Ddrtttt ... ddrtt ...
Gue melirik nama dilayar ponsel gue yang berdering nyaring.
Om Santaclaus.
"Hallo Om. Kebetulan banget Luna baru mau telp Om," dusta gue manis.
"Ohya? Berarti kita sehati dong?"
Gue bisa mendengar tawa renyah Om di telpon. Mungkin dia lagi happy hari ini.
"Om menang lotere? Kayaknya lagi seneng betul."
"Apa orang hanya senang karena memang lotere?" Om balas bertanya.
Gue terkekeh geli. "Gak tau orang lain. Kalau Luna sih iya aja." Boong lagi. Gue kan gak pernah beli lotere!
"Atau o*******g karena bakal ketemu bidadari dari khayangan?" goda gue lebih lanjut.
"Dua-duanya. Aku senang menang lotere karena bakal ketemu bidadari cantik seperti kamu."
Tuh kan. Receh banget. Tapi kenapa hati gue berdesir senang?
"Aih o*******g banget bikin Luna melting kayak gini," rajuk gue manja.
Om tertawa riang. "Cantik, siap-siap ya. Dua jam lagi kujemput. Pakai gaun merah yang minggu lalu kita beli di butik The Have."
Itu kan gaun pesta. Berarti Om mau mengajak ke acara istimewa nih. Jadi penasaran.
Dua jam kemudian, gue sudah di mobil Om dengan memakai gaun pesta yang seksi. Om mengenakan stelan tuksedonya yang perlente hingga ia nampak semakin mempesona.
"Wow, Om ..." Sengaja gue menggantung ucapan gue.
Om jadi penasaran. "Aku, mengapa?"
Gue maju untuk memperhatikannya lebih dekat. Tetap ganteng lah. Dari sini gue bisa melihat keriput halus di ujung matanya. Tapi mengapa kesannya Om jadi semakin misterius dan seksi?!
Cuupppppp. Gue mengecup bibir Om lamaan.
"Om manis."
Dia tergelak mendengar komentar gue. "Astaga, baru sekali ini ada yang mengatakan aku manis."
"Biasanya?" tanya gue sambil nyengir.
"Seksi. Maskulin. Gagah. Tampan. Mempesona."
"Om gak pengin muntah mendengar orang ngomong kayak gitu?" sindir gue.
"Enggak. Malah pengin tidur. Bosan."
"Tidur atau nidurin orang?" goda gue menjurus.
Om menatap gue intens hingga senyum tengil gue menghilang. Elah, kok gue jadi grogi. Gue lupa, ini kan masalah yang mengganjal diantara kami. Sambil terus menatap gue, Om mengusap punggung gue. Kehangatan tangannya langsung bisa gue rasakan karena gaun pesta yang gue pakai modelnya backless. Jadi punggung gue terbuka sampai diatas pinggang dikit. Kulit gue meremang terkena sentuhan Om.
"Apakah itu kode?" tanya Om dengan suara parau.
"Kode apa?" tanya gue spontan.
Om mendekatkan wajahnya, bibirnya menyentuh bibir gue. Ala sentuhan kupu-kupu.
"Menidurimu ..." ucapnya mendesah pelan.
Gue tak menjawab. Pipi gue merona merah. Om melumat bibir gue, memagutnya penuh gairah. Dia menggigit pelan bibir bawah gue, karenanya mulut gue terbuka dan dia bisa menyelipkan lidahnya yang hangat tuk menggoda didalam sana. Gue mengalungkan lengan gue ke leher Om, sementara tangan Om yang tadi mengusap punggung gue mulai beralih ke depan. Gue bisa merasakan tangannya menangkup bulatan p******a gue.
"Ommmmmm ..." lenguh gue panjang.
"Yes, Beb," dia menjawabnya disela-sela menjilat ceruk leher gue.
"Kalau tak ingat aku sudah memboking satu restoran di Singapura untuk kita, sepertinya lebih menyenangkan kita menghabiskan malam di apartemen," bisik Om di telinga gue.
OMG.
Gue seperti mengalami adegan yang ada di film Crazy Rich Asian. Tak menyangka Om sudah memboking satu resto hanya untuk kita berdua, di Singapura lagi! Jauh amat kencan kami! Tapi elegan.
"Atau biarkan saja resto di Singapura, kita balik ke ..."
"Tidak, Om! Luna ingin kencan romantis dengan Om!" seru gue cepat.
Kapan lagi ke Singapura gratis hanya sekedar untuk berkencan? Orang kaya mah bebas.. eh, bisa saja! Gue sangat antusias membayangkan sebentar lagi bisa jalan ke Singapura, tapi ternyata Tuhan punya kehendak lain.
Mama menelpon, memberi kabar Papa masuk RS. Saat naik motor Papa mengalami kecelakaan, ditubruk mobil dari belakang. Mama kalut dan menyuruh gue ke rumah sakit.
"Om, sepertinya Luna gak bisa ke Singapura. Papa kecelakaan. Luna harus kembali untuk mengurus Papa."
Om menggenggam tangan gue dan menepuknya lembut.
"Tak apa Luna. Lebih baik kau mengurus papamu dulu."
"Tapi Om terlanjur memesan satu resto di .."
"Tak usah dipikirkan. Biar stafku yang mengurusnya. Papa kamu dimana?"
"Di Bogor. Papa berada di rumah sakit Budi Mulya. Kaki Papa patah. Tulangnya ada yang retak. Papa butuh dioperasi."
Papa dan Mama gue tinggal di kota hujan itu, sedang gue disini ngekos karena kuliah di kota lain. Tadinya, sebelum Om meminta gue pindah ke apartemennya. Ternyata Om mengurus segalanya dengan baik. Dia menyewa ambulan yang memindahkan Papa dari rumah sakit di Bogor pindah ke Jakarta. Papa dimasukkan ke rumah sakit mewah yang pasti biayanya selangit.
Gue dan Mama kebingungan memikirkan biaya yang akan kami keluarkan. Biaya operasi disini pasti sangat mencekik leher, darimana kami mendapat uang sebanyak itu?
"Om, maaf. Apa Papa tak bisa dipindahkan ke rumah sakit yang lebih ekonomis?" tanya gue sembari menjawil lengan Om saat dia mendaftarkan Papa masuk ke RS mewah ini.
"Disini fasilitasnya bagus, Luna. Jadi papa kamu bisa tertangani lebih baik," sahut Om, dengan senyum menenangkan.
"Ta-tapi Om, biayanya ..."
"Tak usah khawatirkan itu," potong Om santai.
Dia menghampiri Mama dan menyalaminya. Mama menerimanya dengan raut wajah bertanya-tanya.
"Saya Dexter, kekasih Luna."
Mama spontan menatap gue dengan pandangan protes. Oke, gue mengerti. Mama pasti syok tahu gue pacaran sama Om-om. Tapi Mama gak enak menegur langsung didepan Om.
"Luna belum bercerita tentang Om, eh Anda, pada kami orangtuanya," ucap Mama datar.
Om tersenyum penuh pengertian. "Kami baru jadian. Mungkin Luna belum sempat memberitahu Tante dan Om."
Mama mengangguk kecil. Tapi dia sempat melotot geram ke gue.
Ternyata Om telah mendaftarkan Papa dirawat di ruang VVIP. Mama semakin kebingungan memikirkan biayanya. Dia menarik gue menjauhi Om.
"Luna, sepertinya ini tak benar. Kita tak mampu membayar semua ini!"
"Ma, Om yang memaksa. Dia yang akan membayar semuanya," ucap gue pelan.
Mama membelalakkan matanya, lalu mencengkeram tangan gue erat.
"Luna, jujurlah pada Mama. Kamu tak menjual diri pada si Om kan?!"
Deg.
Napas gue tercekat. Apa ini maksudnya? Seakan gue ini simpanan Om, apa itu termasuk menjual diri?
"Jawab Luna!" sentak Mama.
"Mama, Luna tak pernah tidur sama dia. Luna Cuma pacaran sama Om. Salahkah Luna jatuh cinta pada pria yang lebih tua?" kata gue dengan mata berkaca-kaca.
Mama menatap gue dengan pandangan menyelidik. Akhirnya dia menghela napas panjang dan melepas tangan gue.
"Mama hanya tak ingin kamu tersesat Luna. Ingat kamu itu perempuan. Harus bisa menjaga diri. Sekali rusak, perempuan akan dianggap tak benar selamanya!" nasihat Mama.
"Iya, Mama."
"Mama harap kamu berkata jujur."
"Luna gak bohong." Emang benar kan. Gue gak pernah tidur bareng sama Om, sampai saat ini!
Sikap Mama sedikit berubah terhadap Om. Dia mulai bisa rileks. Apalagi Om pandai membawa diri. Om mengurus masalah Papa di rumah sakit. Bahkan konsultasi dengan dokter dilakukan atas inisiatif Om hingga kami banyak mendapat kemudahan dan fasilitas istimewa. Om berhasil merubah pandangan Mama padanya. Gue rasa hati Mama telah terpikat pada Om.
"Tante, besok Om akan dioperasi pukul delapan pagi. Sebaiknya kita beristirahat untuk mempersiapkan hari esok. Apa Tante mau menginap di apartemen?"
"Apartemen siapa Om, eh .."
"Tak apa, Tante boleh memanggil saya Om, mengikuti Luna," kata Om sambil mengacak rambut gue.
"Om, tak usah repot. Biar Tante tidur disini menemani Papanya Luna. Om tolong antar Luna ke kosnya saja," pinta Mama sopan.
Ups. Gue lupa, ortu gue belum tahu gue pindah ke apartemen.
"Mama, Luna sudah pindah kos."
"Loh, kamu sudah tidak ngekos di Grogol? Sejak kapan?"
"Sudah dua minggu."
"Lalu sekarang kosmu dimana, Luna?" tanya Mama ingin tahu.
"Ehm, Luna pindah ke apartemen."
"Luna menempati apartemen saya, Tante. Tapi saya tidak tinggal disana. Apartemen itu tadinya untuk keponakan saya tapi dia belum bisa menempatinya. Daripada kosong saya minta Luna memakainya."
Mama mengangguk paham. Ternyata Om bisa menjelaskan dengan baik pada Mama.
"Om, Tante merasa tak enak. Om sudah terlalu banyak membantu Luna dan juga mengurus rumah sakit ini. Keluarga kami terlalu banyak merepotkan Om."
"Tak apa Tante. Keluarga Luna sudah saya anggap keluarga sendiri." Om tersenyum tulus hingga membuat Mama semakin terpikat.
"Kami banyak berhutang budi pada Om. Bila Luna bersikap kurang ajar, nakal atau tak tahu diri, laporkan saja pada Tante. Nanti Tante akan menghukumnya!"
"Ish Mama, memang Luna anak kecil?! Pakai acara nakal segala!" gerutu gue manja.
Mama melirik gue tajam. "Dia itu sangat manja, mungkin dia akan banyak merepotkan Om."
"Tak apa, Tante. Saya suka Luna yang manja."
Lagi-lagi Om memamerkan senyumnya yang mempesona. Gue rasa Om telah berhasil menaklukan hati Mama gue yang kaku. Kalau Papa gue sih humoris dan easy going, gue paling suka bermanja-manja padanya. Gue rasa Papa bakal menerima Om dengan cepat. Apa itu pertanda Om bakal lolos seleksi menantu dengan mudah? Gue tersenyum sendiri memikirkannya.
Saat ini kami telah kembali ke apartemen, Om sedang menerima telepon seseorang di teras apartemen. Gue menghampirinya dan memeluknya dari belakang. Om langsung mematikan telponnya dan menyimpan ponselnya di kantong. Tangannya mengelus tangan gue yang berada diatas perutnya.
"Om, thanks for everything you give to me," kata gue mellow.
"Hanya itu?" pancing Om misterius.
"Maksud Om?" tanya gue dengan hati berdebar. Apa ini saatnya gue menyerahkan diri pada Om?
"Kau tahu pasti maksudku, Luna."
Om menatap gue lekat. Gue jadi salting dan menelan lidah kelu.
"Apa Om ingin menginap disini, malam ini?"
"Tidak malam ini. Besok Papa kamu dioperasi, kamu butuh istirahat. Lagipula aku juga ada urusan yang harus segera kuselesaikan."
Tak sadar gue menghela napas lega. Om buru-buru pamit dengan mengecup kening gue lembut.
"Luna, aku menunggu saat itu tiba," ucapnya sambil tersenyum seduktif.
Gosh. Gue kehilangan kata-kata. Om sudah banyak membantu gue. Siap gak siap gue harus rela memenuhi keinginannya. Mungkin gue harus say goodbye pada virginity gue.
Huffttttt.
==== >(*~*)
Bersambung