Setelah Sekian Lama

1310 Words
Sky memegang ponsel, dapat telepon dari Sagara yang meminta dirinya ke rumah sakit RMC, “datang ke RMC, kamu hanya pernah sekali-sekalinya datang menemui Grandad.” “Aku mau datang, tetapi Uncle Aric memberiku banyak pekerjaan yang kacau... Aku harus mengubah beberapa sistem yang sudah tidak efisien.” Sky baru ini mengeluh pada Sagara, adiknya memang masih menetap di London. Kalau pun pulang, hanya selama libur kuliah istrinya. Mereka akan kembali ke London setelah Kai membaik. Sambil pendidikan mereka berjalan, Sagara bagian dari perusahaan Lais. “Aku bisa membantumu,” ia menawarkan diri. Sagara dan keluarganya pasti berpikir selama lima tahun terakhir, hidupnya hanya santai. Padahal tanpa mereka tahu, Sky ada beberapa bisnis. Dia terbiasa mengatasi bisnis yang pasti ada naik-turnnya, “tidak perlu, semua sudah bisa kuatasi.” “Aku ingin sekali bisa bicara denganmu, berdua.” Sky tidak menjawab, “aku akan segera datang ke rumah sakit setelah pulang dari sini,” jawabnya. Kemudian mengakhiri teleponnya. Sky menghela napas dalam-dalam. Menatap pada Budi yang dengan setia menunggu. “Pak, Pak presdir meminta Anda untuk menemuinya.” Belum juga Sky mengangkat kakinya, mendapati pintu ruangannya dibuka. Aric muncul dengan wajah kesal, kentara sekali. Di ikuti dengan Hamish yang berjalan santai, berbanding terbalik. Budi langsung menyapa, tapi Aric langsung berdiri dan meletakkan sebuah fail. “Apa ini Sky?” tanyanya. Sky berjalan pelan, mendekat dan mengambilnya. “Bagaimana bisa kamu memecat banyak orang?!” Sky belum juga satu bulan di sini, tetapi sudah banyak ulahnya yang buat Aric sampai semarah itu. “Aku mengambil keputusan bukan tanpa alasan, orang-orang yang aku ajukan untuk diganti, mereka yang tidak kompeten lagi.” “Sky—“ “Percaya padaku, apa aku akan mengajukan pergantian mereka bila tanpa sebab?” tanyanya. Hamish mendekat, “aku berpikir begitu, tapi Aric tidak mau mendengarkanku. Dalam berkas pengajuan, Sky melengkapi dengan alasan rasional.” Aric diam. “Maka ini kan alasannya kamu minta tim audit bekerja di awal, bukan akhir tahun?” “Ya,” Sky malah membentuk tim audit khususnya. “Tapi, tempat itu akan kosong.” “Kita bisa langsung merekrut dari beberapa orang yang pantas menggantikan posisi kosong tersebut, atau membuka lowongan secepatnya.” Aric kemudian duduk, bersedekap “bahas semuanya denganku, apa yang kamu temukan hingga mengubah banyak struktur di perusahaan kita?” Sky mengangguk, menatap Budi yang bergerak menutup bagian kaca lalu meredupkan lampu. Ia juga mengatur presentasi dadakan Sky. Hamish dan Aric pindah ke sofa, Sky berdiri dan mulai menjelaskan. Ada beberapa yang tidak beres dalam struktur perusahaannya. Selain ide yang dianggap sudah tidak cocok untuk skema perusahaan ke depan, ada juga yang berusaha menggelapkan dana. Aric terdiam, kemudian Hamish pun merasa mereka pun kurang seteliti Sky. Mereka melihat jika Kaivan memutuskan menempatkan Sky di perusahaan ini tepat, tegas dan langsung mengambil tindakan, berani meski ada risiko besar. Puas dengan penjelasan Sky, Aric berdiri dan menghampirinya, “maaf Uncle sudah salah paham, tanpa minta penjelasanmu, Uncle malah langsung marah.” “Aku memang terpaksa kembali ke Jakarta, berada diposisi sekarang di perusahaan ini, tetapi aku mana mungkin tidak melakukan yang terbaik, bahkan membenarkan hal-hal tidak baik di sini yang akan berpotensi merugikan bahkan menghancurkan perusahaan kita.” Ujarnya dengan tenang. Aric tersenyum, menepuk pipi keponakannya. “Terima kasih, satu yang buat Uncle harusnya tidak ragu... keputusan Daddy Kaivan, dengan memberikan posisi ini padamu, pasti demi kebaikan perusahaan Lais. Dia tahu kamu mampu... Kelak akan menggantikan posisiku.” Sky tidak memberi reaksi, wajahnya tetap datar. Dia tidak serakah dengan menginginkan posisi Aric sekarang. Ia lebih suka dengan bisnisnya sendiri yang tengah berjalan sekarang di luar dari perusahaan keluarga. *** Keputusan Sky yang mengubah banyak, memecat beberapa orang dengan berani, tetap menimbulkan nada sumbang yang segera menyerbak antara para pekerja di gedung Lais. Sikapnya dianggap lebih sok berkuasa dari Aric, melangkahi paman-pamannya di perusahaan tersebur, bahkan dilihat semena-mena. Kabar itu terdengar sampai telinga Althaf dan anak-anak PKL lainnya, saking Sky sedang hangat-hangatnya selalu dibicarakan. “Teh, sudah di mana?” tanya Althaf. Sementara Lula yang sedang menyetir sendiri, dengan Rigel di kursi khusus anak, ada di bangku belakang. Dia menoleh pada putranya yang anteng menatap belakang kursi, terdapat layar yang menampilkan lagu-lagu anak-anak favorit Rigel. “Sudah dekat, aku sudah bisa lihat gedung Lais.” Ujarnya, terpaksa Lula harus menjemput adiknya ke sana. Kebetulan dia baru meeting dengan kliennya dekat sana. Althaf tahu dan langsung meminta Lula menjemput. Jika Lula menolak, pasti adiknya akan heran. “Ya sudah, aku tunggu di lobi depan.” Lalu panggilan berakhir, Lula menghela napas dalam-dalam. “Astaga, ini benar-benar nekat!” gerutunya. Di tambah ia membawa Rigel ke sana. Walau sudah meyakini hatinya berkali-kali, jika tidak ada yang perlu ia khawatirkan. Lula hanya menjemput sampai depan gedung, potensi bertemu dengan Sky sangat tipis. Mungkin satu persen saja, ia tidak akan keluar dari mobil. Ya, yang tersusun di pikirannya begitu tetapi Lula tidak pernah tahu garis semesta. Di tambah jantungnya tetap saja berdebar kuat semakin ia dekat, bahkan mobilnya memasuki gedung Lais. Dia lega melihat adiknya sudah menunggu, dia berhenti tepat di belakang sebuah mobil luxury Jeep yang harganya bisa berkali-kali lipat dari mobil mini cooper terbarunya. Althaf segera mendekat, membuka pintu dan menyapanya. “Hai Teteh... Igeeeel...” juga menyapa Rigel, menjahilinya sampai Rigel berteriak kesal. “Akaaaal!” dia menyebut Althaf nakal. Althaf menyeringai, “Rigel yang nakal, Om sih enggak! Bleeeee!” “Bleeeee!” Rigel balas menjulurkan lidahnya, tingkah menggemaskan. “Sudah, jangan ganggu anak Teteh! Kamu mah, jahil banget!” Omel Lula. Repot kalau Rigel menangis dan ingin pindah duduk di pangkuannya, Althaf terkekeh, kemudian menemukan Lula memakai kaca mata, malah masker. Kedua alisnya menyatu saat keningnya mengernyit. “Eh Lho, Teteh kenapa pakai masker segala sih?” “Aku kayaknya mau flu deh, jadi dari pada menulari Rigel... lebih baik aku pakai masker.” Alibinya, padahal yang sebenarnya ia memakai masker dan kaca mata untuk menghindari kemungkinan dilihat Sky jika bertemu. Konyol memang, ditambah ia tidak turun dari mobil. “Oh, kupikir supaya tidak dikenali.” Celetuk Althaf. Tepat sekali. Lula baru akan menoleh, saat ia menangkap seseorang dengan aura yang tetap sama melangkah melewati dua pintu kaca otomatis. Para petugas dan beberapa karyawan di sana membungkuk sungkan. “Sky...” bisik Lula nyaris tanpa suara hingga Althaf tidak mendengarnya. Ya, pria itu Sky. Dengan langkah cepat dari kaki panjangnya itu. Di ikuti seorang pria yang tergesa-gesa. Lula mematung, mencengkeramkan tangan dikemudinya. Setelah sekian lama akhirnya melihat Sky. Pria itu semakin terlihat tampan, matang dan tetap semenarik dulu. Althaf juga ikut menangkap Sky yang berjalan, berhenti, terlihat menjawab telepon. Berdiri cukup lama, barulah setelah sekitar lima menit masuk ke mobil itu, terlihat meninggalkan personal asistennya. Dia mengemudi mobilnya sendiri. Althaf pun kemudian menoleh menemukan kakaknya terdiam, lima menit itu dipakai Lula memerhatikan pria yang sudah dua setengah tahun tidak dilihatnya lagi. Dulu saat ia harus meninggalkan Chicago, setelah Sky memintanya pergi, Lula pikir tidak akan pernah melihatnya. “Dia yang aku ceritakan, cucu pertama keluarga Lais. Pewaris sekaligus yang akan meneruskan perusahaan ini nanti... Sky Xabiru Lais. Aku juga baru tahu, sebelumnya dia tidak di Jakarta... Hampir lima tahun lebih di Chicago, dia dulu ingin mengikuti jejak ayahnya, kamu pernah dengar Xabiru Alyan? Mantan atlet petarung—“ “Tidak perlu kamu ceritakan, Al. aku sudah tahu semuanya.” Bahkan dari hal-hal yang tidak Althaf tahu, jika mereka pernah bertemu, tinggal bersama, melakukan kemesraan hingga menghasilkan Rigel. “Wah, kamu mencari tahu? Apa tertarik seperti para karyawan wanita di sini?” tanya Althaf menggoda. Lula tidak mengatakan apa-apa selain melajukan mobil setelah mobil Sky pun melaju, kemudian dia memang tidak ingin muncul di depan Sky, tetapi ia ingin tahu satu hal... apa Sky masih mengingat dirinya? Bagaimana caranya untuk tahu Sky masih ingat atau justru melupakannya dengan mudah? Lula menatap kaca di tengah mobil, ia menatap putranya, Rigel sangat dekat dengan ayahnya, Sky. Tapi, Sky sama selali tidak tahu tentang Rigel.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD