“Haduh, bagaimana ini?!” gumam Ara panik saat ia melihat warna merah yang menodai sofa dimana ia duduk. Wajah Ara kalut tak karuan saat sadar tiba-tiba ia datang bulan dan tanpa persiapan sehingga darah haidnya menembus pakaian dan mengenai sofa di sebuah restoran mewah.
Yang lebih sialnya lagi, saat ini ia tengah kencan buta dengan seorang pria yang dikenalkan oleh Riana– sang tante.
Ara berpikir, mungkin ia terlalu syok saat bertemu pria yang katanya ganteng dan kaya raya itu. Ganteng sih, tapi untuk Ara yang masih 23 tahun, pria ini seperti Om-Om. Jarak usia mereka sepertinya berbeda 10 sampai 12 tahun.
Tak hanya Ara yang terkejut, si Om pun tampaknya kaget ketika bertemu dengan Ara yang terlihat imut seperti anak baru lulus kuliah.
“Kenapa, Ra?” tanya si Om yang mengenalkan dirinya dengan nama Liam.
“Tembus Om!” bisik Ara panik.
“Tembus? Tembus kemana? Dan jangan panggil saya Om, panggil mas saja! Saya belum setua itu, Ara.”
“Tembus pokoknya! Tolongin aku Om Mas!”
“Saya gak ngerti maksud kamu!”
Liam terlihat ikut panik dan bingung. Dengan cepat Ara membalikan tubuhnya dan sedikit menungging ke depan wajah Liam. Liam langsung terbatuk karena tak menyangka Ara seolah menyodorkan pantatnya dan terlihat noda merah dibagian belakang baju Ara yang berwarna putih. Untung saja restoran itu siang ini tak ramai pengunjung sehingga tak ada yang memperhatikan tingkah Ara.
“Aku datang bulan! Gimana dong, Om Mas?!” Ara menggigit jarinya karena bingung.
“Jangan panggil aku Om! Duh, gimana dong?! Baju kamu putih lagi!” gumam Liam setengah berbisik karena takut para pelayan mendengar pembicaraan mereka.
“Sudah, tunggu disini sebentar!” suruh Liam dan segera berdiri meninggalkan Ara sendirian. Tak lama ia pun kembali membawa sesuatu ditangannya lalu memberikannya pada Ara.
“Nih!” perlahan Liam memberikan sesuatu dan meletakkannya langsung ke tangan Ara. Melihat pembalut mata Ara langsung membulat dan bersinar terang.
“Dapat dari mana?” tanya Ara senang.
“Sudah, sana ke toilet,” suruh Liam sambil membantu Ara berdiri. Ia tak ingin bercerita pada Ara bahwa ia telah memintanya pada salah satu pelayan restoran. Ara pun bergegas berjalan sambil menutupi bagian belakang bajunya dengan tas.
“Tunggu!”
Liam segera melepas Jasnya dan mengikatnya dipinggang Ara.
‘’Sudah sana, bersih-bersih,” suruh Liam berbisik lalu mendesah perlahan dan menatap pasangan kencan butanya dengan tatapan nanar.
***
Lydia tertawa terbahak-bahak saat mendengar kencan buta pertama Liam dengan Ara. Sedangkan yang ditertawakan hanya bisa menghempaskan tubuhnya ke sofa dan merengut kesal. Lydia segera melompat ke dalam pelukan kekasihnya dan memeluk Liam dengan perasaan senang.
“Aku hampir saja cemburu, mengingat kencan perjodohan ini. Trus bagaimana kabar gadis itu? Kemana lagi kalian?” tanya Lydia penasaran.
“Kemana lagi?! Ya, gak kemana-kemana! Aku langsung mengantarnya pulang!” jawab Liam cepat.
Terbayang di pelupuk matanya saat ia mengantar Ara pulang. Gadis itu duduk di sampingnya dengan posisi bersimpuh diatas jok dan menghadap terbalik. Belum lagi mulut cerewet Ara yang tampak takjub dengan mobil mewahnya. Masih ada kisah insiden rem mendadak dan membuat Ara terjerembab di bawah dashboard yang pasti akan membuat Lydia semakin menertawakannya.
“Bagaimana wajahnya? Cantik? Fashionable?”
“Fashionable?! Gak sama sekali! Dia berbeda dengan kamu! Ini pertama kalinya aku bertemu dan berkencan dengan seorang gadis yang datang mengenakan gaun satin berwarna putih! Rasanya aku seperti berkencan dengan pengantin yang baru kabur! Mana rambutnya panjang sampai punggung! Kalau ketemu tengah malam aku bisa merinding sepertinya!” oceh Liam dan kembali mendapatkan gelak tawa dari Lydia.
“Wajahnya?” tanya Lydia lagi.
Percakapan mereka terhenti saat seorang bocah laki-laki kecil keluar dari kamar tidur dan berlari menghampiri mereka.
“Kok bangun dek?” tanya Lydia sembari memeluk anak bungsunya yang masih berusia 3 tahun.
“Mau pipis,” ucap pria kecil itu tampak setengah mengantuk bernama Nino.
“Papa Liam kapan datang?” tanya Nino saat melihat Liam.
“Papa Liam baru dateng. Yuk, Mama anter kamu ke toilet trus abis ini tidur lagi ya,” ajak Lydia segera membawa anak bungsunya ke dalam.
Liam hanya bisa menatap kepergian Lydia dan Nino dengan pandangan berbinar sekaligus sedih. Andai saja kedua orangtua Liam bisa menyetujui hubungannya dengan Lydia, sudah pasti Nino dan Farrel akan langsung menjadi anaknya. Sayangnya, status Lydia yang janda beranak dua membuat hubungan mereka terjegal.
Awalnya ia frontal melawan, tapi melihat tekanan sang ibu yang sangat mendominasi, Liam takut ibunya akan semakin membenci Lydia yang seolah menjadi penyebab Liam melawan. Lydia yang awalnya adalah karyawan Liam di kantor pun sampai harus resign karena pengaruh sang ibu membuat kekasihnya tak nyaman.
Takut keluarganya semakin memisahkan mereka, akhirnya Liam dan Lydia berhubungan diam-diam. Tapi akhirnya orangtuanya tahu dan memaksa Liam untuk berkenalan dengan banyak perempuan yang mereka dijodohkan padanya.
“Buat Mama, menantu mama itu harus baik, jujur dan bisa mengurus suaminya! Kamu pikir mama materialistis dan harus memiliki menantu dari keluarga berada lagi?! Nggak! Perempuan biasa pun gak apa-apa! Selama ia hidup baik dan berasal dari keluarga baik-baik! Mama gak mau punya menantu yang setiap anaknya beda bapak!”
Sindiran sang ibu tentang Lydia hanya bisa membuat Liam harus selalu berhati-hati dalam hubungannya dengan Lydia–sang kekasih.
Oleh karena itu, Liam mengikuti kehendak sang ibu yang ingin mempertemukannya dengan banyak perempuan. Aralia Maheswari adalah perempuan kesekian yang ia temui dan hanya perempuan ini yang bisa membuat Lydia tertawa terbahak-bahak. Sisanya adalah perempuan cantik, berasal dari keluarga berada, berpendidikan bagus dan tentu saja sepadan dengan Liam.
“Kamu harus kembali berkencan dengan Ara!” ucapan Lydia yang baru saja kembali setelah menidurkan anaknya membuat Liam tersentak dari lamunannya.
“Big no! No !” jawab Liam cepat.
“Kenalkan saja dia sebagai calon yang kau pilih!”
“Kamu gila Lydia! Baru beberapa jam saja aku sudah pusing dibuatnya! Nggak, ah!”
“Kalau kamu yang sabar aja pusing, apalagi mama kamu! Ia pasti menolaknya mentah-mentah dan mungkin akan membandingkannya denganku. Tentu saja, jika benar Ara adalah perempuan keos seperti itu, aku pasti tampak lebih baik di hadapan mamamu,” ucap Lydia memberikan penjelasan.
“Bagaimana jika mama memintaku untuk mengencani perempuan lain?”
“Tolak saja, bilang kamu sukanya sama Aralia! Aku tak ingin kamu berkencan dengan perempuan lain selain gadis itu! Aku takut kamu akan kepincut karena kecantikan dan kelebihan yang mereka miliki,” ucap Lydia sembari menyandarkan kepalanya di d**a Liam dan memeluk kekasihnya erat.
Liam hanya diam. Mendengar ucapan Lydia ia hanya bisa menghela nafas panjang.
“Tapi aku takut Lydia, firasatku mengatakan berbeda jika aku mengencani Ara,” gumam Liam.
“Kenapa? Kalau lihat fotonya sih, aku tak melihat adanya wife material di dalam dirinya,” jawab Lydia percaya diri. Liam hanya diam. Tentu saja Lydia hanya bisa melihat foto Ara dari belakang saat Liam mengambilnya ketika Ara turun dari mobil dan berjalan menuju komplek rumah tempat ia tinggal. Dengan gaun panjang putih dan rambut panjang, dari belakang Ara lebih tampak seperti kuntilanak.
Tetapi sebagai laki-laki sejati, dibalik rambut tebal hitam dan make up tebal yang menutupi wajah Ara, Liam tahu bahwa gadis itu sebenarnya berwajah cantik. Bola matanya yang coklat dan begitu jernih saja bisa meluluhkan siapapun yang memandangnya. Walau ia tampak sederhana, Liam sadar, gadis itu bukan gadis biasa.