“Apa maksudmu? Kita putus?” tanya Adam menatap tidak percaya kekasihnya yang menunduk, Sindy adalah Wanita yang Adam kencani sejak dia masuk kuliah. Dan kini sosok itu tiba tiba meminta putus? “Katakan padaku, apa yang salah denganku?”
“Kau terus bergelut dengan mimpimu yang tidak pernah menjadi kenyataan, aku tidak bisa.”
“Lalu? dimana masalahnya? Kau tau kalau mimpiku menjadi seorang Novelis terkenal,,” ucap Adam memegang kedua bahu kekasihnya.
Sindy menggelengkan kepalanya, dia menyeka air mata yang hampir menetes. “Usiaku hampir 25 tahun, orangtuaku menuntutku untuk menikah, Adam. Tapi mereka tidak mengizinkanku menikah denganmu. Aku sudah memiliki pekerjaan, sedangkan dirimu tidak.”
“Aku bekerja dari rumah, Sindy. Aku bekerja sebagai penulis novel.”
“Tapi kau tidak menghasilkan apapun, Adam. Tolong mengerti, aku melakukan ini untuk keluargaku.”
“Kau akan menerima perjodohan itu?”
Sindy mengangguk, dia meneteskan air matanya saat melepaskan cincin yang terdapat di jari manisnya dan memberikannya pada Adam. “Maaf, dan terima kasih untuk semuanya.”
Lalu gadis itu melangkah pergi, meninggalkan Adam yang menatap nanar pada cincin yang ditinggalkan di tangannya. Dia menarik napasnya dalam, melepaskan kalungnya dan menjadikan cincin pasangan miliknya dan Sindy sebbagai liontin. Tidak ada yang bisa membantunya dari situasi ini. Adam hanya melihat bagaimana daun berguguran di hadapannya. Tersenyum pedih, sambil memejamkan mata merasakan bagaimana rasa sakitnya begitu dalam. Menusuk hingga Adam tidak bisa melakukan apapun lagi.
BUK!
“Maafkan kami, Paman,” ucap seorang anak yang tidak sengaja membuat Adam terkenal bola.
Adam berdiri dan mengambil bola itu, ditatapnya dengan cukup lama.
“Paman, boleh kami minta bola itu lagi?” tanya salah satu anak yang berjajar dengan tiga anak lainnya.
Adam melihat bola di tangannya lama, sebelum akhirnya tersenyum pada anak anak itu. “Nah, ambilah. Main dengan baik, jangan sampai membuat orang lain marah.”
“Terima kasih, Paman,” ucapnya kemudian berlari lagi ke lapangan bermain.
Adam melangkah kembali menuju rumah, memasukan tangannya ke dalam saku celana. Musim hujan akan segera tiba, Adam pikir tahun ini dirinya akan merasakan kehangatan, tapi pada kenyataannya dia ditampar oleh sebuah kenyataan yang menyakitkan. Sindy adalah Wanita yang paling mengerti tentang dirinya, tentang mimpinya, tapi dia meninggalkannya.
“Dari mana?” tanya sang Ibu yang sedang memasak makan malam. Tampilannya kacau, dia baru saja pulang bekerja sebagai penjaga pom bensin. Dan akan bergegas pergi lagi untuk menjaga sebuah toko swalayan. “Aku bicara denganmu, kau dari mana? Mencari pekerjaan?”
“Bertemu dengan Sindy.”
Delia; sang Ibu yang akan menginjak kepala 5 itu hanya menghela napasnya dalam. “Bisakah kau mencari pekerjaan?”
“Aku bahkan akan bekerja sekarang, Bu.” Adam berucap sambil membuka jaketnya. “Tolong jangan ganggu aku dulu, dan tidak perlu menyiapkan makan malam untukku.”
“Ibu membuat makan malam untuk dibawa, bukan untukmu. Ada apa dengan wajah itu? Apa kau gagal lagi menerbitkan buku di penerbit major?”
“Bukan, Sindy memutuskanku,” ucapnya melangkah membuka kulkas. Tangan Adam meraih dua bir dan juga lima bungkus roti untuk dibawa ke lantai dua. “Jangan ganggu aku.”
Delia tertawa tidak percaya karenanya. “Kau bilang jangan ganggu, dan kau menghabiskan stok makananku?”
“Aku itu anakmu, Ibu.”
“Kau tidak bekerja! Kau hanya membuang waktumu untuk dimarahi oleh penerbit yang bahkan tidak memberikanmu uang untuk satu cup kopi! Sudah Ibu katakan kalau kau harusnya mengambil jurusan ekonomi dan menjadi pegawai Bank! Bukannya penulis lepas yang tidak punya masa depan! Bahkan Sindy sadar dan memutuskanmu. Kau tau itu?”
Adam tetap menaiki tangga tanpa mendengar ibunya, dia menutup pintu dengan sangat kuat hingga terdengar sampai lantai bawah.
“Anak tidak tau diri,” ucap Delia memasukan makan malam untuknya sendiri dan bergegas berangkat menuju tempat dirinya bekerja. “Aku bekerja banting tulang membiayai kuliahnya, dan dia tidak bisa memberiku apa apa. Jika tau akan begini, lebih baik aku menikah saja dan meninggalkannya sendirian dengan kebodohannya.”
Satu tahun lebih anaknya diam di rumah dan menjanjikan dirinya akan menjadi seorang novelis terkenal. Nyatanya, dia tidak bisa menjadi apa apa selain menjadi beban untuk ibunya sendiri. uang jajan saja tetap meminta.
*****
Adam terbangun saat sinar matahari menerobos masuk ke celah gorden, dia dipaksa bangkit dan melangkah menuruni tangga untuk mendapatkan sarapannya.
“Kenapa Ibu belum berangkat?” tanya Adam yang mana membuat Delia yang sedang menyetrika itu berdecak. “Kenapa tidak bekerja?”
“Bukankah seharusnya Ibu yang bertanya itu padamu? Kenapa tidak bekerja?”
Mengabaikan pertanyaan Ibunya, Adam memilih membuka lemari es dan mengambil selai untuk sarapannya. s**u dan juga sereal, jangan lupakan roti tawar.
Delia menghela napasnya dalam, dia berusaha berkomunikasi dengan baik dengan sang anak dengan menghentikan kegiatan menyetrikanya. Delia duduk menghadap Adam yang sednag menyantap sarapannya. Anak itu focus pada makanannya, mengabaikan sang Ibu yang ada di depannya.
“Ibu diberhentikan dari pom, mereka bilang Ibu mengambil sejumlah uang, padahal ibu tidak melakukannya.”
“Mereka bodoh membuang orang semacam, Ibu.”
“Adam, tabungan Ibu habis untuk biaya kuliahmu,” ucap Delia sambil menggenggam tangan anaknya.
Adam menatap Delia dengan mulut yang penuh. “Lalu? ibu ingin aku bagaimana? Aku akan menggantinya, Bu, hanya tunggu waktu yang tepat. Aku sedang menulis sebuah cerita fantasy yang sekarang sedang naik pasar. Aku bisa menyaingi mereka, dan akan mendapat kontrak dari penerbit major. Jadi bersabarlah, aku akan mendapatkan apa yang Ibu mau. Aku akan mengganti uang Ibu.”
“Kapan? Kau bisa menjanjikan waktu untuk Ibu? Ibu sudah Lelah untuk bekerja.”
Adam terdiam, dia tidak bisa menjanjikan apapun.
“Sebentar lagi, Bu. ceritanya hampir selesai, aku akan mendapatkan kontrak itu.”
“Sambil menunggu, bagaimana kalau kau bekerja terlebih dahulu sambil menulis? Bagaimana?”
“Tidak ada pekerjaan yang membuatku tidak merasa terganggu dengan menulis, Bu.”
Delia menyerah, dia melepaskan genggaman tangan pada sang anak. dia melangkah mengambil pakaian hangatnya.
“Ibu mau kemana?”
“Mencari pekerjaan,,” ucapnya kemudian keluar dari rumah. Adam mencoba memasang wajah datar, dia menghabiskan sarapannya kemudian menelpon seseorang sambil menonton televisi. “Hallo?”
“Wassap, Adam? Bagaimana kabar karyamu itu?”
“Aku belum menyelesaikannya. Malam ini aku akan mengirimkannya padamu.”
“Segera lakukan itu, aku menunggumu. Supaya editor lebih cepat memeriksanya.”
Setelah melakukan panggilan itu, Adam langsung bergegas untuk naik ke kamarnya dan menyelesaikan n****+ yang sedang dia buat. Adam bukan penulis dengan satu genre, dia bisa menulis apa saja selagi hal itu menguntungkannya.
Dan sekarang, dia sedang mengejar kontrak bersama dengan penerbit major dengan menulis n****+ fantasi. Meskipun Adam terbiasa menulis n****+ romance dan misteri, tapi dia tidak masalah mengambil genre yang lainnya asalkan hal itu menguntungkannya. Adam ingin membuktikan pada Ibunya kalau uang yang dia keluarkan selama ini tidak sia sia sama sekali.
******
Adam tidak mempedulikan cuaca di luar sana, dia hanya sibuk menulis sampai akhirnya dia selesai. Bobby nama editor yang memilah naskah itu. Adam mengirimkannya pada Bobby dan segera bangkit dari kursinya. Merasa bebas setelah seharian membuat n****+ yang melelahkan.
Adam optimis, dia pasti terpilih. Lalu bukunya akan berjajar di toko buku besar di kota ini. bahkan Adam sudah membayangkan bukunya berjajar di seluruh negara. Kesenangan itu membuatnya melupakan rasa sakit hati yang ditimbulkan karena Sindy meninggalkannya.
Dengan Langkah yang bangga, Adam keluar kamar.
“Bu, aku ingin bir. Bisa beri aku uang?” tanya Adam pada sosok yang sedang memasak.
Delia menghela napasnya dalam. “Bisakah kau duduk dan mendengarkan cerita ibu hari ini?”
“Aku akan mendengarkannya setelah membeli bir dari depan. Ayolah, Bu, aku baru saja mengirim naskahku pada Bobby. Dan itu naskah yang dia inginkan. Tidak mungkin dia menolaknya. Aku akan segera mendapat keuntungan. Dan semua itu untukmu Ibu.”
“Itu sudah kesekian kalinya kau mengatakan semuanya untukku. Tapi hasilnya tidak ada sama sekali,” ucap Delia yang sudah terlampau pusing.
“Kali ini benar benar untuk Ibu, aku tidak akan bohong.”
“Maksud Ibu keberhasilannya, kau berulang kali gagal.”
“Ibu, aku sudah bilang kalau Bobby sendiri yang meminta aku menulis genre ini. jadi tidak mungkin gagal. Ayolah, aku akan menjadi anak baik yang ini. tolong berikan aku uang, aku janji ini yang terakhir kalinya meminta uang.”
Delia mengambil uang dari saku mantelnya kemudian melemparnya ke atas meja. Dia sudah mencoba bersikap lembut pada Adam, tapi karakter pria itu tidak pernah berubah. Dia tetap kukuh pada pendiriannya sebagai seorang penulis n****+ tanpa melihat keadaan mereka yang semakin memburuk.
Delia memandang mobil peninggalan suaminya. Sebuah mobil bak tua yang selalu dia pakai bekerja. Rumah dua lantai yang kecil dan sudah hampir roboh ini yang dia miliki. Tidak ada tabungan lagi, karena habis untuk biaya kuliah Adam.
Saat Adam kuliah, Delia diyakinkan oleh sang anak kalau dia akan berhasil. Beda dengan Ayahnya dulu yang gagal jadi penulis. Melihat anaknya gigih, Delia pun memberikan kesempatan. Namun sayang, setahun setelah lulus, anaknya tidak menghasilkan apa apa. Padahal sepanjang kuliah, anaknya terus menulis tanpa henti.
Menyebalkan sekali.
“Dia mengikuti jejak ayahnya yang membuatku muak,” ucapnya saat berada di puncak kekesalan.
Sementara di sisi lain, Adam membeli bir di sebuah swalayan. Meminumnya di bangku yang ada di depan tempat itu. Sambil tersenyum pada setiap orang karena yakin kalau dirinya akan mendapatkan keberhasilan malam ini.
Big Century adalah penerbit terbesar di negara ini, toko buku mereka ada dimana mana dan memiliki jaminan untuk kesejahteraan penulis. Makannya Adam menginginkan bukunya ada di sana. Selain uangnya banyak, hal itu juga menjadi tolak ukur keberhasilannya. Begitu bergengsi hingga Adam bisa membanggakannya pada siapapun.
Menjadi penulis di Big Century adalah keinginan semua penulis.
Sesekali Adam memeriksa ponselnya, berharap Bobby segera menghubunginya. “Kenapa dia belum menelpon?” gumamnya kesal.
Sampai beberapa menit kemudian, ponsel Adam berbunyi. Tepat sekali itu dari Bobby, dia langsung mengangkatnya dengan penuh percaya diri. “Hallo? Bagaimana? Kalian menyukainya?”
“Adam, ceritamu mudah sekali ditebak. Sudah aku bilang mereka minta plot yang tidak biasa. Akhir ceritamu sudah bisa ditebak dari awalnya saja.”
Tubuh Adam menegang seketika. “Tapi mereka akan tetap menerbitkannya bukan? kau bilang peluangnya 80 persen.”
“Ya, 30 persennya adalah mereka yang ternyata diam diam mencari naskah lain di luar sana. Dan naskah itu yang lebih menarik. Sorry, Bro. peluangmu padahal besar, tapi banyak plot hole di ceritamu, aku tidak bisa membantu. Ambil kembali naskahmu. Big Century tidak menginginkannya.”
****
Pada akhirnya, Adam mabuk. Dia menghabiskan semua uang yang ada di dalam saku sambil duduk di depan swalayan. Tertawa seorang diri karena mengingat semua perjuangannya sia sia. Enam bulan dirinya menulis, dan tidak mendapatkan hasil apapun.
Dalam keadaan setengah sadar, Adam melihat mantan kekasihnya yang hendak menaiki mobil bersama seorang pria berjas. Membuatnya semakin tertawa, dan hal itu menarik perhatian Sindy dari sebrang.
“Siapa?” tanya tunangannya.
“Mantan pacarku, ayo kita pergi saja. abaikan dia,” ucap Sindy naik ke dalam mobil. Beberapa detik, matanya bertemu dengan milik Adam. Membuat Sindy langsung memalingkan wajah dan menaikan kaca mobil.
Adam semakin tertawa karenanya, nasibnya benar benar sial bulan ini. diputuskan, diberi harapan palsu oleh Bobby dan lagi Ibunya yang pasti akan menuntut banyak. Adam bahkan tidak berani pulang, dia diam sendirian di bangku itu sambil merebahkan kepalanya di meja. Matanya mulai terpejam.
BUK! Seseorang menyimpan mie cup yang sudah diseduh di depan Adam.
“Makanlah, mengeluh dan mabuk tidak akan membuat hidupmu lebih baik.”
“Kau siapa?”
“Aku Hans, dulu kita pernah bertemu saat kau dan teman temanmu menjelajah hutan.”
“Ah, si penunggu hutan?” adam menegakan tubuhnya, dia menatap pria paruh baya yang memakan mie dalam cup, kemudian menatap cup lain yang ada di meja. “Ini untukku bukan?”
“Ya, makanlah dengan benar.”
Adam segera mengambilnya kemudian memakannya dengan lahap. Jujur saja dia belum makan malam. Hendak kembali ke rumah tapi takut mendapatkan cacian dari sang Ibu. Itu menyakitkan mengingat Ibunya tidak lagi mendukung mimpinya selama ini.
“Kau sudah lulus bukan?”
“Bukan urusanmu.” Adam focus pada makanan di depannya.
“Aku dengar kau suka menulis. Ingin tau tempat menulis yang membuatmu mendapatkan banyak inspirasi?”
Adam melanjutkan makannya, mengabaikan pria tua yang terus bicara di sampingnya.
“Hutan Bisik.”
Adam menghentikan gerakannya. Dia menatap pria itu dengan kening berkerut.
“Saat teman teman sekolahmu belajar tentang tumbuhan, kau sibuk menulis. Aku masih mengingatnya. Itu sudah sepuluh tahun yang lalu bukan?”
“Lalu kenapa? kau ingin aku ke sana sekarang dan menjadi santapan hewan buas?”
Hans tertawa mendengarnya. “Tidak ada hewan buas di sana. kau hanya mengada ngada.”
Adam berdecak melihat pria tua di sampingnya itu tertawa seenaknya.
“Aku seorang penjaga hutan di sana, dan ada sebuah villa di pinggir danau. Penjaganya berhenti karena dia sudah tua, mungkin kau tergiur untuk jadi penunggu di sana.”
Adam malah tertawa karena pertanyaan itu.
“Aku tidak bercanda, gajinya 200 dollar perminggu.”
Dan itu langsung membuat Adam tersedak karenanya. “200 dollar? Apa tempat itu berhantu atau memiliki hal aneh sampai sampai semahal itu untuk seorang penunggu?”
“Hahaha, tidak. Hanya mereka ingin kau merawat tempat itu dengan baik. Ada banyak barang antic di sana. jadi, apa kau tertarik?”
“Aku lebih tertarik menghabiskan mie ini,” ucap Adam melanjutkan suapannya sampai mie tersebut habis. “Aku ingin pulang, jangan ganggu aku lagi.”
“Lebih baik kau pertimbangkan dulu. Ini nomor ponselku,nanti hubungi saja.”
Adam menatap nomor ponsel yang dituliskan dalam secarik kertas. Dia tertawa untuk yang kesekian kalinya. “Aku tidak tertarik.”
“Kau akan tertarik,” ucapnya memasukan nomor itu ke dalam saku pria yang lebih muda.
Adam menggelengkan kepalanya heran. Tinggal 30 persen lagi sampai dia sepenuhnya sadar. Adam melangkah dengan kepala yang sesekali terasa berputar, dia tertawa saat mengingat bagaimana Bobby menolaknya untuk yang kesekian kalinya.
Adam fikir akan semakin mudah mengingat dirinya dan Bobby cukup dekat, apalagi dia seorang editor yang bisa merekomendasikan pada pihak penerbit yang lebih berwenang.
“Hahahahaha!” begitulah suara Adam di malam hari membelah jalanan kompleks yang begitu sepi.
****
Brak! Pintu terbuka secara paksa, yang mana membuat seorang Wanita yang sedari tadi menunggu kepulangan sang anak itu menoleh. Dia sudah menahan amarahnya sedari tadi.
“Mana kembalian uang Ibu?”
“Ibu tidak bilang harus dikembalikan,” ucapnya sambil cegukan.
Delia tertawa tidak percaya. “Kau tau kalau uang sebanyak itu bisa untuk kita berhari hari. Kau menghabiskannya?”
“Ibu tidak bilang,” ucapnya lagi kemudian merebahkan diri di atas sofa, terlalu pusinh untuk menaiki tangga.
Hal itu membuat Ibunya semakin murka, dia berdiri menghadap anaknya yang terlelap di sana. “Lihat! Lihat! Lihat! Kau pikir ibu tidak tau apa yang terjadi? ibu menelpon Bobby, dan dia mengatakan naskahmu tidak lolos. Kemungkinan lolos besar? Tidak ada yang mau menerbitkan bukumu, terlebih lagi penerbit major. Jadi berhentilah bermimpi dan mulai kenyataan! Ibu saja yang tidak kuliah bisa memberimu uang, lantas kenapa kau yang lulus kuliah hanya bisa menyusahkan? Satu tahun ibu memberimu kesempatan! Ini membuat Ibu Gila! Ibu kehilangan banyak tabungan karenamu, dan sekarang Ibu juga tidak memiliki pekerjaan!”
Adam menutup matanya dengan tangan. “Bukannya Ibu harus kerja? Kenapa masih di sini?”
“Anak kurang ajar sepertinya sudah seharusnya diberi pelajaran fisik. Sudah lama aku terlalu memanjakannya sampai dia tidak berguna seperti ini,” sisi lain dari dalam dirinya berbisik.
“Kau tau bukan kita punya hutang Ayahmu yang belum lunas? Dan kau janji akan membantu setelah lulus kuliah?”
“Aku masih dalam proses, Bu.”
“Sudah terlalu lama, kau harus melakukannya sekarang. Jangan hanya karena ibu tidak pernah memukulmu, Ibu tidak berani melakukannya.”
“Berisik,” batin Adam.
“Anak kurang ajar, dia benar bnar harus dipukul sesekali.”
Namun Delia lebih dulu mengendalikan emosinya dengan menarik napas dalam dan mengambil mantelnya. Dia keluar dari rumah itu untuk bekerja di shift malam. Menutup pintu dengan kencang yang mana membuat Adam membuka matanya. Pria itu merogoh ponselnya dan nomor yang tertulis di sana, dia segera menghubungi nomor itu.
“Hallo? Siapa ini?”
“Adam, kapan aku mulai bekerja?”
“Astaga, kau menanggapinya dengan sangat cepat. Kupikir kau butuh waktu lama untuk itu.”
“Kapan aku mulai bekerja?”
“Besok, kau datang saja ke hutan Bisik. Jam Sembilan pagi, aku menunggu di sisi jalan raya.”
“Baiklah.”
Karena Adam sendiri sadar, Ibu yang dulunya penyayang kini menjadi sosok temperamental yang selalu mengatakan hal hal kasar. Berbeda saat sang ayah masih hidup, berbeda saat dirinya masih kuliah dimana sang Ibu hanya mengatakan hal hal manis untuk mendukung mimpinya.
Kali ini, Adam sendiri tidak tahan. Apalagi jika harus melihat Sindy berkeliaran di sekitarnya bersama dengan kekasih barunya. Membuat Adam murka dan ingin melenyapkan mereka semua.
Kesadarannya tiba tiba datang sepenuhnya, Adam naik ke lantai atas untuk mengemasi pakaiannya. Dia juga membawa laptopnya. Dia akan membuktikan pada semua orang kalau dia akan menjadi orang sukses di masa mendatang.
Dia akan membuat mereka semua bertekuk lutut dan memohon ampunan karena telah memandang rendah dirinya.
*****