Di Suatu Makan Malam...

1526 Words
“Kamu sudah janji ya, Sabtu ini kita makan malam. Ini ulang tahunku yang ke dua puluh dua. Aku tidak meminta apa pun, karena semua bisa kudapat kecuali momen langka ini.” “Kirimkan nama restonya, aku akan datang. Kamu yakin tidak ingin a gift from me?” “Aku hanya mau makan malam dalam formasi keluarga lengkap,” ujar Fayra, “uhm kalau kado, inisiatif dong kak!” Sky lalu menutup teleponnya setelah dapat teror ke sekian kali dari adiknya hari ini. Ia baru meletakan ponsel saat pintu ruangannya di buka, Budi baru akan ambil satu langkah ketika dapat teguran, “ketuk pintu dulu, Budi!” Budi segera berbalik, dengan konyol ia mengulang. Ketukan pintu terdengar, Sky tidak menjawab, Budi muncul dengan senyumnya. Sky kembali menerima fail yang diberikan, baru membukanya saat menatap Budi, “besok adik saya ulang tahun, apa yang perempuan sukai sebagai kado ulang tahunnya?” Budi masih berdiri di samping mejanya, menghadap bosnya, “Pak Sky tanya pendapat saya?” Sky langsung mendelik, “kamu lihat ada orang lain di sini, selain kamu?” Budi kembali menyengir, “terakhir saya kasih saran mau belikan pakaian dan dasi untuk Pak Sky, malah diancam mau dicekik.” Sambil menelan ludahnya. Sky masih menatapnya tajam, dingin. “Seharusnya saya tidak hanya mengancam ya?” “Jangan dong, Pak Sky... Saya ini putra semata wayang, kasihan Bapak-Ibu saya kalau anaknya ini mendahului mereka sebelum setor cucu.” Jawabnya, Budi sudah lumayan bisa santai walau masih horor sekali suasananya setiap berhadapan dengan bosnya. Sky hanya diam. “Uhm, tidak penting ya, Pak?” Sky menaikkan satu alisnya, tetap di posisi. Membuat Budi jadi mulas, menahan diri untuk tidak kentut di sana. Benar-benar pengaruh bosnya melebihi bos lainnya, Aric bahkan Hamish, saat berhadapan dengan keduanya tidak pernah membuatnya sampai mulas. Hanya memberi tatapan saja, Sky sudah membuat Budi pucat pasi. “Begini, kalau bisa kasih saran... bisa tas, atau Pak Sky mau saya pesankan bunga ucapan untuk Nona Fayra?” Sky terdiam, kemudian memberi anggukan, “kirimkan anggrek putih, kirimkan atas nama saya.” “Akhirnya saran saya berguna juga,” gumamnya lega. Sky kembali menatapnya saat Budi bertanya, “kapan, Pak?” "Saya bilang besok, besok hari apa?" tanya Sky. "Eh, Sabtu. Saya minta diantar pagi. Ada ucapan spesial?” Budi perlu memastikan, belajar untuk detail sebab Sky membenci sedikit saja kekurangan. Sky menggelengkan kepala, “hanya itu. Bunga anggrek yang masih segar.” Mengingatkan. Setiap tahun, Sky memang suka mentransfer sejumlah uang pada saat Fayra berulang tahun. Membiarkan adiknya memilih hadiahnya sendiri walau dalam kehidupannya sebagai putri satu-satunya sudah pasti dimanjakan oleh Papa-Mama bahkan Kaivan dan Anna. Sky kemudian kembali memeriksa failnya, “sudah ada pengajuan baru untuk pembaruan BA kita?” Sky menolak tegas untuk memakai Lula dan putranya, selain sudah dengar Lula menolak kerja sama, pun Sky tidak mau berurusan dengan wanita itu lagi. Hampir dua setengah tahun hubungan apa pun yang pernah terjadi, sudah berakhir. Sky tidak mau melibatkan hal-hal yang akan menyulitkannya untuk pergi dari Jakarta lagi nanti. “Ada beberapa, tetapi tim survei kita tetap merujuk kandidat paling bagus Influencer—“ Sky mengangkat tangannya, “Indonesia tidak kekurangan artis, model atau influencer cantik dan berbakat, bukan? Kenapa memaksa yang bahkan jual mahal dengan menolak ajakan kerja sama kita. Kita tidak akan rugi, hanya karena influencer yang mengandalkan like dan views, atau followers saja. Bahkan menjual kesedihan, sampai jalan hidup dramatis untuk menarik simpatik semata!” Jawabnya dengan angkuh. Budi segera mengangguk, paham. Memilih tidak melanjutkan ucapannya. Merasa sejak awal, Sky langsung seperti menolak. Lalu ia melirik meja Sky, “tapi kenapa fail profilnya terbuka, saya pikir Pak Sky masih mempertimbangkannya.” Ujarnya polos. Sky segera menoleh, lalu mengumpat dalam hatinya saat ia lupa menutup fail tersebut. Menyadari Budi masih menatapnya, tampak menahan senyum, Sky langsung duduk tegap lagi, “hm, ada lagi?” “Tidak, Pak.” “Ya sudah, kembali ke mejamu. Keberadaanmu lama-lama di sini mengganggu pemandangan saya!” ucapnya. Budi segera berbalik, seperti robot tanpa membantah meski mulut Sky kadang sangat tajam. Ia menutup pintu, barulah mengumpat. “namanya sangat sesuai, Sky... langit, angkuh, tinggi. Astaga!” dia terus menggerutu hingga menarik perhatian beberapa rekan kerja yang berpapasan. *** “Ka Sky datang, aku sudah bilang bukan? Dia tidak akan menolakku! Setiap tahun, meski dia jauh, dia mengingat ulang tahunku dan selalu jadi orang pertama yang mengucapkan ulang tahun.” Kata Fayra dengan bangga. Ia berdiri, keluar ruangan yang sudah disewanya. Ruangan VVIP di sebuah restoran bintang lima. Sebenarnya tidak mau ada perayaan, mengingat keadaan Kaivan Lais yang masih terbaring lemah, tetapi Fayra berpikir selagi keluarga intinya lengkap. Felora yang duduk di samping Sagara tersenyum, turut senang. “Ini pertama kalinya makan malam lengkap untuk keluarga inti kita, ya?” Halim dan Kikan juga hadir di sana, tanpa anak-anak yang harus belajar untuk ujian. Lainnya tidak bisa hadir, ada juga yang bergantian menjaga Kaivan di rumah sakit. “Andai Grandad tidak sedang sakit, pasti lebih seru kita adakan makan malam dengan semua anggota keluarga Lais dan kerabat lainnya.” Kata Sagara, dengan nada sedih. Felora mengusap lembut tangan suaminya yang ada di atas meja, mereka bahkan belum kembali ke London. Menunggu keadaan Kaivan kian membaik. Sky muncul dengan kemeja putihnya yang terlihat pas dengan tubuh atletisnya. Celana jeans biru. Bagian lengannya digulung. Rambutnya tertata rapi, ia memeluk Fay dan lainnya sebelum mengambil tempat tepat dekat Fay dan Fayra, ditengah-tengah. “Terima kasih sudah datang, Ka.” Ujar Fayra, “oh iya, kiriman bunga anggreknya sangat cantik,” “Kamu menyukainya?” tanya Sky. “Ya, suka.” Angguk Fayra. Semua agak terkejut. Fay lega paling tidak Sky tetaplah bersikap seperti Kakak yang menyayangi adiknya, di tengah perubahan sikapnya pada dirinya dan suami. Makan malam dimulai, pelayan-pelayan resto menyajikan makan malam mereka. Terlibat obrolan ringan, dan Sky menanggapi seadanya. Tetap tidak banyak bicara. Di tengah menyantap menu utama, Sky mendapatkan telepon. Ia melihat si penelepon, lalu berdiri. “Aku izin menjawab telepon ini,” Tanpa menunggu anggukan dari yang lain, dia segera keluar. Menjawab, “wait a minute...” Mencari tempat, dia menuju halaman resto yang lebih sedikit pengunjungnya. Berdiri dekat sebuah kolam ikan Koi yang terdapat lampu, memperindah tamannya. Dia bicara menggunakan bahasa asing dengan si penelepon, sangat fokus hingga tidak menyadari seorang anak kecil, berusia hampir dua tahun berdiri di sampingnya, fokus pada kolam ikan. “Damn!” ia mengumpat cukup menarik atensi bocah itu, Sky lanjut memeriksa email dan ia merasa diperhatikan lalu seseorang menarik-narik celananya. Sky menunduk, beradu tatap dengan sepasang mata bulat yang jernih, lalu bocah itu tersenyum. “Ikaan, mam!” menunjuk area kolam ikan di sana. Sky yang hanya terdiam, terkejut saat bocah itu menjauh lalu membuat posisi tubuhnya hampir masuk kolam. “Damn you! Apa yang kamu lakukan?!” Sky bergerak cepat meraup tubuh kecil itu. Gerakan yang terlalu mengejutkan dan bocah itu menangis. “Rigel!” seru sebuah suara, Sky bingung tetapi langsung tahu panggilan nama itu milik bocah yang masih menangis dalam pelukannya. “Om mau culik ponakan saya?” tuduhan berikutnya muncul dari pria muda awal dua puluhan. Memberi tatapan curiga lalu mengambil alih Rigel dari pelukannya. Sky menghela napas dalam-dalam, kemudian bertanya dengan angkuh, “apa tampang saya terlihat seperti penculik?” Dia adalah Althaf, menatapnya dari ujung kaki hingga atas, Rigel juga malah menatapnya. Kemudian Althaf menyeletuk, “dibanding penculik, lebih cocok jadi ketua mafia yang kejam dan berdarah dingin kayak di film-film atau iklan rokok!” Sky langsung tercengang, apa katanya? Ketua mafia, model di iklan rokok? “What the f**k?! Bisa-bisanya kamu bilang begitu?!" kesal Sky. “Astaga, kasar sekali. Tidak lihat, ada anak kecil?! Kalau Teteh ada di sini, bisa kena amuk!” celetuk Althaf lagi. “Seharusnya kamu berterima kasih, saya menyelamatkannya yang hampir mengumpankan diri pada ikan itu.” Tunjuknya pada area kolam. Althaf hanya menatap, kemudian tampak terpaksa, kemudian “thank you!” berterima kasih. Althaf membawa Rigel pergi, Rigel menoleh lalu menjulurkan lidahnya dan tertawa. Sky terdiam, tetapi kemudian bibirnya berkedut dan entah mengapa hatinya menghangat seperti ingin tersenyum melihat bocah itu. “Berapa lama aku pergi dari kota ini, orang-orangnya makin banyak yang aneh!” Gumamnya sambil berbalik, namun di detik itu ia mendengar suara pria tadi dan seseorang. “Teteh, aku sudah mendapatkan tuyulmu ini... dia memang selalu tertarik sama air! Harusnya nama tengahnya yang berbau laut, bukannya langit!” Sky berhenti berjalan, tiba-tiba keinginan kuat berbalik, tetapi ia hanya bisa melihat anak muda tadi menjauh, Rigel sudah pindah ke gendongan seorang wanita, dan bocah itu kembali menatap Sky dari posisinya. “Jangan lari seperti itu, Rigel. Kalau mau lihat ikan, Momo bilang nanti kalau sudah selesai makannya.” Sementara Sky bergumam, “suaranya seperti tidak asing...” “Dammm! Momo dammm!” ujar Rigel dengan suara lucunya, meniru dengan celotehnya. Membuat wanita yang tengah mengendongnya langsung membulatkan mata, “Althaf, Teteh sudah sering ingatkan. Jaga kalimatnya kalau depan Rigel!” “Hah? Aku enggak bicara macam-macam... Ah pasti pria itu, dia bahkan mengumpat kasar tadi!” Decak Althaf. Sementara Rigel kesenangan melihat Sea mengomeli omnya. Bocah itu juga kembali menatap ke arah Sky yang masih memerhatikan, tangan kecilnya dengan gemas bergerak ‘dadah’ padanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD