“Kau segeralah pulang, harus ada yang menjaga di sana. kalau kau memang tidak sanggup, lebih baik kau berhenti. Aku akan mencari orang baru untuk menggantikanmu,” ucapan Hans membuat Adam menatapnya tajam pada sosok yang mengajaknya bicara. Jujur saja, dia enggan pulang dan kembali ke tempat yang mengerikan tersebut.
“Kenapa kau diam saja? apa kau lupa jalan pulang?” tanya salah satu temannya Hans.
“Tidak, aku lebih suka di sini.”
“Hei, hari sudah hampir gelap, kami khawatir kau tidak bisa menemukan jalan pulang dan tersesat. Lebih baik pulang sekarang, apa perlu aku antar?”
“Jangan menghabiskan waktumu untuk hal yang tidak penting,” ucap Hans pada temannya. “Biarkan dia pulang seorang diri.”
Adam hanya bisa menelan salivanya kasar, dia menarik napasnya dalam dan bangun dari posisinya yang sedang berbaring di sebuah kursi kayu. “Apa kalian tidur sama sama di sini?” tanya Adam mengalihkan perhatian.
“Tidak, kami berjaga bergiliran biasanya. Kebetulan saja kali ini kami sedang ada tugas bersama, jadi kami di sini sama sama.” Bukan Hans yang menjawab, melainkan temannya yang berkulit hitam.
“Dan tempat ini tidak memiliki sinyal?”
“Oh, aku lupa mengaktifkan wi-fi, kau bisa menyambungkan milikmu,” jawab yang satunya yang memiliki rambut putih; dia yang tertua.
Berbeda dengan Hans yang terkesan mengabaikannya, Ada, sudah mencoba terbiasa pada hal tersebut. Dia ingin tetap di sini beberapa saat, tidak mau pulang dan mendapatkan hal hal aneh di perjalanan.
“Bisa aku terhubung ke internet dulu? Aku ingin memastikan sesuatu.”
“Silahkan,” ucap sip ria kulit hitam.
Begitu terhubung ke dalam internet, ternyata tidak ada notifikasi apapun yang masuk ke dalam ponselnya. Begitu menyedihkan yang mana membuat Adam terkekeh melihatnya, hidupnya begitu tidak berarti. Sampai akhirnya Adam melihat website penulis dan mendapatkan notifikasi kalau ada beberapa orang yang menjadikan bukunya sebagai buku favorite mereka.
Hanya lima belas orang, tapi itu sangat berarti bagi Adam hingga dia langsung beranjak dari duduknya. “Kalau begitu aku pulang dulu.”
“Ayo, aku juga ikut denganmu,” ucap Hans kini bicara.
“Kau mau apa?”
“Memastikan villa itu tidak berantakan, karena kau di sini,” ucapnya melangkah lebih dulu.
Membuat Adam menghembuskan napasnya kasar, kenapa Hans terlihat menyeramkan dari biasanya? Bahkan dalam setiap langkahnya, Adam hanya ditanggapi sewajarnya saja.
“Ada apa? Kenapa kau lebih banyak diam daripada menasehatiku? Katakan sesuatu supaya aku tidak berfikiran negative tentang dirimu.”
“Cobalah untuk beradaptasi di tempat itu, kau harus menjaganya dengan baik,” ucap Hans sambil terus berjalan di hutan. “Dan berhenti memikirkan hal hal aneh, kau akan berimajinasi.”
“Aku tidak berimajinasi, aku benar benar…..,” ucapannya menggantung saat Adam melihat Hans yang menatapnya tajam. “Kau tidak percaya dengan hantu?”
“Ini villa tua, dan pemiliknya sangat menyukai tempat ini. sehingga jangan mengatakan hal hal yang aneh yang bisa menyakiti mereka.”
“Oke, dan lagi apakah aku akan disuruh berbelanja seperti yang kau lakukan waktu itu?”
Hans menggelengkan kepalanya. “Mereka bilang akan membawa makanan sendiri dari kota.”
“Lalu bagaimana denganku?”
“Kau habiskan sisa mereka saja. lagipula kau sudah digaji, beli makanan sebelum ke sini,” ucap Hans merasa lega saat akhirnya mereka sampai di villa itu. Tepat saat matahari tenggelam.
“Kau mau masuk dulu?”
“Kau pikir aku ke sini hanya untuk mengantarkanmu saja? aku akan mengecek apakah pekerjaanmu baik atau tidak,” ucapnya berjalan mendahului, Adam terus mengikuti dari belakang bagaimana Hans mengecek setiap ruangan dan memastikan semuanya baik baik saja. “Kalau kau ingin tau kenapa aku merekrutmu, alasannya karena kau anak yang pendiam dan suka menulis, jadi kau akan suka di tempat ini. tapi kenyataannya aku salah, kau akan yang suka membuat keributan.”
“Tidak, aku tidak.”
“Ini adalah tempat terbaik jika kau ingin mencari ide, seharusnya kau bersyukur karena hal itu. Untuk saat ini, lebih baik kau jaga sikap sebelum aku menggantikanmu dengan yang lain.”
“Aku hanya bercanda, Hans. Serius, jangan gantikan aku, aku suka di sini. Hanya saja… aku masih dalam tahap beradaptasi,” ucap Adam mengikuti Hans melangkah masuk ke dalam kamarnya sendiri.
Hans menaikan alisnya. “Kamarmu berantakan sekali,” ucapnya membuat Adam ikut masuk dan memastikan, dia kaget kenapa kamarnya bisa seberantakan ini. dia tidak pernah membiarkan kamarnya sekotor ini.
“Aku tidak meninggalkannya dalam keadaan seperti ini, semuanya bersih saat aku pergi.”
“Jangan mulai,” ucap Hans.
“Tidak, bukan begitu. Bagaimana kalau kali ini ada manusia jahat yang masuk ke sini?”
“Untuk memasuki hutan ini harus ada izin dari penjaga hutan.”
“Bagaimana kalau dia buronan?”
“Berhenti berfikiran negative, kau membuatku ingin menggantimu saja,” ucap Hans memperlihatkan wajahnya yang kesal. “Orang orang sebelum kau tidak pernah ada yang complain, tempat ini aman, apa lagi yang kau inginkan?”
**
Adam membersihkan kamarnya masih dengan benak yang bertanya tanya. Kenapa kamarnya bisa seberantakan ini? padahal dia sendiri yakin kalau dirinya tidak pernah membuat kamar menjadi sekotor ini, terlebih benda benda miliknya menjadi berubah tempat.
Begitu menyelesaikan pekerjaannya, Adam terdiam dan menatap sekitar kamarnya. Malam sudah tiba, dan hanya ada keheningan yang melanda. Ketika Adam memejamkan mata dalam duduknya, saat itulah sebuah suara suara mulai memasuki telinganya, suara berbisik lirih, tapi Adam yakin kalau itu adalah suara tawa, pembicaraan aneh dari bisikan tersebut.
Namun, dari mana asalnya? Apa benar dirinya mulai berhalusinasi karena hal stress akibat tidak bisa menjadi penulis famous seperti yang lain? Adam hanya menghela napasnya dalam, dia membuka matanya lagi kemudian memutar sebuah lagu dari laptopnya. Setidaknya itu membuatnya merasa ramai dan tidak sendirian.
Baru Adam berani keluar dari kamar. “s**t!” umpatnya lagi saat kaget melihat cermin yang tertutupi oleh kain putih.
Adam mencoba mengabaikannya, dia ingin hidup normal tanpa penuh tekanan. Jadi dia berdehem, kemudian melangkah untuk memasak sesuatu untuk makan lagi. Dirinya benar benar laapar sehingga tidak bisa langsung tidur.
Dalam kegiatan memasaknya, beberapa kali Adam menoleh pada ruangan bawah tanah. Pintu itu terasa mengganggunya padahal tidak melakukan apa apa.
“Diam di sana dan jangan pernah melakukan apapun,” ucap Adam pada pintu tersebut. Dia berdehem kemudian kembali melanjutkan kegiatannya. Di seluruh rumah, hanya lampu luar, kamarnya dan juga dapur yang menyala. Hingga ketika Adam melihat cermin yang tertutupi oleh kain putih.
BRUK! Sebuah suara membuat Adam kembali menegang, kenapa selalu aada hal yang membuatnya kesal dan memandang tempat ini mengerikan? Adam menarik napasnya dalam sebelum dia melangkah menuju ke halaman depan dengan membawa sebuah pisau untuk berjaga jaga, dia khawatir jika itu adalah manusia yang berniat jahat padanya.
Namun begitu pintu terbuka, Adam kaget melihat seorang perempuan dengan rambut Panjang yang tidur tengkurap. “Hei, kau siapa?” tanya Adam mengguncang sosok tersebut menggunakan kakinya.
Namun sayangnya, sosok itu tidak bangun sama sekali. Sepertinya tidak sadarkan diri hingga Adam mengambil sebuah kayu untuk menyingkab rambut yang menutupi pandangan perempuan itu.
Begitu rambutnya tersingkab, Adam terdiam kaget melihat kecantikan sosok tersebut. “Dia manusia biasa kan?” gumamnya kemudian berjongkok.
“Hei, kau baik baik saja?”
Tubuhnya kotor, dan ada beberapa goresan luka di sana, suhu tubuhnya juga tinggi hingga membuat Adam menggendongnya dan membaringkannya di ranjang. “Ya ampun, dia demam dan terluka, apa yang harus aku lakukan?”
Adam menatap pakaiannya sendiri, kasihan juga pakaian perempuan ini kotor. Jadi dengan menahan segala godaan, Adam membukanya dengan perlahan. Dia menelan salivanya kasar ketika melakukan hal itu. Memalingkan wajahnya sesekali sampai akhirnya pakaian atas sang perempuan berganti.
Adam juga mengompres keningnya.
“Kau sangat cantik,” gumamnya tersenyum sendirian. “Kenapa kau sendirian di dalam hutan? Apa yang terjadi?”
Kepala Adam penuh pertanyaan, tapi sepertinya tidak ada yang bisa menjawabnya sekarang. untuk itu dia menikmati makanannya dulu sebelum akhirnya kembali ke kamar dan tidur sambil duduk di kursi.
Dia belum benar benar mempercayai perempuan ini, jadi Adam memilih untu mengawasinya seorang diri secara langsung seperti ini.
Begitu Adam memejamkan matanya, dia langsung merasakan keheningan di telinganya. Tidak ada suara bisikan aneh lagi yang membuatnya selalu ketakutan dan bertanya tanya. Hanya keheningan, terdengar suara angin malam yang membuatnya tenang.
Namun…. “Jangan berisik…. Sttttt….”
Suara bisikan itu terdengar satu kali, membuat Adam membuka matanya lagi. Dia diam di tempat selama beberapa menit untuk kembali mencari sumber suara. Namun sayangnya, kali ini benar benar hanya ada keheningan yang diinginkan oleh Adam.
Tidak ada bisikan bisikan aneh yang selalu membuatnya heran. Bahkan ketika Adam melangkah dan menempelkan telinganya di dinding yang bersebelahan dengan basement, dia juga tidak mendengarkan apapun.
Rekaman itu seolah hilang, tidak ada suara anak kecil yang saling bicara lagi.
**
Ketika sosok itu terbangun, Adam yang lebih dulu melihatnya dan berdiri di depan ranjang dengan tangan terlipat di d**a. Yang mana membuat sang perempuan tampak terlihat kaget melihat sosok yang berdiri di hadapannya.
“Kau siapa?” tanya dia dengan suara yang parau.
“Aku penjaga pondok ini, kau siapa datang kemari?”
“Oh, kau pasti Adam. Aku cucu pemilik pondok ini,” ucapnya sambil mendudukan dirinya. “Bisa beri aku minum?”
“Kau bilang siapa? Kau cucu pemilik tempat ini?”
Perempuan itu tidak menjawab, dia malah melangkah menuju ke dapur mencari ssesuatu untuk diminum. Perempuan itu tahu tata letak barang di tempat ini. dia bersandar pada pantry sambil melihat Adam yang bertanya tanya di sana. “Kau pasti bingung ya? Namaku Sindy, aku cucu pemilik tempat ini.”
“Bagaimana aku bisa percaya kalau kau pemilik tempat ini?”
“Aku bermarga whitengton. Oh ya, kau pasti belum melihat ini,” ucapnya melangkah ke ruangan tengah dimana ada sebuah lemari yang berukuran sedang di sana. “Coba kau geserkann ini.”
“Untuk apa?”
“Ada sebuah foto keluarga di balik ini, tapi sengaja ditutupi supaya orang orang tidak mengetahui.”
Adam masih bertanya tanya, tapi dia tetap menuruti keinginan perempuan itu. Menggeser sebuah lemari pajangan hingga terlihat sebuah foto keluarga di dindingnya.
“Lihat bukan? ini Kakek dan Nenekku. Ini ayah dan Ibuku. Ini si kembar Mila dan Mili, mereka berdua adikku. Dan ini adalah aku,” ucapnya menunjuk potret lukisan tersebut. “Lihat di bawahnya, ini adalah Whitengton Family.”
Adam terdiam, dia masih tidak bisa berpaling dari potret tersebut.
“Kalau kau tidak percaya, kau bisa menanyakannya pada Hans,” ucapnya kembali melangkah menuju dapur. “Kau bisa menggeser kembali lemarinya. Kakekku tidak suka jika potret itu dilihat semua orang, tapi dia juga tidak mau memindahkannya.”
Adam buru buru kembali menggeser lemari sebelum akhirnya menyusul Sindy ke dapur. Nama itu bahkan sama dengan nama mantan kekasihnya. “Lalu bagaimana kau bisa ada di sini? Tidak pulang ke kota sebrang?”
“Beberapa hari yang lalu saat di sini, aku bertengkar dengan Ibuku hanya karena adik adikku, lalu aku mabuk dan berlari ke hutan. Ibu berteriak kalau dia akan meninggalkanku, tapi aku tidak peduli. Semalaman aku tersesat di hutan, dan baru bisa menemukan tempat ini sekarang.”
Adam masih mencerna kata kata perempuan tersebut
“Aku akan di sini sampai keluargaku kembali untuk liburan akhir pekan. Kota Tua cukup jauh dari sini, jadi aku menunggu saja di sini.”
“Bukankah sebaiknya kau menghubungi mereka?”
“Nanti saja, aku sedang ingin makan dulu,” ucapnya kemudian menoleh pada Adam dan tersenyum dengan begitu manisnya. “Aku harap kau bisa menjagaku selama beberapa hari ini karena aku sendirian di sini, Adam. Ngomong ngomong aku adalah cucu kesayangan kakek, kalau kau menjagaku dengan baik maka kau akan mendapatkan bonus.”
“Haruskah aku memanggilmu Nona?”
“Tidak perlu.” Sindy terkekeh. “Panggil aku dengan nama saja.”
“Sindy?”
“Ya, sesuatu seperti itu.”