SEKALI lagi, aku memandang dengan jeli testpack terakhir yang kubeli. Ketujuh dari tujuh buah, absolutely. Hasilnya tetap sama; negatif.
Hell!
Rasanya aku ingin membanting semua yang ada di sekitar sini. Kenapa aku tidak juga hamil? Aku tahu pasti, s****a Pram adalah terbaik sepanjang sejarahku b******a. Oh no! Hanya dia dan... Romi-b******n-sialan- itu yang kuizinkan menyentuh tubuhku. Dan ya, Pram lebih baik dari Romi.
Well, aku sedikit berbohong. Kuakui, Pram punya caranya sendiri yang terkadang membuatku jengah dan tak sabaran. Dia terlalu sopan di saat aku sudah belingsatan menunggu sentuhannya. Bahkan untuk membuka kancing piyama, dia harus meminta izinku lebih dulu.
Holy s**t!
Sedangkan Romi... oh ayolah, haruskah aku memberitahu sejarah paling menjijikan sepanjang hidupku itu? Aku bukannya ingin menjadi perempuan munafik, Romi pernah menjadi alasanku bahagia, tetapi aku hidup sekarang dan hanya ada Pramuja Natanegoro di sampingku.
Maka, masih pantaskah aku membandingkan dengan lelaki yang -meskipun lebih baik di ranjang- dengannya?
Of course not!
Aku berdiri, membuang semua benda tak berguna itu ke dalam kotak sampah; tempat segala hal yang tak berguna. Termasuk mantan.
Itu pasti. Jangan menyimpan mantan di dalam hati, karena suatu saat dia akan muncul kembali dan hatimu yang akan menjadi tumbal. Aku hanya mengingatkan dengan separuh hatiku yang dipenuhi kebaikan hari ini. Separuhnya lagi, sudah rusak karena testpack sialan itu.
Melangkahkan kaki ke dapur, aku membuka lemari pendingin, dan mengeluarkan bungkusan toge yang Mbak Ijas beli tadi siang. Aku memasukannya ke dalam wadah berukuran sedang, lalu mencucinya hingga bersih.
"Bu... saya pamit pulang, ya...." Mbak Ijas muncul dari balik pintu.
"Emang udah makan?"
"Sudah. Saya pulang, ya..."
Aku mengangguk. Dia memang hanya bekerja dari pukul 09.00-16.00. Dan demi Tuhan dia memanggilku 'ibu' di saat dia memberi panggilan 'Mas' untuk Pram. Apa maksud gadis itu?
Aku sudah duduk di meja makan, menanti Sang Raja pulang dari medan perang. Dentingan jarum jam menemani kesunyian ini. Terkadang, aku sedikit menyesal telah menolak tawaran Pram yang meminta Ibu tinggal di sini. Tetapi aku tidak berbohong, aku memang canggung kalau harus tinggal serumah dengan mertua.
Oh bukan, aku takut beliau mencabut gelar menantu kesayangan setelah melihat sifat asliku.
Never in the million years!
Ini adalah malam Minggu. Ya, Minggu kelabu. Itu tepat sekali. Kalian punya agenda akhir pekan? Jika iya, tersenyumlah! Karena ada aku yang merana di hari-hari itu.
Pasalnya, aku ini tidak mempunyai akhir pekan. Karena suamiku yang katanya seksi dan cerdas itu harus siaran tepat pukul 18.00-19.00. Memilukan, ya.
Tetapi jangan menghinaku dulu, aku masih punya waktu senggang dari Senin-Jumat meski pun tidak full untuk kami berdua. Karena dia akan tetap di kantor, entah mengerjakan apa. Tetapi setidaknya, sebebelum pukul 21.00, dia sudah berada bersamaku.
Dia manis, ya?
Definitely!
Tanganku mengetukkan ponsel ke atas meja; pelan. Menunggu memang akan selalu menjadi hal yang dinomor-akhirkan oleh semua orang. Aku salah satu di dalamnya. Tetapi karena tidak ada pilihan lain, maka harus kulakulan.
Aku bosan!
Mungkin acara televisi sedikit bisa menghiburku? Siapa yang tahu kalau aku tidak mencobanya? Maka, aku berjalan ke ruang tengah dan mendaratkan b****g seksiku di atas sofa. Meraih remot, kemudian menyalakan televisi dan memilih channel terbaik untuk saat ini.
NET sekarang masih menjadi unggulan, ya? Atau menurutku saja, sebagai penikmat acara nonberita. Karena kalian tahu? Channel yang Pram pilih adalah; Metro TV, TV One, Kompas Tv, Inews, dan channel lain hanya di saat menayangkan program beritanya. Misalnya, NET seperti yang kutonton saat ini. Dia hanya akan memilih channel NET pada pukul 10.00, 12.00, dan 16.00. Karena di pukul itu, program berita sedang mereka tayangkan.
Tetapi yang membuatku tercengang adalah; dia tahu apa pun gosip yang kubahas! Bagaimana aku tidak merasa minder bersanding dengan lelaki itu? Oleh karenanya, aku juga memaksa diriku mulai menonton acara-acara berita. Meskipun terkadang kepalaku terasa akan meledak, aku tetap mencobanya.
Korupsi, pelecahan seksual, penganiayaan balita, adalah isu yang paling kubenci. Dan hampir di semua berita, mereka mengangkat tema itu. So, sebagai perempuan yang mengaku dirinya cerdas, aku memaksa otakku untuk bersikap munafik sedikit.
Pernah suatu hari, saat Pram sedang libur; aku duduk di sofa di tempatku sekarang, memfokuskan pandangan pada layar kaca televisi. Mereka sedang membahas program terbaru pemerintah, yaitu Justice Collaboration. Istilah-istilah yang digunakan membuatku bolak-balik membuka KBBI di ponsel, karena aku tidak mengerti artinya. Hingga aku tidak menyadari, Pram keluar kamar dan memghampiriku, sampai dia tertawa melihat betapa fokusnya aku saat itu.
"Kalau lagi mikir keras gitu nggak kelihatan judesnya..." Itu kalimat pertamanya, sebelum meletakkan kepalanya di atas pahaku. "Berarti, aku harus bilang sama produserku supaya mereka ngangkat tema yang berat-berat itu."
Suamiku sialan, ya?
Tetapi aku sekarang merasakan sedikit manfaatnya. Beberapa hari yang lalu, ada salah satu pelanggan di Kafe, dia awalnya komplain dengan makanan yang dipesan, kemudian aku menghampiri dan meminta maaf, lalu kami berbincang dan kebablasan sampai membahas perkembangan ekonomi di Indonesia.
Meskipun tidak mendalami, setidaknya aku banyak tahu topik yang kita bicarakan. Thanks to Pram and News Stations.
"Assalamualaikum. Ra, I'm home!"
Itu dia!
Aku segera memencet tombol merah, dan berlari ke arah pintu. Oh My... rambutnya sudah tidak terlihat rapi, tetapi menggiurkan, caranya memegang tali tas yang disampirkan di bahu itu sungguh berbeda. "Kok telat?"
"Kok nggak jawab salam?"
Aku terkekeh, lalu menjawab salam dari malaikat paling sempurna di depanku ini. Berjinjit, aku menciumi rahang dan bibirnya cepat. Terakhir, kuberi satu gigitan kecil di rahangnya.
"Ow... ow... ow, slow, Baby. I'm here," ucapnya, seraya memelukku dan berjalan menuju sofa. Dia meletakkan tas di samping kami, kemudian mendudukanku di atas pangkuannya. "Mbak Ijas udah pulang?" Aku mengangguk. "Selamat ulang tahun pernikahan yang pertama, Madam."
Aku tertawa. Cukup kencang. Dia menelisik ke dalam mataku, terlihat bingung atas apa yang kulakukan. "Kan udah janjian, ulang tahun pertama, aku yang duluan ngucapin. Ish!"
"Ohiya! Sori. Aku lupa." Dia mencium hidungku, dan menggigitnya cukup keras. "Yaudah, anggap aja aku belum ngomong. Sekarang, ucapin ke aku... mana kadonya?"
Aku tersenyum lebar. Merasa siap dengan kado yang telah kupersiapkan. Pram akan senang dan dia akan mengakui kecerdasanku kali ini. Harus. "Tunggu sini." Aku berdiri, "Jangan ke kamar dulu!"
Dia tertawa, sembari mengangguk beberapa kali dan aku yakin dia tidak akan membohongiku.
Aku berjalan sedikit terburu-buru dan mengambil mangkuk yang sudah kuletakkan di atas meja makan tadi. Membawanya ke ruang tengah, dan aku kembali duduk di samping Pram. "This is special for you."
"For me?"
"Ya."
"What is this?"
Aku memutar bola mata, dia tahu nama sayuran itu, tetapi malah bertanya? "Itu toge, Sayang."
"Aku tahu. Buat apa sebanyak ini?"
"Aha!" Aku menyentuh dahinya, menahan jariku beberapa detik di sana. "Alhamdulilah, akhirnya ada satu hal yang ternyata aku lebih unggul dari kamu." Dahinya berkerut, itu semakin membuatku bahagia. Kukecup bibirnya sekilas, dan aku menarik wajahku hanya beberapa senti, "Ini harus kamu abisin, biar aku cepet hamil."
"Ya Allah, Ramelia!" Dia membuang wajahnya, yang membuatku otomatis menjauh. Sesaat dia diam memandangku, tetapi kemudian tertawa sembari melepas Jasnya. "Siapa yang kasih tahu?"
Aku mencebikkan bibir, berpura-pura kesal. Sebenarnya aku memang kesal, dia menertawakanku.
"Jangan bilang internet yang kasih tahu?"
"Yaiyalah! C'mon, Pram... kita itu hidup di era digital. Kayak yang kamu bilang, udah nggak zaman menjadi perempuan bodoh. Inget?"
Dia mengangguk, menyampirkan Jas itu di sandaran sofa, lalu kembali menatapku. "Bener. Kamu nggak salah. Tapi satu yang kamu lupa. Era digital, kalau nggak disertai pikiran dan etika yang cerdas, kamu bakal kebablasan. Inget aku pernah bilang gitu?"
"Ya ampun, cuma ketinggalan satu kalimat doang."
Tangannya mencubit pipiku bagian kanan, "Satu kalimat tapi itu sebagai tembok berlindung, Sayang." Kemudian hening. Aku menunggunya berbicara lagi. "Sekarang aku tanya. Kenapa aku disuruh makan toge tiba-tiba? Sebanyak ini. Aku bisa gumoh berkepanjangan."
"Lebay!" Aku memukul pundaknya kasar. Dia memicingkan mata, membuatku sadar, lalu segera mengelus bekas pukulanku. "Aku tuh tadi udah beli tujuh testpack. Dan kamu tahu? Negatif semua... Bang-"
"Bang?"
Aku segera menulan ludah kaku, satu tahun hidup bersamanya belum juga bisa menghilangkan kebiasaan kotor mulutku. "Nah, aku baca di Internet, ternyata toge bisa menyuburkan... eh apa, ya? Hahaha, aku lupa. Intinya biar aku cepet hamil."
"Gini aja. Aku mandi dulu, kamu cari artikel yang bilang teori itu tadi. Selesai aku mandi, kita bahas sama-sama. Deal?"
"Kita nggak date di luar?" For hell's shake, ini adalah ulang tahun kami yang pertama. Itu kenapa, aku mati-matian ingin memberikanya kado sebuah testpack dengan garis positif. Ternyata, Tuhan belum mengizinkanku.
"Mau jalan ke luar?"
"Enggak ah! Di rumah aja. Sama kamu."
"Yaiyalah sama aku, emang sama siapa lagi."
Fucker!
Dia adalah manusia paling tidak peka dan terkadang sangat peka di hari yang sama. Entahlah, Pramuja ini selalu berhasil mengaduk emosiku. Emosi yang sesungguhnya, karena aku nyaris terkena darah tinggi selama hidup dengannya. Tetapi dia mempunyai obat yang sangat ampuh; b****g seksinya.
Aku menyukai itu!