Matahari pagi bersinar sangat cerah. Semua orang berbahagia, semua orang bersenang-senang. Apa lagi perayaan hari Thanksgiving segera tiba. Ketika semua orang tertawa, sebaliknya Victoria lagi dan lagi bersedih. Ini bukan pertama kali, tetapi sudah sering dia seperti ini. Terguncang dan tekurung di dalam kamarnya. Rose, sang asisten rumah tangga di kediaman ayahnya mendapat tugas membuka pintu kamar Victoria. Wanita tua itu menutup mulutnya saat menyaksikan apa yang ada di depan matanya. Victoria masih tertidur dengan wajah yang pucat. Gadis itu tampak lemah, bibirnya menjadi putih tak berwarna. Rose langsung bergegas memberitahukan tuan rumahnya.
"Tuan, Victoria, tuan. Nafas Rose rasanya terhenti. Dia berlari menuju ruang makan untuk menemui tuan besarnya. Givanno tampak memusatkan perhatiannya ke arah pembantunya. Lelaki itu sampai menghentikan aktifitas makannya. Dia mulai lelah dengan kenakalan Victoria. Semakin hari anak itu selalu membuatnya repot. Givanno menghela nafas lalu mulai bertanya. "Ada apa, Rose?" Tanya Givanno. Bagaimanapun juga, dia masih mengkhawatirkan putri kecilnya. Meskipun pada mulanya dia tak menginginkan anak itu lahir.
Rose. Wanita itu sangat gugup. Dia masih tak menjawab pertanyaan majikannya. Taylor ikut panik karena melihat pembantunya sulit mengucapkan kata. "Rose, kanapa kau begitu panik? Katakan sesuatu, Rose." Taylor ikut bertanya. Ibu tiri Victoria itu mulai cemas. Anak-anaknya ikut menghentikan aktifitas makan mereka. Rose mengambil nafas lalu berbicara. "Tuan, Nyonya. Victoria pucat, dia belum bangun. Tampaknya dia sedang sakit. Saya takut melihat kondisinya. Dia sangat menyedihkan, Tuan." Ucap Rose dengan gerakan tangan yang menjelaskan kondisi Victoria. Jantung Givanno berdebar kencang. Perkataan Rose seketika membuat Givanno cemas.
"Aku akan menemuinya." Balas Givanno. Dadanya terasa sesak. Kenapa gadis kecilnya setiap hari Mendapat masalah dan cobaan. Givanno merasa bersalah karena telah berbuat kasar pada putrinya. Kekasarannya bukan karena dia membenci Victoria tetapi lebih karena dia menyayangi anaknya itu. Givanno bangkit berdiri dan diikuti oleh istrinya. Ketiga anaknya juga ingin menemui Victoria. Namun Givanno menahan mereka. "Lanjutkan makan kalian. Mom dan Dad yang akan menemui Victoria. Jangan beranjak dari tempat ini sebelum Mom dan Dad kembali." Tegas Givanno. Ketiga anaknya mau tidak mau harus menurut.
Setelah sampai di kamar putrinya. Givanno langsung mendekati putrinya yang kini bangun sambil memegangi perutnya. "Victoria, Apa yang terjadi, Nak? Dimana yang sakit? Apa di bagian perut?" Tanya Givanno. Dia benar-benar mengkhawatirkan putrinya. Victoria menidurkan kembali tubuhnya. Gadis kecil itu menutup matanya. Dunia terlalu menyakitkan untuk sekedar dilihat olehnya. Wajahnya yang pucat membuat siapapun pasti merasakan hal yang sama seperti ayahnya. "Mom, tolong aku. Tolong aku, Mom. Aku mau Mom disini." Gumam Victoria sedih. Gadis kecil itu seperti sedang diculik. Dia benar-benar membutuhkan ibunya. Seringkali ibu kandungnya mengabaikannya tetapi dia tetap mengharapkan sosok wanita itu.
"Dad disini, Nak." Kata Givanno lalu mencium kening anaknya membuat gadis kecil itu membuka mata. Matanya melotot memandangi ayahnya lalu menendang tubuh ayahnya. Givanno hanya bisa pasrah, anaknya berhak melakukan itu. Dia bodoh selalu membuat Victoria tertekan dan menderita. "Rose! Dad jahat! Aku tidak membutuhkan Dad lagi. Aku mau pergi dari sini. Aku membencimu, Dad!" Kata Victoria murung. Hanya Rose yang dia miliki. Givanno terasa asing baginya. Mendengar ucapan anaknya, Givanno nyaris menumpahkan air matanya. Dengan lembut lelaki itu menyentuh pipi putrinya.
"Tidak, Victoria. Dad menyayangimu. Sama seperti saudara-saudaramu. Jangan bicara seperti itu, Nak." Ucap Givanno sambil menggeleng. Victoria menepis tangan ayahnya. Anak itu tak mau percaya lagi dengan ucapan Givanno. Bagaimana bisa seorang ayah tega mengurung putrinya di kamar? Bagaimana bisa seorang ayah melakukan kesalahan yang sama. Givanno menyesal, dia menunduk-membuat istrinya merasa simpati. "Victoria, sayang, Jangan seperti ini." Taylor ikut menasehati. Namun Victoria enggan mendengarkan.
Givanno meraih sarapan di tangan Rose. Meski dalam keadaan sedih, dia tetap memperhatikan putrinya. Sudah sewajarnya dia melakukan itu. Ini semua salahnya. "Kamu makan ya, Nak. Sudah semalam kamu tidak makan. Perutmu pasti sakit karena terlambat makan. Makanlah, sayang." Pinta Givanno piluh. Victoria menggeleng, "Aku tidak mau! Aku mau mati. Aku benci hidup! Tidak ada yang menginginkanku lahir." Teriak Victoria. Tanpa terasa linangan air mata membasahi pipinya. Givanno ikut sedih menyaksikannya. "Jangan bicara seperti itu, Nak. Dad tidak bisa hidup tanpa kamu. Sekarang makan ya, Nanti sakitnya tambah parah." Givanno membujuk anaknya. Bagaimanapun lembutnya Givanno, Victoria tak terpengaruh. Gadis kecil itu menggigit bibir bagian bawahnya dengan isakan tangis.
"Tidak mau! Aku mau dihukum terus. Biar Dad senang, biar Dad bahagia. Dad lebih sayang sama kak Érique. Dad membenciku! Dad membenciku karena aku anak selingkuhan! Dad tidak menyayangiku!" Lagi-lagi gadis kecil itu berteriak.
"Victoria, sayang. Dad tidak seperti itu. Kalau Dad tidak sayang kamu pasti Dad tidak akan peduli lagi sama kamu dan datang kesini." Taylor ikut menasehati putrinya. Givanno menunduk sedih, Karena emosinya putrinya sekarang sakit. Victoria memeluk tubuh Rose. Begitu menyakitkan bagi Givanno melihat hal itu. Kehadiran pria itu seolah seperti orang lain. Hatinya bagai dipotong-potong lalu dicincang-cincang. "Rose, Bujuk dia untuk makan. Hari ini aku akan ke studio. Aku mengamanahkan dia padamu!" Givanno pasrah. Pria itu tak bisa melihat anaknya bersama pembantunya lama-lama karena hal itu akan memancing emosinya.
"Iya, Tuan. Saya akan berusaha membujuknya." Balas Rose. Pembantu tua itu masih memeluk Victoria--membiarkan gadis itu mengeluarkan tangisnya. Taylor mendekat pada Victoria. Wanita itu mengelus rambut anak tirinya. Dia tak bisa apa-apa. Dia hanya orang lain bagi Victoria. "Jagalah dia, Rose. Aku akan menyewa pembantu untuk membereskan rumah hari ini. Victoria membutuhkanmu. Dia hanya percaya padamu." Jelas Taylor.
"Tidak, Nyonya. Setelah membujuk Victoria. Saya akan bekerja, Saya masih bisa melakukannya, Nyonya!" Tolak Rose. Taylor bergeming sesaat lalu menganggukkan kepalanya. "Baiklah, Lakukanlah jika kau bisa. Tapi jangan terlalu memaksa dirimu bekerja." balas Taylor. Rose tersenyum. "Pasti, Nyonya. Saya akan melakukannya." Ucap Rose. Givanno dan istrinya keluar dari kamar Victoria bersamaan. Taylor menghibur suaminya yang merasa bersalah dan terus menyalahkan dirinya sendiri.
***
Setelah mengantar 3 anaknya ke sekolah. Givanno berangkat bekerja. Meskipun rasa khawatirnya belum terobati. Sampai di studio Love Magazine, pria itu menelepon Miranda. Dia berharap wanita itu mau menengok gadis kecilnya. Namun setelah Miranda mengangkat telepon darinya, hanya teriakan wanita itu yang bisa didengarnya. "Untuk apa kau meneleponku, hah?!" Tanpa sapaan basa-basi Miranda langsung menanyakan inti permasalahannya. Givanno menghembuskan nafasnya sesaat, tak ingin larut dalam emosi.
"Mira, anak kita membutuhkanmu. Datanglah padanya hari ini. Kumohon, Tengoklah dia. Victoria sangat membutuhkanmu." Pinta Givanno. Di balik suaranya ada nada penyesalan yang didengar Miranda membuat wanita itu mengangkat alisnya.
"Oh! sekarang kau mengakui dia anak kita. Maaf, Vanno, Aku sudah kerepotan saat mengandungnya. Sekarang giliranmu. Hak asuh sudah ku serahkan padamu." Tegas Miranda lalu mematikan sambungan telepon. Victoria sudah menumbuhkan luka di hati wanita itu ketika mengandungnya. Dia yang dulu tak pernah mendapat perhatian Vanno, hingga membuatnya membenci dirinya yang hamil. Dampaknya masih terasa saat Victoria lahir. Kelahiran gadis itu seolah bencana baginya.
Givanno frustasi. Dia meremas rambutnya dengan kasar. Dia tidak bisa mewujudkan keinginan gadis kecilnya. Andai saja Miranda mau datang menengok Victoria, mungkin semuanya akan lebih baik. "Vanno, Pemotretannya bisa di mulai ?" Seorang temannya menyapanya. Givanno mendongak memandangi lelaki itu. Namanya James, teman seprofesi dengan dirinya sebagai fotographer di Love Magazine. "Iya, bisa." Balas Givanno. Pria itu berusaha se-Profesional mungkin. Dia melangkah memasuki ruang pemotretan. Kali ini, yang dipotret adalah model asal L.A yang cukup tersohor. Alana Albano akan menjadi cover majalah Love Magazine edisi minggu depan. Gambar yang ditangkap pun harus sebagus mungkin karena itu menyangkut harga mati perusahaannya.
"Apa belum selesai? Aku sudah lelah mencari gaya yang kau inginkan." Kesal Alana
"Maaf, bisakah kau mengulangi gaya yang tadi sekali lagi?" Tanya Givanno lembut.
"-"
Alana kesal tetapi tetap melakukan apa yang diperintahkan Golivanno. Sudah 3 kali proses pemotretan terus berulang. Namun tak ada gambar bagus yang didapatkan oleh Givanno. Kesalahan itu ada padanya--mulai dari kameranya miring, gambarnya kurang fokus, pencahayaannya kurang, dan masih banyak lagi. James mendekati temannya. Lelaki itu membuat Givanno harus jeda dalam memotret. "Vanno, apa yang terjadi denganmu?" tanya James. Givanno memegangi kepalanya yang terasa pening.
"Anakku sakit, James!" Balas Givanno. James terkejut, lelaki itu ikut bersimpati dengan temannya. "Lebih baik, kau izin hari ini. Biar aku yang menggantikan tugasmu." Kata James menasehati. Givanno tampak setuju dengan tawaran temannya. "Oke, terima kasih, James. Percuma juga aku bekerja kalau hasilnya seburuk ini. Gambarnya malah tidak fokus. Aku percaya padamu, James." Kata Givanno sambil menepuk bahu lelaki itu. Givanno pamit pulang dan James mempersilahkannya pergi.
"Aku pergi!" Seru Givanno
Givanno tak berpikir panjang, lelaki itu langsung menemui ibu dari gadis bungsunya di V Magazine Studio. Ketika Miranda berada di depannya, Wanita itu menatap Givanno dengan sinis. Tatapan itu seolah mengusir Givanno. Namun, Givanno tak menyerah. Setelah bosan berdebat dengan kata, akhirnya Givanno bersujud di depan wanita itu membuat sang wanita melotot tak percaya. "Aku mohon, Mira, temui Victoria hari ini. Dia sakit, dia tidak mau makan. Dia hanya menginginkanmu. Dia membutuhkanmu. Kau boleh membenciku tetapi jangan benci darah dagingku." Kata lelaki itu sedih. Dia benar-benar mengusir harga dirinya demi kebahagiaan putrinya.
"Aku tidak percaya kau melakukan ini, Vanno! Kau begitu menyedihkan. Baiklah, aku akan menemuinya tapi aku punya syarat untuk itu." kata Miranda hingga membuat Givanno mendongak. "Apa itu?" Tanya Givanno antusias. Harapan muncul dari dalam diri Givanno. Wanita itu berbisik di telinga Givanno.
"Apa kau gila? Kenapa harus itu?" Tanya Givanno. Dia tak setuju dengan syarat gila dari Miranda. Givanno berpikir sejenak. Miranda melipat tangannya di depan dadanya sambil tersenyum miring. "Ya sudah, Biarkan saja gadis kecilmu itu kelaparan lalu mati meninggalkanmu. Ini tawaran terakhirku, Vanno." Kata Wanita itu. Miranda berbalik untuk pergi namun Givanno menahannya.
"Aku siap melakukannya Tapi bukan sekarang." Pinta lelaki itu. Miranda tersenyum jahat.
"Itu tidak masalah." Balas Miranda.
Perjanjian disetujui. Givanno membawa Miranda ke hadapan anaknya. Victoria sangat senang akan kehadiran ibunya. Senyum bahagia terukir di wajahnya. Givanno meninggalkan anaknya bersama ibu kandung gadis itu. Membiarkan Miranda menyalurkan kasih sayang terhadap putri kecilnya. "Mom, aku merindukanmu!" Kata Victoria. Samar-samar Givanno mendengar perkataan putrinya. Lelaki itu merasa lega. Dia beranjak dari pintu itu.
"Mom juga, sayang. Sekarang kamu makan ya" Pinta Miranda, membuat Victoria menggeleng.
"Aku tidak mau makan makanan dari Dad. Dad jahat padaku, Mom. Dad menamparku." Jelas Victoria pada Ibunya. Gadis itu cemberut. "Dad tidak jahat, Sayang. Dad hanya merindukan kehadiran Mom. Kau harus bujuk Dad untuk menikah dengan Mom ya." Kata Miranda. Dalam suasana seperti itu, Miranda masih menyempatkan diri mendoktrin anaknya. Menghasut putrinya demi keuntungan pribadinya. Victoria melepas pelukan ibunya.
"Mom juga jahat!" seru gadis kecil itu. Miranda mulai jengkel. Mengurus satu anak saja sudah membuatnya kewalahan. "Tidak, Sayang. Pokoknya sekarang Victoria makan. Kalau tidak mau. Mom akan pergi sekarang!" Ancam Miranda. Tentu saja Victoria melunak. Kapan lagi ibunya bisa selembut sekarang padanya. Dengan lahap Victoria melahap Hamburger Isi daging di hadapannya. Gadis itu tak mau ibunya pergi. Dia masih ingin berada dipelukan wanita itu.
"Aku selesai, mom." Kata gadis kecil itu. Miranda tersenyum. "Sekarang tidur. Mom mau pergi!" Jelas Miranda. Seketika Victoria menangis. "Mom aku mau ikut. Bawa aku pergi, Mom." Pinta gadis kecil itu. Dia mencengkram erat gaun ibunya. Miranda kesal, "Victoria, Jangan manja! Disini ada Dad-mu. Mom sibuk Victoria." Jelas Miranda sedikit kasar. Victoria merasa sedih, dia menangis dengan suara nyaring. "Mom jahat, Mom tidak menyayangiku!" Teriak Victoria diiringi linangan air mata--hal itu membuat Miranda tidak tahan. Wanita itu memilih untuk pergi. "Miranda, kau mau kemana?" Tanya Givanno. Dia penasaran dengan tindakan wanita itu. Bukankah tadi semua baik-baik saja? Lelaki itu mencekal tangan Miranda. "Aku mau pergi. Kita lupakan syarat tadi. Lebih baik kau urus dia, Victoria." Jawab Miranda kesal lalu pergi meninggalkan Givanno.
Givanno dengan langkah pelan memasuki kamar anaknya. Saat melihat wajah sang ayah, Victoria menutupi tubuhnya dengan selimut. Di dalam sana ia terisak. Ibu dan Ayahnya tidak menyayanginya. "Nak, Dad ingin bicara. Dad ingin minta maaf karena selalu kasar sama kamu. Nak. Kamu boleh menghukum Dad. Tapi jangan acuhkan Dad seperti ini. Hidup Dad tak berarti tanpa Victoria." Lelaki itu duduk lemah di pinggir ranjang. Air matanya mengalir. Kenapa ia tak bisa mengerti perasaan putrinya.
"Victoria, Jangan diam pada Dad. Bicaralah, Nak! Marahi Dad sesuka hati. Umpat Dad yang bodoh ini." Ucap Givanno. Pria itu merasa putus asa. Dia menunduk. Victoria bangkit membuat Givanno mendongakkan kepalanya. Victoria turun dari atas ranjang lalu berlari keluar kamarnya. "Mau kemana, sayang?" Tanya Givanno berteriak. Victoria berbalik, mendekati Ayahnya lalu Ia menciumi wajah Ayahnya. Givanno merasakan kehangatan luar biasa karena sentuhan putrinya.
"Aku ingin Dad bahagia." kata gadis kecil dengan bibir bergetar. Givanno tak tahu maksud putrinya. Dia masih terpaku mengamati putrinya yang menggenggam tangan berototnya. "Aku tidak akan nakal lagi, aku janji tidak akan memgganggu hidup Dad lagi." Lanjut Victoria. Givanno memeluk Victoria disertai gelengan kepala. "Kamu tidak pernah mengganggu Dad, Sayang." Balas Givanno. Victoria melepas dekapan ayahnya lalu perlahan meninggalkan kamarnya. Gadis itu berlari keluar dari rumah. Dunianya sangat suram. Tak ada yang menginginkannya. Gadis kecil itu berlari menuju jalan raya. Givanno mengejar putrinya. Seketika mata Givanno melotot melihat aksi anaknya.
"Jangan, Victoria. Jangan lakukan itu." Teriak Givanno. Victoria tersenyum dari kejauhan melihat ayahnya. Dia menghapus air mata yang membasahi pipinya. Givanno berlari hingga ia bisa mendekat 10 meter dari anaknya. "Dad mohon, Nak. Jangan lakukan ini!" Teriak Givanno.
"Kau membenciku, Dad. Mom juga membenciku. Aku ingin ke Surga Dad. Tuhan menungguku disana. Selamat tinggal." Gadis kecil itu melambaikan tangan pada Ayahnya lalu menutup matanya. Gadis itu menyeberangi jalan tanpa melihat. Sebuah mobil dengan laju kencang menabrak tubuh kecilnya hingga membuatnya terbang di udara. Sakit tapi itu mungkin akhir dari penderitaannya.
Tubuh Givanno bergetar hebat, air matanya mengalir, sekujur tubuhnya terasa kaku. Dengan langkah tergopoh-gopoh lelaki itu mendekati anaknya yang kini tergeletak di pinggir jalan dengan lumuran darah. Sebelum menutup matanya, gadis itu tersenyum pada Ayahnya. Givanno berteriak. "Victoria. Bangun, Nak. Bangun sekarang. Dad tidak akan kasar lagi. Bangun, Nak. Dad berjanji kalau kau bangun Dad akan menyerahkan diri ke polisi. Victoria, Ayo bangun, Nak!" Teriak Givanno. Lelaki itu mengguncang tubuh putrinya namun tak ada pergerakan. Air matanya mengalir hebat, tangannya dipenuhi oleh darah putrinya. Dia mencium kening putrinya. Sedetik kemudian ia menelepon panggilan darurat. Tuhan, mengapa nasib putrinya seperti ini?