Bagian 13

1003 Words
“Ayo, Surenpati. Nikmati hidangan yang ada di depan kita.” Sadana mempersilakan Surenpati untuk mengambil makanan. Namun sepertinya pemuda itu cukup tahu diri untuk tidak menyerbu makanan di depannya. Selama di depan meja makan, Sadana tak ada hentinya mengenalkan Surenpati pada orang-orang yang dikenalnya. Dirinya membanggakan akan keahlian yang dimiliki oleh Surenpati, karena pemuda ini mengaku tidak memiliki kemampuan bela diri dan berasal dari pelosok namun mampun mengalahkan kelompok Codet Merah. Sadana juga menjelaskan pada Surenpati, siapa saja yang kali ini ia temui dalam perjamuan. Kebanyakan adalah sesama pedagang dari berbagai daerah sama seperti Sadana. Namun satu pun Surenpati belum menemukan keberadaan ilmuwan cendekiawan di perjamuan ini. Kebanyakan hanya pedagang dan pemilik bisnis A, B dan C. Kemudian suara riuh itu pun menjadi hening, ketika tiba-tiba sebuah rombongan yang kedatangannya memenuhi pintu masuk di penginapan tersebut. Seorang pria berambut penuh dengan uban, pakaiannya khas bangsawan dari kerajaan, memasuki penginapan. “Dia adalah saudagar pengepul sutra, dia memiliki pabrik tenun pengolahan kain sutra terbesar di Banyu Sewu.” Sadana berbisik pada Surenpati yang terlihat belum memahami situasinya. “Apa kau kagum melihat putrinya?” tanya Sadana pada Surenpati. Karena di samping pria beruban itu, terdapat seorang gadis cantik yang sedang mendampinginya. Surenpati tentu saja menggeleng. “Saya hanya mengagumi pakaian mereka,” balas Surenpati mencari alasan. Tentu saja ia tidak memperhatikan pakaian mereka, apalagi memperhatikan gadis bercadar merah yang ada di sana. “Jika kau melihat anggota keluarga istana, maka kau akan lebih kagum melihat pakaian mereka.” Kemudian Sadana menyenggol pada bahu Surenpati agar pemuda itu ikut berdiri seperti yang lain. Surenpati memang belum paham bagaimana perbedaan pakaian antara masyarakat di sini, yang jelas semakin bagus pakaiannya, semakin tinggi kelas sosial seseorang. Dia pun mengikuti titah Sadana untuk berdiri dan memberi hormat pada tamu yang datang di sana. Tanpa disadari, gadis bercadar merah itu memperhatikan pemuda tampan yang sedang menunduk memberi hormat pada rombongannya. Namun sayang, sepertinya sang pemuda tak menyadari. Setelah tamu agung itu duduk, mereka semua kembali dipersilakan duduk. Sadana yang membawa Surenpati bisa merasakan jika, gadis yang duduk di bangku utama itu selalu memperhatikan Surenpati. “Nak, jika kau perhatikan gadis bercadar merah itu dari tadi memperhatikanmu.” Surenpati menoleh mengikuti ujung mata Sadana yang melirik. Namun sialnya, ketika Surenpati menatap ke arah gadis itu, tatapan mata mereka bertubrukan. Gadis itu langsung terlihat salah tingkah dan membuang muka begitu saja dengan pipi yang memerah. “Sepertinya dia menaruh hati padamu.” Sadana menggoda Surenpati. Namun seperti halnya Darma, Adarma tidak begitu tertarik dengan yang dinamakan wanita. Di kehidupan zaman dulu, kalaupun Adarma diminta untuk memilih satu wanita mana saja sebagai teman hidupnya, maka Adarma akan meminta seorang wanita untuk menjadi ibunya alih-alih menjadi istrinya. “Bagaimana denganmu, Surenpati.” Sadana terkekeh di samping Surenpati. Niatnya mengikuti perjamuan ini bukanlah untuk mencari wanita, namun dia ingin mencari cendekiawan untuk dijadikan sebagai guru. Ahli politik, ahli kebudayaan, ahli perekonomian negara dan yang penting adalah sejarah. Surenpati sudah banyak mempelajari politik dan kebudayaan ketika dirinya menjadi Adarma dulu, namun di dunia ini pastinya politik dan kebudayaan yang dimiliki akan berbeda dengan dahulu. “Paman Sadana, apakah di pusat kerajaan memiliki perpustakaan yang bisa aku kunjungi?” tanya Surenpati mengalihkan pembicaraan. “Untuk apa kau mau ke sana? Kau ingin membaca buku?” Surenpati mengangguk. “Aku harus segera menyelesaikan urusanku.” “Apa kau akan pergi sekarang juga? Perpustakaan kota buka esok pagi, Surenpati.” “Tinggallah satu malam di sini.” Sadana dan yang lain meminta Surenpati tinggal. “Ayo kita nikmati arak ini! Aku yang akan membayar kalian semua!” Pengepul sutra itu mengangkat kendi miliknya. “Berkat kepada Tuan Bajra! Berkat kepada Tuan Bajra!” Semua anggota perjamuan bersorak tak terkecuali dengan Sanjaya. Dia menyenggol pada Surenpati agar mengangkat kendinya juga. Namun sebenarnya, sejak tadi Surenpati sama sekali tak menyentuh minuman beralkohol tersebut. Ia hanya minum air ginseng sebagai penghangat tubuh dan penambah tenaga. “Ngomong-ngomong Surenpati, kau tidak minum arakmu? Apa kau takut untuk mabuk?” tanya Sadana yang sudah setengah sadar. Surenpati menggelengkan kepala. Bukan itu alasannya, melainkan karena ia tak tahu bagaimana toleransi tubuh Darma terhadap alkohol. Untuk dirinya sendiri saat menjadi Adarma, jangan ditanya. Dia bisa mempertahankan kesadarannya hingga botol ke dua puluh sekalipun. Selain itu, dia kini sedang berada di tempat orang lain dan dalam masa perantauan. Sudah sewajarnya jika dia menjaga agar otaknya tetap waras. Tak lama kemudian, Surenpati tak mampu menahan Sadana yang sudah tumbang. Dia juga melihat pedagang yang lainnya satu per satu menyimpan kepalanya di atas meja. Bahkan ada yang berjalan dan kemudian tersungkur di lantai. Lalu ... tanpa Surenpati sadari, Sadana pun ikut ambruk dari meja jatuh ke lantai. Terpaksa Surenpati pun ikut membungkuk untuk membangunkan Sadana yang ada di bawah meja. Namun, belum ia sempat membangunkan Sadana, terdengar suara melangkah masuk dari luar penginapan menuju ke dalam. SIAPA ITU? Bahkan Empu Kasinoman pun sampai bertanya-tanya. Sadana tetap membungkuk di bawah meja dan tak melihat orang tersebut hendak melakukan apa di tengah puluhan tamu di perjamuan yang sedang tak sadarkan diri. “Periksa ke sebelah sana!” Seseorang sepertinya sedang memerintah pada anak buahnya. “Baik, Ketua.” “Di sana ada gadis cantik anak peminta sutra, ya?” Pria itu mendekat ke arah gadis bercadar yang sedang menunduk sambil memeluk lututnya. Ayah dan kakaknya sepertinya sudah tak sadarkan diri. Begitu pula para penjaganya. Dia merasa aneh, jika sampai semua dari rombongannya terkapar. Tak seperti biasanya, karena tak semua anggotanya tidak kuat minum. Bahkan sebagian besar lebih cenderung kuat meminum minuman keras. Gadis itu pura-pura tidur dan melihat reaksi penjahat tersebut. Karena dia satu-satunya yang tidak minum. Melihat sang perampok hendak mendekati sang gadis, Surenpati pun berusaha untuk berdiri. “Hai gadis, apa kau datang sendiri atau membawa bodyguarg-mu?” tanya perampok itu basa-basi. “Tentu saja kau tidak membawanya, karena dia pasti sudah tertidur pulas karena obat tidurku.” Sang perampok bertepuk tangan. Oh, pantas saja. Dia menggunakan obat tidur untuk melakukan kejahatannya. Hampir tangan itu menyentuh punggung wanita tersebut. Namun Surenpati sudah menghampirinya. “Jangan kurang ajar!’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD