Ketika sebagian siswa sudah mulai beranjak meninggalkan sekolah, Ridho pun segera bersiap-siap untuk pulang.
Walau hari ini tidak ada rencana untuk nongkrong di pangkalan ojek, namun dia ingin bergegas pulang karena berniat membersihkan halaman belakang rumahnya yang rumputnya sudah tinggi.
"Det!" Panggilan khas teman dekat Ridho yang terbiasa memanggilnya detol.
Ridho menghentikan langkah dekat motor tua kesayangannya. Fazal salah seorang sahabat yang juga tetangga paling dekatnya berjalan cepat menuju ke arahnya.
"Lu beneran jadi ikut kemping entar hari minggu?" Fazal bertanya antusias sesaat setelah berdiri di depan Ridho.
"Gimana entar aja." Ridho menjawab tak bersemangat.
"Bro kita ngobrol dulu sebentar." Fazal menarik tangan Ridho menuju halaman samping salah satu ruang kelas.
"Ngobrol apaan lagi, Sob. Gua udah lapar nih?" Ridho mengernyitkan dahi seraya menatap sahabatnya.
"Lu beneran punya urusan sama bank? Gua denger dari Dendy tadi. Udah ada solusinya belum?" Fazal antusias dan memang itulah ciri khasnya jika bicara.
"Hmmm, sok perhatian lu! kaya yang bisa bantu aja." Ridho memutarkan matanya jengah. Sangat meragukan seorang Fazal bisa memberikan solusi baik untuk memecahkan masalahnya.
"Ini nih contoh manusia yang selalu mengecilkan peran orang lain. Tidak semua masalah bisa diselesaikan sendiri, Det. Lu tetep akan butuh saran dan bantuan orang lain. Kenapa lu selama ini gak pernah cerita sama gua?" Fazal menjawab kesal dalam logat Dhogja yang masih sedikit medok.
"Oke, sekarang tanpa gua cerita, lu udah tahu. Terus setelah tahu lu bisa apa? mau bantu gua?" Ridho tak kalah kesalnya.
"Gua bahkan bisa membantu menyelesaikan masalah lu, dalam semalam." Fazal mengangkat wajahnya menantang. Senyumnya sedikit melebar pertanda dirinya dalam kubangan percaya diri yang maksimal.
"Kerja apaan semalam digaji lima juta?" Ridho mencibir.
"Ada deh, gua jamin, lu akan sangat menikmatinya. Ini kerja super ringan dan penuh kenikmatan." Fazal makin percaya diri dan antusias.
"Zal, kebiasaan lu gak pernah praktis. Ngomong lu selalu gak pernah to the point! Terlalu banyak gaya lu!" Ridho mulai nyolot.
"Oke, to the point. Lu kerja cuma tidur. Lebih tepatnya nidurin!" Fazal menggerakan kedua alisnya.
"Maksud lu?" Ridho melongo.
"Kerja lu nidurin cewek, kasih mereka kepuasan dengan Detol lu itu. Setelah itu mereka akan bayar lu sesuai kesepakatan. Selanjutnya terserah anda. Mau gak?" Fazal laksana mucikari kelas kakap yang menawarkan kerjaan bagus.
"Oh my God! Zal, lu gak lagi mabok ikan asin kan?" Ridho kembali melongo dan sangat kesal dengan sahabat gilanya.
"Gua waras dan sadar, sekaligus gua menjamin 100 % berhasil. Malam ini lu tidur sama dia, besoknya bisa bayar cicilan utang lu ke bank, minimal untuk satu bulan."
"Hah! Jadi lu nyuruh gua jual diri? Gak perlu saran dari lu, kalau gua mau begitu tinggal pasang di medsos, mungkin ada yang nawar gua."
"Hmmm, jangan salah paham dulu, Sob. Ini gak senorak itu sampai harus jual diri di medsos segala. Kita bermain cantik, aman dan gak bakal ada yang bisa mengendusnya."
"Jadi selama ini lu udah menjalani profesi begitu?"
"Ya, sekedar iseng sih!"
"Oh my God. Terus dengan lu jual diri, udah punya apa? udah jadi cowok terkaya sedunia?"
"Hehehe, kan beda misi Sob. kalau gua benar-benar have fun, no money oriented. Artinya gua ngelakuin itu semua semata-mata untuk kepuasan aja. Kalau pun dapat duit, sekedar buat mencukupi kebutuhan pribadi aja."
Tanpa banyak tanya lagi, Ridho langung membalikan badan dan beranjak meninggalkan Fazal.
"Det!" seru Fazal seraya menarik kembali tangan Ridho.
"Sorry Sob. Gua tahu lu gak bakal mau begitu. Tapi lu mesti pikirkan lagi. Ingat, dimasa sekarang ini, gak mungkin lu bisa dapat duit sebanyak itu dalam waktu singkat. Sementara sertifikat dan masa depan keluarga lu ada di bank. Hanya elu satu-satunya yang bisa menyelematkan keluarga lu!" lanjut Fazal.
"Ya, terus kalau gua kena penyakit kelamin, siapa yang rugi?" Ridho menjawab dengan nada yang masih tak bersahabat.
"Makanya lu dengerin gua dulu." Fazal melepaskan pegangan tangannya.
Walau hatinya sangat kesal dan marah, Ridho terpaksa berdiam diri menunggu penjelasan Fazal.
"Udah hampir setengah tahun gua menjalani ini. Nyatanya aman-aman saja. Kita gak main dengan sembarangan cewek. Pokonya benar-benar aman. Kita main dengan tante-tante dari kalangan atas yang selalu menjaga keamanan dan kebersihan dirinya." Fazal mulai menebarkan madu beracunnya.
"Jadi selama ini lu jadi gigolo?" Ridho memicingkan mataya menatap Fazal yang cengar-cengir tak jelas.
"Bukan jadi gigolo, kita mainnya cantik Sob. Gk bakal ada yang curiga, buktinya lu juga gak pernah tahu kalau gua suka main begitu. Pokoknya ini dijamin aman."
Ridho menarik napas panjang seraya menggelengkan kepala.
"Buat apa julukan lu Detol. Kalau gede dan panjangnya barang lu gak bisa dimanfaatkan. Gua yakin kalau para tante itu sudah ngerasain senjata lu, mereka bakal ketagihan dan lu bisa mendapatkan segalanya dari mereka." Fazal makin bersemangat, dia yakin umpan yang ditawarkan pada sahabatnya mulai dimakan.
Ridho menatap Fazal dengan seksama. Menguliti seluruh tubuhnya dari ujung rambut hingga ujung celana seragamnya.
"Gimana, Sob?" Fazal bertanya setengah berbisik.
"Otak lu m***m, Sob! isi kepala lu hanya s**********n dan s**********n. Semua berlandaskan syahwat birahi. Gua gak tertarik, lu cari mangsa yang lain aja. Bye." Ridho bicara seraya membalikan badan dan melangkah meninggalkan Fazal.
Hati Ridho sedikit panas. Ada rasa terhina dan tersinggung telah dianggap remaja bermoral rendah oleh sahabatnya sendiri.
"Kalau pikiran lu berubah, segera hubungi gua, Sob!" Fazal berteriak.
Ridho tak menggubris, dia terus melangkah mendatangi motornya.
Beberapa kali kepala Ridho menggeleng. Tak menduga julukan 'Rames' yang disematkan pada Fazal bukan tanpa alasan. Dia benar-benar 'Raja m***m'
Ridho tak pernah berburuk sangka, dia bahkan menduga jika julukan sadis itu hanya sebuah candaan untuk sekedar keakraban.
Ridho bahkan tak pernah memanggil Fazal dengan julukan 'Rames'. Walau Fazal selalu memangil dirinya 'Detol'
Fazal selalu antusias jika bicara segala hal yang nyerempet m***m. Berbanding terbalik dengan Ridho yang sangat anti membicarakan hal-hal yang bersifat tabu. Apalagi di depan banyak orang.
Bagi Ridho seks bukan untuk diumbar dengan kata-kata namun untuk dinikmati dengan hati.
Sebagai remaja yang sudah masuk masa pubertas dan kebetulan banyak diidolakan lawan jenis, urusan asmara yang sedikit nyerempet kemesraan intim, bukan sesuatu yang asing bagi Ridho. Namun masih dalam batas wajar.
Kegiatan seks paling ekstrim yang pernah Ridho lakukan hanya sebatas pelukan dan ciuman atas dasar suka sama suka. Tidak ada tujuan lain kecuali sebagai variasi dan pemanis hubungan asamranya dengan sang pujaan.
Dari sejak kelas sembilan SMP, Ridho sudah mengenal cinta monyet yang putus karena pisah sekolah saat memasuki sekolah lanjutan.
Di kelas sepuluh SMA, Ridho pun kembali menjalin hubungan asmara dengan teman sekelasnya dan masih jalan sampai saat ini.
Hanya dengan dua gadis yang menjadi kekasihnya itulah Ridho melakukan pelukan mesra dan berciuman.
Itu pun sangat jarang sekali, karena situasi dan kondisi tidak selalu mendukung.
Kini Ridho mulai paham. Mengapa selama ini Fazal selalu ngotot dan terobesesi ingin memiliki senjata yang besar dan panjang seperti dirinya. Rupanya Fazal sudah lama memiliki cita-cita unruk menjadi gigolo penakluk wanita.
Kini pun timbul pertanyaan dalam benak Ridho. Dengan siapa Fazal melakukan seks bebas yang aman itu? Dimana dia melakukannya? Bukankah selama ini Fazal tak pernah keluar sendirian. Kemana-mana selalu bersama dengan dirinya atau Dendy.
Fazal selalu menyuguhkan tontonan yang mencengangkan, membingungkan sekaligus mengesalkan. Hidup Fazal penuh misteri dan tanda tanya besar bagi orang-orang di sekelilingnya. Dia bahkan tak pernah bisa rukun dan damai dengan ibu tirinya.
Benarkah Fazal jual diri?
Jual diri atau menjadi gigolo, sampai saat ini tak pernah terlintas sedikit pun dalam kamus hidup Ridho. Untuk alasan apapun dia akan tetap menolaknya.
Hari terus berlalu. Diam-diam Ridho telah mendatangi beberapa sahabat dan kenalan ayahnya. Beberapa diantaranya mengatakan jika ayahnya sekarang kerja dan tinggal di Jakarta. Namun mereka tidak menyebutkan alamat jelas. Nomor telpon yang mereka berikan pun tak ada yang aktif.
Ridho pun menghentikan pencariannya. Dia fokus melaksanakan tugas menjadi sopir pribadi Mama Dendy sebelum dan sesudah mengikuti latihan di sekolah. Sepertinya Dendy pun sudah berhasil merayu mamanya.
Walau dengan berat hati, Mama Dendy sepertinya mengizinkan Ridho untuk ikut kemping dengan teman-temannya. Tetapi untuk urusan pinjaman uang, tampaknya Mama Dendy tidak setuju. Sejauh ini beliau belum pernah membahasnya. Ridho pun tak pernah menanyakannya.
Walau pencarian ayahnya sudah dihentikan, namun Ridho tak memutuskan komunikasi dengan Susanti. Ridho pun tidak lagi membahas keberadaan ayahnya. Susanti juga menduga Pak Fuad sudah pindah ke kota lain, karena tak pernah lagi datang ke rumah Tante Soraya.