Bagian 7

1115 Words
“Ibu, kau baik-baik saja?” Indrajaya membawakan secangkir air hangat untuk Wanoja yang baru saja terkejut karena memuntahkan darah melalui batuknya. Wanoja menerima cangkir tersebut dan meminumnya perlahan. “Apa ibu memiliki riwayat penyakit batuk seperti ini sebelumnya?” tanya Surenpati yang memperhatikan wajah Ratu Wanoja. Wanita di hadapannya ini bukan ibu yang mengandungnya, namun melihat kondisinya memburuk seakan ia juga merasa khawatir dan ingin mengerahkan seluruh tenaganya untuk menyembuhkan sang ibu. Indrajaya menggeleng. “Ibu tak pernah mengeluarkan dahak yang mengandung darah sebelumnya. Dia hanya sekedar batuk seperti biasa terutama ketika malam menjelang. Aku sering membuatkan ramuan jahe ketika batuk ibu kambuh.” “Tenang saja, ibu juga memiliki persediaan minyak sereh untuk menghangatkan telapak kaki. Biasanya setelah diolesi, tak lama kemudian langsung sembuh.” Wanoja memberikan tatapan hangat untuk kedua anaknya. Ia sepertinya tak ingin membuat Indrajaya maupun Surenpati merasa khawatir pada kondisi yang ia alami. “Ibu harus diobati, karena penyakit ibu ini sudah disebabkan oleh bakteri yang menginfeksi. Lalu mau tidak mau, untuk beberapa hari ke depan kita bertiga harus menggunakan penutup wajah ketika saling berbicara.” Surenpati memberikan saran. Indrajaya menatap pada kakandanya dengan tatapan sedih. “Apa kita harus menjauhi dengan cara yang seperti ini? Hal ini akan membuatnya terlihat seperti seorang yang terkena penyakit kutukan saja.” Pria muda itu nampak tak terima dengan usul dari Surenpati. Surenpati hanya menatap dan tak balas menjawab, karena hanya ini satu-satunya agar penyakit yang diderita oleh Wanoja, sang ibunda tidak menular. MEMANGNYA, YANG MULIA RATU WANOJA SAKIT APA? Mpu Kasinoman berusaha bertanya. Surenpati pun menggumam dalam batinnya. Ibunda menderita penyakit menular yang diakibatkan oleh mikrobakteri. Jika di zamanku dulu, penyakitnya seperti ini disebut dengan tubercolusis atau disingkat dengan sebutan TBC. “Kakanda, apakah tak ada cara lain untuk menolong ibunda?” Indrajaya memprotes cara kakaknya. “Dari buku yang kaubaca, jika seseorang batuk mengeluarkan dahak, biasanya diobati apa?” tanya Surenpati pada Indrajaya, adiknya. Indrajaya nampak berpikir. “Aku belum pernah menemui kasus begini, ini adalah kasus pertamaku. Menangani pasien batuk hingga mengeluarkan darah, namun ada satu jenis madu yang dapat mengobati penyakit yang menyerang pernapasan, sepertinya bahan tersebut bisa digunakan.” “Apa itu?” “Madu hitam dari lebah hutan.” Surenpati pun menganggukkan kepalanya. “Apakah susah untuk mendapatkannya?” “Cukup susah, namun semua itu tergantung keberuntungan.” Madu hitam dari lebah hutan cukup mudah ditemui di hutan. Namun karena Surenpati tak terlalu mengenal hutan di alam dunia milik Darma ini, maka dirinya juga tak tahu bagaimana mencarinya. “Aku pernah melihat lebah hutan, tapi aku tak pernah mengambil madu mereka. Letaknya jauh di atas pohon, mungkin Kanda Surenpati bisa mengambilnya.” Surenpati nampak berpikir. “Tunjukkan saja jalannya, biar aku yang memanjat.” “Tidak perlu, aku akan meminum ramuan jahe seperti biasanya saja.” Wanoja menolak pertolongan dari kedua anaknya. Surenpati melihat bagaimana Indrajaya memijat kaki sang Ibunda. Terlihat jika Indrajaya sangat memedulikan sang ibunda. Ada sedikit rasa iri dalam hati Surenpati, dulu sewaktu menjadi Adharma, ia sangat miskin kasih sayang dari sang ibu. Apalagi sampai memiliki waktu untuk bermanja seperti ini. Ah, apa yang kaupikirkan Adarma? Kau itu bukan Darma, kenapa hanya melihat yang seperti ini saja sudah membuatmu sangat sedih? Sebenarnya, terbuat dari apa hati Darma ini? Kenapa dia sensitif dan mudah tersentuh seperti ini? * Keesokan harinya di sore hari. “Indra, apakah madu hitam lebah hutan yang kau maksud itu seperti ini?” Surenpati menunjukkan sebuah madu yang belum dikeluarkan dari sarang lebahnya. Sarang lebah hutan itu ia bawa dalam tas yang terbuat dari anyaman bambu. “Kanda, cepat sekali Kanda mendapatkannya.” Indrajaya melihat sarang lebah hutan itu dengan mata berbinar. “Aku dulu tak pernah bisa mendapatkannya jika tidak dibantu oleh para pencari kayu bakar. Ah ... aku bahkan tak pernah berpikir untuk menggunakan madu hitam ini.” “Sekarang kau bisa pisahkan madu dari sarangnya. Lalu simpanlah untuk persediaan.” Surenpati meninggalkan sarang lebah hutan tersebut untuk Indrajaya, lalu dia menengok ke kamar. Wanita paruh baya itu tampak lesu dan berbaring di atas dipan kayu. Ada sebuah rasa iba melihat ibu dari Ksatria Darma sakit, namun Surenpati tak mau lama-lama dan memilih untuk pergi ke belakang rumah. “Ksatria Darma, orang seperti apa dia?” Surenpati menggumam seorang diri. Ia melihat pada beberapa goresan yang terbentuk di tangan dan kakinya. Sedikit rasa tak percaya dengan yang ia lakukan, kenapa ia harus menolong keluarga Darma hingga membuat beberapa goresan di kulitnya. Sungguh ini bukan dirinya. JANGAN MEMUNGKIRI, BUKANKAH KEMARIN KAU MENGAKU PERNAH MENOLONG ANAK-ANAK YANG TERKENA WABAH DI TEMPATMU? DILIHAT DARI CERITAMU DI MASA LALU, SEPERTINYA KAU ORANG BAIK. NAMUN, KENAPA TUHAN MEMBERI HUKUMAN PADAMU? Aku tidak pernah sebaik itu. Aku menolong para orang yang terkena penyakit wabah karena sebuah imbalan yang begitu besar. Mereka yang kutolong harus kembali hidup dengan sehat agar mereka layak untuk kujual. Surenpati merenungi hidupnya ketika ia menjadi Adharma yang sungguh suram. KAU MENJUAL MANUSIA? MEREKA MENJADI b***k? Berisik kakek tua! Lebih buruk dari itu! Aku menjual organ dalam mereka! Jangan terkejut! Aku ini mantan mafia! WAH, PANTAS DOSAMU TAK PATUT DIAMPUNI. RASANYA AKU INGIN PROTES PADA SANG HYANG WIDHI. KENAPA DIA MENGIRIM PENDOSA SEPERTIMU UNTUK MENGISI TUBUH KSATRIA DARMAKU YANG SUCI. “Siapa lagi Sang Hyang Widhi? Kakek tua ini berhentilah berisik di kepalaku!” Surenpati mengeluh. Sang Hyang Widhi adalah Tuhan. Kenapa kau tidak tahu, aku dan seluruh manusia di sini, menyebutnya sebagai Sang Hyang Widhi. Dia yang mengatur segala kehidupan manusia. Pantas kau memang perlu dihukum! Kau bahkan tak mengenal Tuhan yang menciptakan dirimu! Surenpati malas untuk menggubris suara yang berdengung di telinganya. “Kenapa kakek tua itu harus berisik di kepalaku, lebih baik kau keluar saja kakek dekil! Agar jika kita berkomunikasi tidak terkesan aneh bagiku.” Dia terus megomel karena suara di dalam kepalanya itu terus melakukan ceramah. Tiba-tiba saja sebuah cahaya muncul di depan Surenpati. Cahaya yang sangat menyilaukan, hingga Surenpati pun harus menutup mata untuk menahan cahaya tersebut. “Haaa?” Pria pendekar itu agak terperanjat karena terkejut. “Khekhekhe.” Cahaya itu membaur membentuk sebuah bayangan. “Ka ... kau?” Surenpati menunjuk si kakek tua yang wajahnya tak asing baginya. “Ternyata aku bisa keluar juga.” Kakek tua itu seakan berubah dari sebuah cahaya yang menyilaukan. “Ke ... kenapa aku bisa melihatmu di sana?” Surenpati jelas terkejut. Selama ia menjadi Adarma, sebahaya apa pun keadaan yang ia alami, tak pernah ia mengalami kejadian yang melawan logika seperti ini. Lebih tepatnya, ia akan mengira jika dia pasti sedang berhalusinasi. “Aku tidak tau! Namun sepertinya, karena kau menginginkanku keluar, aku bisa keluar,” jawab sang Mpu yang terlihat bahagia. “Ah, sepertinya jika kuminta kau untuk pergi, apa kau akan pergi?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD