana isi dan akhir dari n****+ itu. Memang membaca dari buku dan laptop jelas memiliki sensasi yang berbeda. Tapi sekarang kebebasannya terengut. Boro-boro mi instan, mau nyeduh hot matcha aja rasanya sungkan. Padahal ini apartemennya.
"Gue tau gue gak boleh lewatin batas. Tapi gue boring. Mau jalan-jalan gak?"
Shei menajamkan pendengarannya, berusaha mencerna apa yang ia dengar atau hanya khayalannya semata karena saking seringnya mengkhayal soal cerita fiksinya." Kalo ke tempat yang ngebosenin kayak muka lo, gue ogah." Shei melengos ke dapur, mencari sesuatu yang dapat ia makan untuk mengganjal perutnya. Ia hanya menemukan sepotong sandwich yang sepertinya buatan Alden itu. Tampaknya enak.
"Gak kok. Atau keluar kota ya? Kayaknya seru. Bandung gitu.
Shei hampir saja tersedak ketika mencoba menelan potongam sandwich dalam mulutnya." Luar kota? Apaan tuh? Lo ngajak gue honeymoon?" Ia malah terkekeh geli.
Alden mencebik." Ogah gue juga. Orang ngajak jalan-jalan doang. Gak usah mikir ngeres deh. Gak doyan gue sama lo."
Shei melotot." Gue juga gak doyan sama lo!" Balasnya tak mau kalah.
"Jadi mau gak nih?"
"Apaan?"
"Jalan-jalan lah b***k!"
"Ya mau lah!" Shei buru-buru menutup mulutnya yang lancang menjawab tanpa aba-aba, seakan ia begitu senang diajak jalan-jalan sama manusia astral itu.
Alden menyunggingkan senyum." Nah gitu dong. Nanti gue mau bilang cuti ke rumah sakit. Lo gak punya kesibukan kan?"
"Gak lah. Gue kan pengangguran gak kayak lo!" Ucap Shei yang membalas ucapan Alden tempo hari yang membahas soal Alden yang cari uang sementara ia dikira leha-leha disini.
"Oh iya ya." Alden malah meledek, membuat Shei tidak sabar ingin menghempaskan pria itu dari lantai empat apartemennya.
***
"Shei. Shei." Bian nyelonong masuk ke dalam apartemen Shei. Ia hanya melihat Alden duduk diatas sofa sambil memainkan ponselnya." Shei mana?"
"Lagi packing di kamar." Jawab Alden tanpa mengalihkan pandangannya.
"Packing?" Bian segera menuju kamar sahabatnya itu." Mau kemana lo?"
"Bulan madu." Sahut Alden dengan sengaja.
Bulan madu?
Dua kata itu cukup membuat telinga dan hati Bian panas. Lebih panas dari berita corona saat ini.
"Bohong. Cuma jalan-jalan aja ke Bandung. Ikut yuk, Bi." Ucap Shei yang mendadak dapat ide cemerlang.
"Yah. Gue gak bisa. Ada meeting sama client dua hari ini. Emang berapa lama lo perginya?" Ucap Bian yang sangat menyesali rencana Shei yang tiba-tiba dan jadwalnya yang juga tidak dapat diubah.
"Dua hari kayaknya sih. Sayang banget ya. Biasanya kan lo jajanin gue mulu kalo ke Bandung." Ucap Shei mengingat memang ia dan Bian sering jalan-jalan keluar kota.
"Gue juga sanggup kali jajanin lo. Lo-nya aja yang sok mandiri." Alden melengos masuk ke kamarnya juga dan mengambil kunci mobilnya.
"Lo yakin mau pergi sama dedemit itu?" Bisik Bian agak keras yang sebenarnya sengaja agar didengar Alden.
Shei terkekeh." Gue butuh refresh otak, Bi. Padahal kalo lo ada pasti tambah seru."
"Namanya manajer ya sibuk lah sayang." Ucap Alden dengan suara dibuat-buat.
"Apaan sih lo? Jijik tau gak?!" Shei bergidik mendengar kata sayang yang keluar dari mulut pria jahil itu.
Yang tentu saja membuat Bian tambah panas, jelas memang tujuan Alden sebenarnya.
"Lo gak kerja emang? Kok malah kesini bukan ke kantor?" Tanya Shei lagi sambil menutup koper kecilnya. Entah kenapa wanita walaupun pergi sebentar tapi bawaannya bisa sebanyak ini.
"Nih mau berangkat. Tadinya mau ngajak lo sarapan dulu."
"Paling diajak makan mi rebus kalo gak mi goreng." Sahut Alden yang mendengar percakapan mereka berdua.
"Lo bisa diem gak sih?"
"Eh, Shei. Inget. Panggil gue mas Al. Lo lupa mulu deh. Kalo didepan orangtua kita kan berabe."
Rasanya Shei ingin sekali mencampur Alden dengan kuah mi ramen super pedas favoritnya saat ini juga.
"Ya udah gue cabut deh." Ucap Bian yang akhirnumya keluar dari apartemen Shei. Sebelumnya ia menatap tajam kearah Alden." Awas macem-macem sama sahabat gue."
"Sahabat." Alden menekankan kata itu dengan wajah meledek.
Entah kesambet apa orangtua Shei menjodohkan putrinya dengan dokter aneh macem Alden ini.
Pluk!
Tepat sasaran. Handuk yang Shei lempar tepat mengenai kepala Alden." Ngoceh mulu. Jemur handuk yang bener kalo udah dipake. Jangan ditaro kasur!"