Telpon Dari Rosa

1041 Words
"Kamu tuh ya, Imas. Kebanyakan melamun sampai tak paham dengan apa yang saya katakan. Atau memang benar kamu menyukai Cakra?" selidik Art yang tengah bersama Imas. "Ti-tidak. Saya tidak sedang melamun juga tidak menyukai Cakra. Tadi hanya kebetulan sedang tidak fokus saja. Mbak jangan asal bicara. Kedengaran sama Tuan dan Nyonya atau Non Embun bisa berabe nanti," protes Imas dengan sedikit memanyunkan bibirnya. Meski dalam hatinya mengakui dia memang menyukai Cakra, tetapi setelah mendengar kabar jika pria itu telah menghamili anak dari majikannya, gadis itu memilih menyimpan rapat tentang perasaannya. Mana mungkin dia akan bersaing dengan putri dari orang yang selama ini memberikan kehidupan dirinya. "Semoga saja semua yang kamu ucapkan itu benar adanya. Karena saya takut beneran kamu menyukai Cakra. Betul kata kamu jika salah satu dari keluarga ini ada yang mendengar, takutnya kamu akan kena masalah. Karena dari yang saya dengar, tadi Nyonya berkata jika mereka akan menikahkan Cakra dengan Non Embun." Art yang bernama Lastri itu kembali berucap. "Iya, Mbak. Saya mengerti dan tidak berani mengambil resiko. Tolong Mbak jangan bahas lagi tentang persoalan ini. Saya mohon, Mbak." Pinta Imas dengan menangkupkan kedua tangan di d**a. "Baiklah, kita tidak usah bahas lagi tentang masalah itu. Sekarang kamu kembali bekerja lagi. Saya juga mau menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai." Ucap Lastri sambil memberikan piring kotor yang berada ditangannya untuk di cuci Imas. "Baik, Mbak." Jawab Imas seraya menerima uluran piring kotor tersebut. Setelahnya gadis itu pergi berlalu meninggalkan Lastri yang masih berdiri di tempatnya. * * * Sementara di sebuah rumah sakit ternama di Ibu kota, seoarang pemuda tampan tengah tergolek lemah diatas ranjang pasien. Tubuhnya penuh lebam-lebam akibat kena pukulan seseorang. "Tuan. Syukurlah Anda sudah sadar. Saya sangat khawatir sekali dengan kondisi Anda." Robby sang Asisten pribadi, tampak tersenyum lega setelah melihat Cakrawala sadar dari pingsannya. "Ro-Robby. Kau kah itu? Haus. Saya mau minum," pinta Cakrawala dengan pandangan mata sayu. "Iya, Tuan. Saya Robby. Baik, ini minumnya." Robby gegas mengulurkan botol minum lengkap dengan pipetnya untuk memudahkan Cakrawala minum. "Terima kasih, Rob." Ucap Cakrawala. "Tidak perlu berterimakasih pada saya, Tuan. Karena semua ini sudah menjadi kewajiban saya. Disini saya bekerja kepada Anda. Jadi sudah seharusnya saya melakukan hal itu pada Anda. Namun maaf, boleh saya bertanya hal sensitif?" tanya Robby dengan penuh kehati-hatian. Terlihat alis Cakrawala saling bertaut. Pria itu kembali menatap Robby dengan memasang wajah penasaran "Hal sensitif apa yang ingin kau tanyakan? Sepertinya itu serius banget, hingga membuat wajah kamu terlihat tegang begitu." "Mmh, tetapi maaf sekali lagi, Tuan. Saya penasaran sekali dengan tindakan yang dilakukan Tuan Indra kepada Anda. Sebenarnya kesalahan apa yang telah Anda perbuat hingga beliau murka?" pertanyaan itu terlontar dari mulut Robby. Helaan napas berat Cakrawala terdengar ditelinga Robby. Rupanya masalah tuannya itu sangatlah serius, hingga membuat sang tuan terlihat murung. "Saya sudah melakukan kesalahan fatal, Rob. Saya menghamili putrinya. Namun semua itu sungguh bukan unsur kesengajaan. Kami di jebak seseorang, hingga semuanya terjadi. Dan sekarang Embun hamil anak saya, katanya." Ucap Cakrawala dengan mata menerawang jauh keatas langit-langit kamar perawatan rumah sakit. "Hah?! Apa semua itu benar?" tanya Robby sambil tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Bahkan kelopak mata asisten dari Cakrawala itu sampai melebar. Lirikan tajam Cakrawala layangkan pada sang asisten diiringi delikan mata yang sangat tajam. Dia tidak suka dengan ekspresi yang Robby tunjukan. Menurutnya itu terlalu berlebihan. Namun sang asisten tak menyadari hal itu. Robby malah semakin menunjukan keberaniannya untuk mengorek informasi yang lebih jauh. "Sekarang bagaimana dengan rencana kedepan Anda, Tuan? Apakah misi Anda mau dilanjut atau berhenti karena peristiwa ini?" tanyanya kepo. "Huft," hembusan napas gusar Cakrawala keluarkan. "Kamu itu kepo banget, Rob. Atau jangan-jangan kamu memang mau cari mati, ya?" tanya balik Cakrawala dengan delikan matanya yang sangat tajam. Pria itu terlihat gusar dengan pertanyaan yang didengarnya tersebut. Robby tersentak kaget setelah menyadari kesalahannya terlalu ikut campur pada sang tuan. "Ma-maafkan saya, Tuan. Saya terlalu ikut campur urusan Anda." Robby segera memperbaiki kesalahannya dengan mengucapkan kata maaf pada Cakrawala. "Sudahlah, saya lelah ingin istirahat. Di tambah tubuh saya yang sedang lemah ini. Pertanyaan-pertanyaan kamu itu hanya membuat saya bertambah pusing saja. Sekarang kamu belikan makan untuk saya. Semua makanan rumah sakit ini tidak membuat selera," perintah Cakrawala sambil mengibas-ngibaskan tangan agar Robby cepat keluar. "Baik, Tuan. Anda menginginkan makan apa?" tanya Robby ingin memastikan agar tidak salah membeli dan sesuai dengan selera sang tuan. "Terserah kamu saja. Yang pasti jangan membuat saya menjadi mual," ucap Cakrawala datar. Robby terlihat bingung dengan selera tuannya hari ini. Dia tidak mengetahui sang tuan ingin memakan apa. Namun dia juga tidak ingin kena semprot kembali karena banyak bertanya. "Permisi saya keluar dulu, Tuan." "Hmm," hanya sebuah deheman yang keluar dari mulut Cakrawala. Meski bingung dengan kemauan sang tuan. Namun akhirnya Robby keluar juga. Otaknya berputar mengingat-ngingat menu makanan yang sesuai dengan selera sang tuan sekarang. Sedangkan di dalam kamar perawatan milik Cakrawala. Terlihat pria itu sedang berusaha meraih ponselnya yang tergeletak diatas nakas ruangan tersebut. Tangannya yang bebas dari selang infusan berusaha menggapai-gapai ponsel tersebut. "s**t, susah amat cuma ngambil ponsel juga. Kenapa si Robby menyimpan ponselnya di sana? Menyusahkan saja," umpat Cakrawala gusar. Karena ponselnya terus berdering membuat dia terus berusaha mengambilnya. Dengan susah payah akhirnya ponsel itu dapat dia raih. Matanya memicing, sejenak tubuh Cakrawala membeku melihat siapa orang yang tengah menghubunginya itu. Tampak jelas di layar ponsel nama Rosa sang nyonya majikan istri dari Indra tengah menghubungi. Bimbang. Pikiran Cakrawala berkecamuk dipenuhi dengan segala ketakutan akan hal yang tidak diinginkan. Dia mengabaikan panggilan tersebut. Namun, seolah tidak ingin menyerah Rosa terus menghubunginya. Merasa terganggu juga dan tidak ingin Rosa berpikir buruk tentang dirinya, Cakrawala akhirnya memberanikan diri menerima panggilan tersebut. "Assalammualaikum, Nyonya." Ucapan salam akhirnya yang terlontar dari mulut pria tampan itu. "Waalaikumsalam, Cakra ini kamu 'kan?" tanya Rosa dari sebrang telpon. Wanita itu ingin memastikan jika itu benar Cakrawala. Tidak biasanya pemuda itu telat menerima telpon dari dirinya. Cakrawala selalu sigap jika dia hubungi. "I-iya, Nyonya. Ini saya. Ada perlu apa, ya?" tanya Cakrawala terdengar gugup. "Kamu kemana saja tidak masuk kerja beberapa hari kebelakang? Atau betul yang dikatakan suami saya kalau kamu itu dipindahkan ke perusahaan?" telisik Rosa. "Saya—" Cakrawala menggantung kalimatnya karena bingung harus menjawab apa. Namun tiba- tiba Rosa mengalihkan panggilannya menjadi panggilan vidio. Meski bingung, Cakrawala terpaksa menerima panggilan tersebut. "Cakra!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD